x

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Selasa, 2 Mei 2023 12:43 WIB

Zaman, sih,Teknologi Informasi, Tapi Miskin Literasi

Masih sering kita menjumpai kesalahpahaman seseorang dalam menafsirkan sebuah postingan di media sosial. Masih sering pula kita jumpai perdebatan panas – terutama di Twitter – terhadap sebuah cuitan yang cenderung multitafsir atau bahkan menimbulkan kontroversi. Tak sedikit pula seseorang yang mesti berhubungan dengan penegak hukum karena konten yang ia unggah menyinggung orang lain atau kelompok tertentu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ZAMAN SIH TEKNOLOGI INFORMASI, TAPI MISKIN LITERASI

 

Masih sering kita menjumpai kesalahpahaman seseorang dalam menafsirkan sebuah postingan di media sosial. Masih sering pula kita jumpai perdebatan panas – terutama di Twitter – terhadap sebuah cuitan yang cenderung multitafsir atau bahkan menimbulkan kontroversi. Tak sedikit pula seseorang yang mesti berhubungan dengan penegak hukum karena konten yang ia unggah menyinggung orang lain atau kelompok tertentu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal tersebut disebabkan oleh masih minimnya pengetahuan para netizen akan dunia literasi. Ada 6 jenis literasi dasar yang wajib dimiliki oleh para netizen, yaitu literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Dari keenam jenis literasi tersebut, di dunia online minimal netizen menguasai tiga jenis, yaitu literasi baca-tulis, literasi digital, dan literasi budaya dan kewargaan.

Literasi baca tulis yaitu kemampuan untuk memahami isi teks tertulis baik yang tersurat maupun yang tersirat untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan. Sebagian besar netizen di Indonesia memiliki kebiasaan membaca dan menulis yang sangat minim. Hal ini terbukti minat membaca di Indonesia masih sangat-sangat rendah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan dalam memahami dan menganalisis sebuah postingan di media sosial maupun berita di media online.

Setali tiga uang dengan membaca, kemampuan menulis pun masih minim. Mereka belum mengetahui cara menulis yang baik dan benar. Belum tahu cara memilih kosakata (diksi), cara merangkai kata dan kalimat, termasuk yang bersifat teknis seperti pemakaian tanda baca atau emoticon, dan sebagainya.

Untuk literasi budaya dan kewargaan menyangkut pemahaman dan kesadaran akan kebhinnekaan yang ada di Indonesia. Sebagian netizen juga belum memahami akan hal ini, sehingga postingan mereka masih mengandung unsur SARA yang tak jarang memicu konflik hingga di dunia nyata. Sedangkan perihal kewargaan, netizen juga belum mengerti benar soal hak dan kewajiban sebagai warga negara, sehingga tak jarang mereka lebih banyak menuntut hak, sementara kewajiban-kewajiban sering terabaikan.

Literasi Digital

Secara sederhana, literasi digital adalah kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi dan teknologi. Kemampuan ini sangat penting apalagi saat ini hampir setiap orang menggunakan perangkat digital untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Menurut Sumiati dan Wijonarko dalam jurnal berjudul Manfaat Literasi Digital bagi Masyarakat dan Sektor Pendidikan pada Saat Pandemi Covid-19 (2020), literasi digital membawa beberapa manfaat bagi masyarakat, di antaranya:  

  1. Menambah wawasan setiap individu melalui aktivitas mencari dan memahami informasi.
  2. Meningkatkan kemampuan individu untuk lebih memahami informasi yang diterima.
  3. Memperluas penguasaan kosakata melalui berbagai informasi yang didapatkan.
  4. Meningkatkan kemampuan verbal setiap individu.
  5. Meningkatkan daya fokus dan konsentrasi.
  6. Menambah kemampuan membaca, merangkai, hingga menuliskan informasi.

Masih minimnya kemampuan literasi digital ini bagi netizen memiliki dampak, yaitu:

  • Beredarnya berita bohong (hoax) terutama di media sosial yang disebabkan oleh masih lemahnya kemampuan menentukan validitas sebuah sumber berita. Asal ada berita yang dianggap menarik, dengan mudahnya mereka melakukan share, forward, atau copy-paste tanpa tanpa diteliti terlebih dahulu kebenaran dari informasi tersebut. Apalagi karakter orang Indonesia yang ingin menjadi orang yang paling pertama membagikan sebuah berita.
  • Terjadinya pelanggaran hak cipta. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa setiap konten baik dalam bentuk teks, gambar atau foto, video, atau format lainnya memiliki hak cipta. Sehingga tidak sedikit yang terseret kasus hukum karena mengambil konten tanpa izin, melakukan plagiat, menggandakan, atau memanfaatkan untuk tujuan komersial.
  • Sama seperti di dunia nyata, di dunia maya pun ada etikanya. Masih banyak netizen yang mengira bahwa di media online bisa bebas, memposting sesuka hati, terlibat pornografi/pornoaksi, pamer kekayaan, ujaran kebencian, berbau SARA, dan lain sebagainya. Apabila di dunia maya sudah tidak ada lagi etika, maka kita akan mendapati suasana yang ribut, gaduh, panas, provokatif, dan liar tak terkendali.

Era Literasi yang Melompat

Di dunia Barat, era literasi berlangsung secara berurutan. Dimulai dari era lisan seperti mendongeng atau bercerita, berlanjut ke era tulisan yaitu adanya kecakapan membaca maupun menulis, termasuk munculnya berbagai media publikasi seperti koran dan majalah. Baru kemudian berlanjut ke era digital saat ini.

Berbeda kondisinya dengan di Indonesia. Setelah era lisan berakhir dan masyarakat kita belum memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik, secara tiba-tiba datanglah era digital. Melompat. Yaaach, sudah barang tentu kaget dan gagap teknologi (gaptek). Boro-boro mengerti istilah-istilah teknologi, boro-boro mengerti bahasa asing ketika harus berkomunikasi dengan warga global. Sebagian kecil masyarakat Indonesia masih ada yang buta huruf, belum bisa berbahasa Indonesia, apalagi merangkai kata dan kalimat untuk membuat postingan di media sosial atau melakukan chat di aplikasi messenger.

Ditambah lagi menjelang pesta demokrasi tahun depan. Pemahaman dan kesadaran politik bangsa kita masih terbatas. Media sosial yang seharusnya menjadi media berdemokrasi, justeru malah menjadi media yang tak ramah demokrasi. Konten media sosial lebih didominasi oleh berita bohong, ujaran kebencian, provokasi, fitnah, ancaman, dan semacamnya.

 

*****

Sebagai penutup, selain berbagai keprihatinan di atas, tentu ada pula kabar yang menggembirakan. Pemerintah, terutama melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika secara berkelanjutan melakukan pendidikan literasi digital lewat berbagai program, seperti Iklan Layanan Masyarakat (ILM), webinar, talkshow interaktif melalui media elektronik maupun media online, dan berbagai kegiatan lainnya. Ditambah lagi dukungan dari berbagai pihak seperti perusahaan, LSM, organisasi sosial, komunitas dll dalam upaya mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang cerdas dalam literasi digital.

 

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB