x

Iklan

Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Rabu, 14 Juni 2023 22:05 WIB

Mengenal Sistem Pemilu dan Politik Indonesia

Sistem pemilu apa pun memiliki dua fungsi utama. Pertama, sistem pemilu adalah prosedur konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif atau lembaga eksekutif, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Keempat unsur sistem pemilu itu mutlak diperlukan dalam mengonversi suara pemilih menjadi kursi. Dua persyaratan utama untuk sistem pemilu sebagai prosedur konversi suara pemilih menjadi kursi belum menjadi fokus kajian dari pansus dan pemerintah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fungsi utama sistem pemilu

Sistem pemilu apa pun memiliki dua fungsi utama. Pertama, sistem pemilu adalah prosedur konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif atau lembaga eksekutif, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Keempat unsur sistem pemilu itu mutlak diperlukan dalam mengonversi suara pemilih menjadi kursi. Dua persyaratan utama untuk sistem pemilu sebagai prosedur konversi suara pemilih menjadi kursi belum menjadi fokus kajian dari pansus dan pemerintah.

 Persyaratan pertama, sistem pemilu itu sederhana untuk dipahami oleh segala unsur pemilih dan sederhana untuk dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu serta peserta pemilu tingkat operasional. Hal ini penting diperhatikan karena sistem pemilu proporsional terbuka yang dilaksanakan sejak Pemilu 2009 merupakan sistem pemilu paling kompleks di dunia sehingga sukar dipahami pemilih awam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Persyaratan kedua memandang sistem pemilu sebagai prosedur konversi harus memenuhi kriteria pemilu demokratik. Hal ini penting dijamin tak hanya untuk memastikan penyelenggara negara hasil pemilu memiliki legitimasi di mata rakyat dan dunia, tetapi juga untuk menjamin agar pemilu Indonesia bukan pemilu otoriter (authoritarian election), seperti Singapura dan Kamboja. Apakah Pansus RUU Pemilu sudah memiliki daftar kelemahan pemilu Indonesia berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh dan mendalam?

Setidaknya terdapat lima aspek kelemahan proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang perlu dapat perhatian pemerintah dan DPR. Kesetaraan antarwarga negara belum terjamin dalam alokasi kursi DPR kepada provinsi dan penataan dapil masih amburadul karena dijabarkan tanpa prinsip serta kriteria yang jelas dan konsisten. Persaingan antarpeserta sudah bebas, tetapi belum adil karena praktik penyalahgunaan uang dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Jual-beli suara yang melibatkan calon, pemilih, dan petugas kian parah serta meluas dibandingkan dengan Pemilu 2009.

Partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan pemilu pada satu sisi mengalami peningkatan, terutama peran serta lembaga survei dan media massa, tetapi ada kemunduran pada aspek pemantauan pemilu, pendidikan pemilih, dan partisipasi pemilih individual dalam melaporkan dugaan pelanggaran hukum pemilu. Integritas pemilu dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara masih menjadi persoalan, antara lain karena proses rekapitulasi hasil penghitungan suara pada pemilu Indonesia merupakan proses yang paling panjang di dunia (lima tingkat untuk DPR dan DPD, empat tingkat untuk DPRD provinsi, dan tiga tingkat untuk DPRD kabupaten/kota). Akibatnya, hasil resmi pemilu perlu waktu panjang untuk dapat diketahui publik dan membuka kesempatan manipulasi hasil penghitungan suara pada setiap tingkat.

Selain itu, penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu tidak hanya belum menjamin keadilan, tetapi juga tidak tepat waktu. Semua kelemahan ini perlu direspons dalam UU Pemilu.

 Fungsi kedua sistem pemilu adalah sebagai instrumen demokratisasi. Setiap unsur sistem pemilu memiliki konsekuensi terhadap berbagai aspek sistem politik, seperti sistem kepartaian, sistem perwakilan politik, efektivitas pemerintahan, integrasi nasional, perilaku memilih, ataupun perilaku politisi. Oleh karena itu, sebelum menentukan pilihan dalam setiap unsur sistem pemilu, pansus dan pemerintah perlu terlebih dulu menyepakati sistem politik demokrasi seperti apakah yang hendak dicapai. Konkretnya, parpol dan sistem kepartaian seperti apa, sistem perwakilan politik seperti apa, efektivitas pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah seperti apa, perilaku memilih dan perilaku politisi seperti apakah yang hendak diwujudkan.

Konsolidasi sistem politik

Sebelum menentukan tujuan ini, pansus dan pemerintah perlu menyepakati hasil evaluasi tentang perkembangan sistem politik demokrasi Indonesia. Misalnya, apakah sistem ini sudah mengalami konsolidasi atau belum? Salah satu indikator demokrasi yang sudah mengalami konsolidasi adalah demokrasi telah menjadi satu-satunya aturan main dalam mengelola organisasi politik (the only game in town). Apakah parpol sudah dikelola secara demokratis, apakah proses pengambilan keputusan di DPR, DPD, dan DPRD sudah demokratis, apakah organisasi kemasyarakatan dan lembaga non-pemerintah dikelola secara demokratis, apakah pengambilan keputusan di setiap rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) sudah berlangsung demokratis.

Jika demikian halnya, berbagai alternatif pilihan dari setiap unsur sistem pemilu perlu dipertimbangkan dari dua segi. Pertama, apakah konsekuensi alternatif unsur sistem pemilu menimbulkan akibat yang diharapkan. Misalnya, kalau yang dipilih metode kuota Hare, apakah metode ini akan menimbulkan akibat yang dikehendaki. Besaran dapil DPR yang medium (70 dari 77 dapil DPR mendapat 6-10 kursi, sebagian besar dapil DPRD memperoleh 6-12 kursi), parpol dapat memperoleh sisa kursi meski jumlah suara sah yang diperoleh tak mencapai bilangan pembagi pemilihan (BPP), dan penetapan calon terpilih tak perlu mencapai BPP atau mayoritas, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu No 8/2012. Ketiganya memberikan insentif bagi calon, pemilih, dan petugas untuk terlibat praktik jual-beli suara.

Dan, kedua, apakah konsekuensi setiap pilihan unsur konsisten dengan konsekuensi unsur sistem pemilu lain. Penggunaan metode kuota Hare (BPP) untuk membagi kursi setiap dapil tak sejalan/konsisten dengan penggunaan ambang batas perwakilan 3,5 persen untuk menyederhanakan jumlah parpol. Yang pertama mempermudah partai memperoleh kursi, sedangkan yang kedua mempersulit. Unsur-unsur sistem pemilu proporsional terbuka yang diadopsi dalam UU No 8/2012 mengandung enam kontradiksi (Strategic Review, Vol 4 No 1 2014). 

Ikuti tulisan menarik Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu