x

Ilustrasi kegiatan sektor sawit. Sumber foto: sindonews.com

Iklan

Bagas Indrayatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Mei 2023

Senin, 8 Mei 2023 12:55 WIB

Mampukah Cangkang Sawit Menjawab Kebutuhan Biomassa Co-Firing PLTU di Indonesia?

Co Firing biomassa menjadi program PLN dalam menurunkan angka emisi gas rumah kaca akibat batubara. Indonesia memiliki batubara nabati yang melimpah, cangkang sawit. Bisakan cangkang sawit menjawab kebutuhan tersebut ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awal tahun 2021, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan Rapat Dengar Pendapat (RPD) dengan DPR RI. Dalam rapat ini disampaikan bahwa terdapat 4 (empat) program strategi subsektor energi baru terbarukan dan konservasi energi tahun 2021. Empat program tersebut, yaitu program mandatori B30, pengembangan co-firing biomassa, pengembangan PLTS secara massif dan konversi pembangkit-pembangkit fosil ke energi terbarukan.

Secara bertahap Pemerintah melakukan persiapan untuk implementasi co-firing biomassa pada
PLTU batubara. Co-firing berarti pembakaran bersama antara batu bara dan biomassa di ruang bakar. Co-firing memiliki tujuan untuk mensubtitusi batu bara yang jumlahnya sudah mulai menurun. Beberapa keuntungan adanya implementasi co-firing  yaitu pertama, metode ini dirasa lebih ramah lingkungan daripada penggunaan batubara penuh dalam ruang bakar PLTU.

Kedua, faktor emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi alasan utama karena metode co-firing  menjanjikan penurunan emisi CO2. Ketiga, co-firing juga berdampak positif pada pengembangan ekonomi kerakyatan yang produktif (circular economy) melalui penciptaan  ekosistem listrik kerakyatan dan koperasi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam pelaksanaannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Lebih dalam, metode co-firing menjadi jawaban atas energi terbarukan di Indonesia. Karena
Indonesia sendiri telah ikut dalam Perjanjian Paris dan menargetkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 23% pada tahun 2030. Terlepas dari itu semua, upaya co-firing sebetulnya juga dilakukan untuk mencapai rasio elektrifikasi nasional 100%. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) rasio elektrifikasi nasional pada 2020 naik 14,85% dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 99,20%. Ini merupakan angka yang cukup fantastis dan harus segera didukung untuk bisa mencapai elektrifikasi nasional 100%.


Berbagai jenis biomassa digunakan untuk melaksanakan program co-firing ini, termasuk cangkang
kelapa sawit. Cangkang kelapa sawit merupakan produk samping dari industri pengolahan kelapa sawit dari Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak sawit kasar (Crude Palm Oil; CPO) sebagai produk utama. Sedangkan produk samping yang diperoleh berupa cangkang, serabut, janjangan kosong dan limbah cair kelapa sawit. Semua produk samping Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dapat dikelompokkan menjadi biomassa karena dapat diolah menjadi bioenergi. Dilihat dari mass balance, persentase produktivitas cangkang sawit per satu ton TBS yaitu 64 kg. Ini merupakan potensi yang besar karena dilihat produktivitas kelapa sawit Indonesia yang mencapai 49,2
juta ton per tahun. Sebuah riset memproyeksikan bahwa produktivitas cangkang kelapa sawit nasional tahun 2020 sebesar 10,4 juta ton dan di tahun 2030 mencapai 14,8 juta ton. Proyeksi tersebut berdasarkan data produktivitas cangkang sawit dari tahun 2002-2015. Pada grafik dibawah cangkang sawit atau Palm Kernel Shell (PKS) divisualisasikan dengan warna hitam.

Saat ini cangkang kelapa sawit digunakan sebagai bahan bakar boiler di PKS yang disubtitusi dengan serabut. Perbandingan bahan bakar cangkang dan serat kelapa sawit yang digunakan adalah 1 : 3 yaitu 25% cangkang dan 75% serat. Dengan penggunaan perbandingan ini sisa cangkang sawit di PKS sangatlah melimpah.

Seiring kebutuhan energi yang semakin besar namun energi fosil mulai habis, cangkang kelapa sawit dihadirkan sebagai komponen subtitusinya. Jika dilihat dari nilai kalor yang terkandung dalam biomassa ini, cangkang sawit memliki nilai kalor yang tidak kalah jauh dengan bahan bakar fosil. Nilai kalor cangkang sawit (biomasa) nilai kalori 4760 Kcal sedangkan nilai kalor batubara tipe sub-bituminus yaitu 5040 Kcal. Potensi energi listrik yang dihasilkan cangkang sawit dapat mencukupi kebutuhan listrik Indonesia, jika ditinjau dari kapasitas pengolahan yang bervariasi antara 30 sampai 60 ton per jam. Dengan asumsi kapasitas pengolahan 60 ton/ jam, proses produksi CPO dalam sehari menghasilkan 84,48 ton cangkang sawit (waktu operasional pabrik 22 jam/hari). Potensi energi listrik kemudian dihitung dengan nilai kalor 4760 Kcal, 1 kWh sama dengan 860,5 Kcal dan efisiensi alternator 95,6 % sehingga diperoleh 447 MWh dalam sehari.

Dengan kondisi nilai kalor cangkang sawit yang tinggi ditambah pasokan melimpah, membuat
cangkang sawit menjadi primadona biomassa co-firing PLTU. Sebagai contoh, PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau di Kalimantan Barat telah menggunakan cangkang sawit sebagai biomassa co-firing. Sebagai perusahaan suplai listrik nasional, PLN juga telah melaukan uji coba co-firing di 114 unit PLTU yang tersebar di 52 lokasi. Dibutuhkan pellet biomassa sekitar 4 juta ton/tahun, dengan asumsi persentase pencampuran cangkang sawit sebesar 5% pada boiler jenis PC dan CFB serta sebesar 30% pada boiler jenis stoker untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan hanya dilirik oleh para stakeholder dalam negeri, namun perusahaanperusahaan luar negeri seperti Jepang juga melirik biomassa ini. Bahkan setiap tahunnya, Jepang membutuhkan sekitar 10 juta ton cangkang kelapa sawit dari Indonesia.

Berdasarkan potensi yang ada, sayangnya pemanfaatan cangkang sawit dalam negeri belum
maksimal. Potensi pasokan sudah mencukupi proyeksi kebutuhan, tapi regulasi dan teknis pemanfaatan belum ditetapkan. Hal ini membuat pelaksanaan co-firing cangkang sawit belum berjalan secara optimal. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) bekerja sama dengan PT. PLN (Persero) telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Nasional Co-firing Biomassa pada PLTU. FDG tersebut merupakan kelanjutan dari tahap uji coba terhadap potensi biomassa termasuk cangkang sawit. Setelah melalui tahapan uji coba, sebelum menuju implementasi Co-firing dengan pola operasi komersial, maka diperlukan hal-hal esensial berikut yaitu

1) penyiapan instrumen pendukung,

2) koordinasi intensif terkait regulasi teknis,

3) kesiapan aspek teknologi,

4) pasokan bahan bakar,

5) aspek keekonomian serta

6) dukungan kebijakan lintas sektor.

Selain itu, hasil dari FGD juga menetapkan perlu adanya roadmap program co-firing untuk memastikan agar implementasi co-firing berjalan optimal. Cangkang sawit menjadi primadona biomassa saat ini dan mampu mencukupi kebutuhan biomassa co-firing nasional. Namun dukungan lebih lanjut seperti adanya kolaborasi dan harmonisasi semua pihak untuk dapat mengoptimalkan penggunaan biomassa cangkang mutlak diperlukan. Mulai dari pemerintah,
pengusaha, LSM, akademisi, engineer hingga seluruh eleman masyarakat. Aspek sosial, ekonomi, dan teknologi harus berjalan bersama untuk mengiring implementasi co-firing cangkang sawit di PLTU nasional. Demi terciptanya kemandirian dan keberlanjutan energi di Indonesia. 

Ikuti tulisan menarik Bagas Indrayatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler