x

Ilustrasi Media Sosial. Image dari Gerd Alatman dari Pixabay

Iklan

Teguh Dwi Imanda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 April 2023

Sabtu, 15 April 2023 21:14 WIB

Anonimitas dan Ujaran Kebencian di Media Sosial

Anonimitas dalam media sosial dapat memiliki dampak positif dan negatif tergantung pada bagaimana anonimitas tersebut digunakan. Di satu sisi, anonimitas dapat memberikan kebebasan kepada individu untuk berbicara tentang topik yang sensitif atau kontroversial tanpa takut dicap atau dikecam oleh masyarakat. Namun, di sisi lain, anonimitas juga dapat digunakan untuk tujuan yang tidak etis atau merugikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menurut laporan dari Digital News Report yang dirilis pada tahun 2021, Indonesia menempati peringkat ketiga terbanyak di dunia dalam hal penggunaan media sosial, setelah Filipina dan Brasil. Selain itu, pada tahun 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia mencatat adanya 2.245 kasus ujaran kebencian di media sosial, yang menunjukkan bahwa hal ini menjadi masalah serius di negara ini.

Ujaran kebencian di media sosial adalah masalah yang semakin meningkat di era digital ini. Ujaran kebencian atau hate speech dapat didefinisikan sebagai penggunaan bahasa atau tindakan yang menyerang, melecehkan, atau merendahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan karakteristik seperti agama, etnis, jenis kelamin, atau status sosial. Bahasa kasar pada ujaran kebencian dapat menyebabkan perasaan terisolasi bahkan depresi pada individu yang menjadi sasaran. Hal ini juga dapat memperparah ketegangan antar kelompok dan meningkatkan konflik sosial.

Media Sosial dan Ujaran Kebencian  Berkembang Beriringan 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ujaran kebencian di media sosial dapat dilihat sebagai bagian dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah memungkinkan akses yang lebih mudah ke platform online dan media sosial. Tahun 2000-an, munculnya platform media sosial seperti Facebook dan Twitter mulai memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dengan banyak orang secara online. Pada awalnya, media sosial digunakan sebagai alat komunikasi dan berbagi informasi secara positif, namun seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin banyaknya pengguna, media sosial mulai menjadi tempat untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi pribadi. Seiring dengan itu, kecenderungan pengguna untuk memanfaatkan platform ini sebagai sarana untuk menyebarkan ujaran kebencian dan diskriminasi semakin meningkat. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, beberapa platform media sosial telah berusaha untuk memerangi masalah ini dengan mengimplementasikan kebijakan dan alat untuk mencegah ujaran kebencian, termasuk filter komentar dan sistem pelaporan. Namun, masalah ini masih menjadi tantangan yang serius bagi media sosial dan penggunanya.

Anonimitas dalam Media Sosial

Anonimitas adalah keadaan di mana seseorang tidak dikenal atau tidak diketahui identitasnya. Dalam konteks media sosial, anonimitas merujuk pada kemampuan seseorang untuk berkomunikasi atau berpartisipasi dalam platform media sosial tanpa mengungkapkan identitas asli mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan nama samaran atau akun palsu, atau dengan tidak mengungkapkan informasi pribadi seperti nama atau foto profil yang dapat mengidentifikasi diri seseorang.

Anonimitas dalam media sosial dapat memiliki dampak positif dan negatif tergantung pada bagaimana anonimitas tersebut digunakan. Di satu sisi, anonimitas dapat memberikan kebebasan kepada individu untuk berbicara tentang topik yang sensitif atau kontroversial tanpa takut dicap atau dikecam oleh masyarakat. Ini dapat memungkinkan diskusi yang lebih terbuka dan jujur tentang masalah yang penting. Namun, di sisi lain, anonimitas juga dapat digunakan untuk tujuan yang tidak etis atau merugikan. Misalnya, orang dapat memanfaatkan anonimitas untuk melakukan tindakan cyberbullying, mengirim pesan yang tidak senonoh atau melecehkan orang lain di media sosial tanpa akibat atau tanggung jawab yang jelas.

Rolf Dobelli dalam buku “The Art of Thinking Clearly” (2013) menyebutkan pandangan John Suler, seorang profesor psikologi dari Rider University, yang menyatakan bahwa anonimitas dapat memengaruhi bagaimana individu memandang diri mereka sendiri. Individu dapat merasa lebih terbebas dari tekanan sosial untuk mematuhi norma-norma yang berlaku, sehingga mereka cenderung lebih berani untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak biasa atau tidak diharapkan.

Namun, efek anonimitas ini dapat memicu perilaku yang lebih agresif, impulsif, dan berisiko, seperti berkata kasar dan melakukan ujaran kebencian. Dalam psikologi, fenomena ini dikenal sebagai “efek deindividuasi”. Philip Zimbardo dalam buku “The Social Psychology of Good and Evil” (2004), mengatakan bahwa efek deindividuasi adalah sebuah proses di mana individu kehilangan identitas personal mereka dan menjadi lebih terfokus pada identitas kelompok atau sosial. Anonimitas dapat memperkuat efek deindividuasi, karena individu merasa dapat tersembunyi di balik identitas yang tidak jelas, sehingga mereka cenderung berperilaku lebih agresif dan bertindak sesuai dengan norma kelompok mereka.

Anonimitas di Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial. Hal ini semakin berbahaya tatkala ada oknum yang diduga sengaja mengorganisir kelompok anonimitas untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Meskipun belum terbukti, namun jika benar ada kesengajaan memelihara kelompok seperti ini, tentu semakin membuat masif ujaran-ujaran kebencian dan perpecahan kelompok masyarakat di media sosial. Anonimitas juga dapat memperburuk polarisasi dan konflik dalam masyarakat, karena memungkinkan orang untuk berbicara tanpa memperhitungkan perbedaan pandangan atau posisi yang mungkin ada di antara mereka. Beberapa kasus anonimitas di media sosial Indonesia yang saat ini sering terjadi seperti penyebaran informasi palsu dan hoaks, pelecehan seksual, penghinaan, penistaan agama, dan ancaman serta intimidasi terhadap individu atau kelompok tertentu.

Upaya Bersama Membangun Iklim Media Sosial yang Sehat

Media sosial yang sehat adalah platform yang memberikan ruang yang aman dan positif bagi penggunanya untuk berinteraksi dan berbagi konten. Hal ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan media sosial yang positif dan tidak merugikan bagi penggunanya. Dalam lingkungan yang aman dan positif ini, pengguna dapat merasa nyaman untuk berinteraksi dan berbagi konten tanpa adanya risiko yang tidak perlu seperti ujaran kebencian, pelecehan online, atau penyalahgunaan data pribadi.

Sebagai platform yang digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia, media sosial memiliki peran yang besar dalam membentuk lingkungan sosial yang sehat dan positif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa media sosial dapat digunakan secara aman dan positif oleh semua orang. Hal ini dapat tercapai jika platform media sosial, pemerintah, dan masyarakat selaku pengguna dapat bersinergi dengan baik.

Pihak platform media sosial harus terus “memoderasi konten”. Platform media sosial harus memastikan bahwa konten yang dipublikasikan oleh pengguna tidak melanggar aturan dan regulasi yang berlaku. Mereka juga harus memoderasi konten yang mengandung ujaran kebencian dan tindakan negatif lainnya.

Pihak platform juga harus mendorong pengguna untuk menggunakan akun mereka dengan identitas yang jelas dan transparan. Selain itu, platform media sosial dapat memperketat aturan terkait akun anonim yang disalahgunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian atau perilaku merugikan lainnya.

Di sisi lain, pemerintah dan lembaga yang berwenang harus menerapkan regulasi yang ketat terhadap konten digital yang berpotensi memicu ujaran kebencian, seperti melarang atau membatasi akses ke akun media sosial, situs web atau aplikasi yang menyebarkan konten yang tidak sehat atau merugikan. Pemerintah juga harus aktif memperkenalkan alat untuk melaporkan konten yang tidak pantas atau berbahaya dan menggalakkan kampanye kesadaran digital di masyarakat dengan berkolaborasi bersama pihak-pihak terkait seperti media sosial, perusahaan teknologi, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil.

Masyarakat memiliki peran penting dalam mengurangi ujaran kebencian di media sosial. Sebagai pengguna media sosial, masyarakat harus berani dan aktif melaporkan konten yang mengandung ujaran kebencian atau merugikan kepada pihak berwenang di platform media sosial yang bersangkutan, sehingga dapat segera ditindaklanjuti dan dihapus. Masyarakat sebagai pengguna juga dituntut untuk bertanggung jawab dengan akun yang dimiliki, mulai dari keaslian identitas akun dan turut serta saling mendukung dan memperkuat nilai-nilai positif di media sosial, serta mempromosikan sikap toleransi dan keberagaman.

Ikuti tulisan menarik Teguh Dwi Imanda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu