Suatu hari saat sedang scroll-scroll media sosial, saya menemukan ada sebuah unggahan berbunyi, “sebaik-baik wanita adalah wanita yang tidak menarik perhatian’ lengkap dengan gambar perempuan bercadar dan berpakaian serba hitam. Unggahan-unggahan yang sejenis itu memang beberapa kali saya temukan di media sosial, terutama di akun-akun hijrah. Jangan salah paham, saya bukan orang yang anti hijrah atau dakwah-dakwah keagamaan. Namun, bukan berarti saya harus menghilangkan sikap kritis terhadap informasi keagamaan yang saya terima. Agama memang berkaitan erat dengan perkara iman, tapi juga harus diimbangi dengan pendayagunaan akal. Sebab, Tuhan sendiri yang memerintahkan manusia lewat firman-Nya untuk senantiasa berpikir.
Unggahan tersebut sempat di-repost oleh akun milik seorang pegiat isu perempuan, toleransi dan keberagaman yang kebetulan saya ikuti (follow) di instagram. Tentu saja dia menolak dan memprotes unggahan tersebut. Katanya, dia justru ingin menjadi perempuan yang ‘menarik perhatian’ melalui tulisan-tulisannya, pemikirannya, pendapatnya.
Saya suka dan setuju dengan responnya. Pertama, karena dia telah dengan berani melawan narasi-narasi keagamaan konservatif yang meminggirkan perempuan. Kedua, ruang publik digital kita membutuhkan lebih banyak suara dari kelompok moderat yang mampu membawa narasi keagamaan yang lebih adem, manusiawi dan menjawab tantangan zaman.
Oleh karena itu, ketimbang melulu mengurusi pakaian perempuan, mengatur tubuh dan moral perempuan atau mengampanyekan nikah muda dan poligami, akun-akun hijrah sebaiknya mulai mempertimbangkan ide-ide berikut sebagai muatan konten-kontennya. Jika ada lagi ide-ide lainnya yang lebih baik dari yang saya sebutkan di bawah ini tentu tidak masalah.
Pertama, mengampanyekan pembebasan perempuan dari diskriminasi, kekerasan dan segala hal yang mengerdilkan nilai-nilai kemanusiaan perempuan
Budaya patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat kita telah berkontribusi besar pada diskriminasi, kekerasan, seksisme, misoginis dan berbagai ketidakadilan terhadap perempuan. Selama perempuan belum aman dari berbagai bentuk pelecehan, selama perempuan yang dianggap tidak sesuai standar sosial masih distereotipekan atau dilabeli negatif, selama perempuan masih belum dihargai dan dianggap sebagai individu yang utuh dan berdaulat, berarti hidup perempuan sedang tidak baik-baik saja.
Ketimbang ribet jadi polisi moral, kenapa tidak menyuarakan kepedulian tentang para ibu dan anak-anak yang menjadi korban KDRT, buruh perempuan yang hak-haknya dilanggar atau perempuan masyarakat adat yang tanahnya dirampas atas nama pembangunan? Saya pikir konten dakwah seperti itu akan lebih bermanfaat dan yang jelas sesuai dengan nilai-nilai agama yang senantiasa berpihak pada kaum marginal.
Kedua, melawan narasi dan glorifikasi pernikahan dini
Pernikahan itu ibadah yang panjang. Bukan hanya ketika akad nikah, melainkan kehidupan setelah akad dan resepsi itulah yang jauh lebih penting. Karena sakralnya pernikahan, ibadah ini tidak seharusnya dilakukan dengan main-main. Apalagi kalau niat menikah hanya karena nafsu atau sudah capek ditanya “kapan nikah?” setiap Lebaran.
Sayangnya, akun-akun hijrah itu suka lupa pada esensi paling penting dari sebuah pernikahan. Seolah pernikahan adalah tujuan final sehingga narasi yang dibawa hanya yang ‘manis-manis’ saja. Buat ABG-ABG yang masih labil dan sering galau, narasi tersebut bakal dianggap kalau menikah adalah solusi jitu agar mereka lebih bahagia. Seharusnya mereka diberi pemahaman bahwa menikah di usia terlalu muda banyak mudaratnya. Mulai dari risiko kematian bayi dan/atau ibu melahirkan sampai masalah kesiapan finansial dan mental sebagai orangtua. Anak-anak seusia mereka juga seharusnya fokus menyelesaikan pendidikan, mengejar cita-cita, belajar dan mencoba banyak hal, menjalin pertemanan yang positif dan menikmati masa muda yang hanya sekali seumur hidup.
Jangan bandingkan dengan perempuan zaman baheula yang bahkan di usia belum 20 tahun sudah menikah dan punya satu anak. Zamannya sudah berbeda. Perempuan muda zaman dulu tidak punya banyak pilihan sebagaimana perempuan muda zaman modern.
Ketiga, mendorong anak-anak muda untuk berpendidikan, berkarya dan memberikan manfaat di berbagai bidang
Masih berhubungan dengan poin kedua, daripada kampanye nikah muda melulu, kenapa tidak mengajak generasi muda untuk lebih semangat mendayagunakan akal, tangan dan kakinya agar bisa berkontribusi bagi lingkungan dan orang-orang sekitar?
Anak muda adalah agen perubahan. Supaya bisa menjadi agen perubahan, mereka harus berpendidikan. Berpendidikan itu tidak mesti dari sekolahan. Tidak selalu berkaitan dengan ijazah maupun gelar. Sebab, ada juga orang-orang yang tidak bergelar mentereng tapi eksistensinya lebih bisa memberikan manfaat ketimbang para sarjana jebolan universitas ternama.
Toh, agama mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.
Keempat, menumbuhkan kesadaran ekologis umat
Tuhan memberi amanah pada manusia untuk menjaga dan memakmurkan bumi. Tuhan juga menyuruh manusia untuk memperhatikan alam semesta dan tidak berbuat kerusakan. Ironisnya, ayat-ayat Tuhan tentang lingkungan justru jarang mendapat tempat dalam ceramah-ceramah keagamaan.
Sebuah survei global bahkan menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan persentase penyangkal krisis iklim tertinggi di dunia. Masih banyak masyarakat Indonesia yang kerap mengaitkan masalah ekologis dengan azab Tuhan. Akibatnya, kebijakan atas masalah ekologis seringkali tidak progresif dan solutif. Media di Indonesia pun masih banyak yang belum mampu membingkai isu lingkungan dan krisis iklim sebagai masalah serius.
Celah tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan oleh akun-akun hijrah untuk mendorong kesadaran kolektif akan isu lingkungan dan krisis iklim. Apalagi kalau pengelola atau pemilik akunnya adalah ustaz-ustaz atau ustazah-ustazah dengan basis penggemar yang besar.
Kelima, mempromosikan toleransi, inklusivitas dan keberagaman
Hasil penelitian dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertajuk “Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia” menemukan narasi paham keagamaan konservatif di media sosial, terutama platform Twitter mencapai 67,2%. Jumlah ini mendominasi narasi paham keagamaan lain seperti moderat (22,2%), liberal (6,1%) dan islamis (4,5%). Iim Halimatusa’diyah, Ph.D selaku koordinator penelitian mengungkapkan narasi konservatif yang banyak muncul di media sosial umumnya terkait isu perempuan, hubungan negara, warga negara dan kelompok yang ada dalam masyarakat serta terkait amalan-amalan baik dan buruk.
Dominasi konservatisme agama di media sosial bukan menandakan kalau jumlah kelompok konservatif lebih banyak dari kelompok moderat. Mereka hanya lebih militan dan berisik sehingga unggahan-unggahannya lebih berpotensi untuk menarik perhatian dan viral.
Nah, daripada menambah populasi atau diam saja membiarkan kelompok konservatif makin berisik tapi setiap lihat unggahan mereka rasanya mau mengumpat, lebih baik buat kontra narasi sebagai perlawanan. Hitung-hitung mengungkapkan kekesalan secara elegan, cerdas tapi tetap tepat sasaran.
Ikuti tulisan menarik Luna Septalisa lainnya di sini.