Tunas di Tunis, NTT, Indonesia

Senin, 22 Mei 2023 07:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seminggu mengajar belum membuahkan hasil, saya masih berjoget sendiri, berbicara sendiri, tepuk tangan sendiri, berdoa sendiri, juga mengucapkan selamat pagi lalu menjawabnya sendiri. Keterbatasan fasilitas dan media pembelajaran membuat saya berpikir keras setiap hari: besok harus mengajar apa dan bagaimana caranya supaya anak-anak cepat menangkap. Ide-ide, mimpi dan harapan pun bergulir. 

Seorang staf pendidikan di kantor pusat (yayasan tempat saya bekerja), pernah menantang seperti berikut: Mengapa harus Papua, kak Tin? Bukankah semua anak sama berharganya di mata kakak? Kalimat tersebut menampar sekaligus menguatkan saya yang sebelumnya harusnya ditempatkan di FLC Goni, Nabire, Papua. 

Ingin rasanya saya mengucapkan terima kasih banyak untuk Pemerintah Kabupaten Nabire yang telah melakukan lockdown dalam upaya mencegah penularan Covid-19, sehingga saya batal ke Papua yang sedari dulu saya mimpikan. Lalu kalimat semua anak sama berharganya membawa saya ke FLC Tunis, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. 

Sebuah center baru, tantangan baru bagi saya karena untuk pertama kalinya berdiri PAUD di desa ini sekaligus untuk pertama kalinya saya mengajar maupun merintis PAUD. September 2020, musim kering di TTS. Tak mengapa tanahnya kering, yang penting SDM nya semakin tumbuh subur, minimal selama setahun saya disini, mereka tidak lagi menjual buah Pisang dari kebun untuk membeli goreng Pisang, itu awalnya pola pikir yang sangat ingin saya ubah melalui pendidikan.  

Ini bulan pertama saya mengajar di sini. Kelas krik-krik baru saja dimulai. Tiap malam saya berlatih di depan kaca, belajar senyum lebar, bagaimana caranya ekspresif dan menyenangkan di depan anak-anak PAUD. Dan tiap pagi pula saya seperti berbicara maupun tertawa sendiri di hadapan anak-anak karena tidak ada timbal balik. 

Mereka tidak mengerti apa yang saya sampaikan, saya terlebih lagi tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, mirip-mirip bahasa Arab kedengarannya. Sebuah speaker murahan yang dipesan online ketika di Jakarta akhirnya menempatkan posisinya untuk mencuri hati anak-anak. Saya si badan kaku ini mulai berani mempermalukan diri sendiri di hadapan anak-anak dan orang tua untuk berjoget diiringi musik untuk anak-anak. 

Seminggu mengajar belum membuahkan hasil, saya masih berjoget sendiri, berbicara sendiri, tepuk tangan sendiri, berdoa sendiri, mengucapkan selamat pagi lalu menjawabnya kembali sendiri, bertanya dan menjawab pertanyaan itu sendiri. Keterbatasan fasilitas dan media pembelajaran membuat saya berpikir keras setiap hari besoknya harus mengajar apa dan bagaimana supaya anak-anak cepat menangkap. Ibarat bola menggelinding, ide-ide, mimpi-mimpi dan metode mengajar bergulir di benak, bertambah banyak dan konsep pun terbentuk, tinggal eksekusi. 

Pohon kering yang sudah mati jadi media belajar. Tiba-tiba saya jadi pelukis yang handal. Tiba-tiba jadi pencipta lagu sekaligus penyanyi yang percaya dirinya luar biasa melebihi idol. Tiba-tiba menjadi dancer, dan tiba-tiba menjadi bidan padahal dari dulu sangat takut dengan darah. Saya tiba-tiba jadi sosok yang tidak jijik lagi dengan kotoran di hidung dan seluruh badan anak.

Sejak merintis PAUD disini, seorang rekan pun heran melihat saya ternyata memiliki banyak talenta yang selama ini tidak pernah ia lihat di Nias ketika kami bekerja sama di sana. Jangankan dia, saya pun heran melihat diri saya sendiri bisa menggambar, mendesain dan melukis.

Yang pasti adalah, merintis ini memulai dari nol, masih bibit, belum tahu apakah semua bibit ini akan tumbuh dan berbuah sehingga menghasilkan panen yang baik atau hanya beberapa bibit saja yang berhasil? Guru yang baik adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar, guru yang memandang dirinya berharga kemudian bisa memandang bahwa semua anak itu berharga. Guru yang baik tahu bagaimana ia menanam, menyiram meski bukan ia yang nantinya memanen.

Sudah tiga minggu menjadi guru PAUD di FLC Tunis, niat yang baik telah teruji, saya sudah melihat tunas. Tunas-tunas bangsa. Setiap hari saya mengajar di hadapan calon menteri, calon bupati, calon gubernur, calon anggota dewan, calon polisi, calon dokter dan lain sebagainya. Jujur, saya grogi berdiri di hadapan orang-orang hebat ini. 

Akhirnya, bibit itu bertunas. Anak-anak sudah pandai senam, cerewet menyapa guru, mampu memegang pensil dengan benar, mampu mengulang kata yang diucapkan oleh guru. Mereka tidak lagi menangis harus ada mama di samping baru mau belajar, tidak lagi harus disogok jajan oleh mama baru mau sekolah. Dan yang penting adalah perlahan bisa berbahasa Indonesia.

Saya Astina, selama ini saya menghindar jadi guru PAUD. Ketakutan besar di dalam diri saya selalu berkata TIDAK BISA. Tetapi hari ini, sampai tulisan ini selesai, anak-anak yang sangat berharga dan saya kasihi ini seolah berkata, tunas ini akan berbuah manis dan dinikmati banyak orang.

Sepotong es krim, apresiasi untuk diri saya yang mengalahkan ketakutan dan mau belajar menjadi bisa. NTT, how wonderfull it is.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Tina M

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Jati Diri Pendidikan non-Formal

Rabu, 24 Januari 2024 18:03 WIB
img-content

Puisi untuk kau, aku dan Tuhan

Rabu, 14 Juni 2023 11:27 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler