x

Iklan

addi wisudawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Juli 2022

Senin, 19 Juni 2023 12:58 WIB

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Rumah Megawati

Perjalanan politik Megawati Soekarnoputeri layak disimak. Ia telah melalui beberapa fase kehidupan, antara lain, saat dihadapkan situasi dilematis antara meneruskan ego kekuasaan pribadi atau kebangkitan partai, Dia berhasil melewtainya dengan baik. Para politisi yang masih haus akan kekuasaan pribadi perlu belajar ke Mega.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Putri Soekarno, Mega Bintang dan Reformasi

Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, dari namanya dapat dipastikan bahwa beliau adalah anak dari salah satu founding father kita: Ir. Soekarno. Sebagai salah satu putri dari Presiden Pertama RI pastinya membuat alam bawah sadarnya merekam aktivitas-aktivitas politik dari ayahnya yang tentu memiliki pengaruh besar dialam sadarnya. Akan tetapi, menanggung nama besar sebagai putri Bung Karno bukan tidak memiliki risiko.

Pada masa Orde Baru terdapat frasa desoekarnoisasi, yaitu sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mengurangi pengaruh Soekarno. Dalam diksi yang lebih kasar, desoekarnoisasi itu mungkin untuk melemahkan kekuatan politik dari loyalis dan keluarga Soekarno. Namun hal ini dilakukan juga seiring dengan pengakuan dan pemberian gelar pahlawan nasional dan proklamator kepada Soekarno oleh pemerintah Orde Baru. Sebuah paradoks memang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perjalanan yang dilalui Megawati sebagai anak Soekarno dimasa Orde Baru tidaklah mudah, dikabarkan bahwa Megawati dikeluarkan dari fakultas pertanian UNPAD. Konon sebabnya adalah Megawati terekam sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang pada masa itu di anggap memiliki afiliasi politik dengan Partai Nasional Indonesia. Hal ini merupakan salah satu skema desoekarnoisasi tadi.

Naluri politik Megawati tetap masih hidup, pada periode 1984 Megawati masuk dan aktif di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan berhasil masuk sebagai angggota DPR RI dari Partai tersebut pada tahun 1987 yang juga memberikan dampak positif terhadap PDI dengan peningkatan perolehan kursi di DPR pasca masuk nya Megawati.

Pada tahun 1993 Megawati berhasil memenangkan kursi Ketua Umum PDI dalam Kongres Nasional, namun lagi-lagi dapat penjegalan dari Orde Baru melalui intervensi politik terhadap proses pemilihannya, yang puncaknya adalah pada tahun 1996 terjadi perpecahan dan kerusuhan dikantor PDI di jalan Diponegoro, Jakarta antara massa Megawati dengan massa Soeyjadi yang dipicu oleh hasil Kongres Luar Biasa di Medan untuk menggulingkan Megawati dan digantikan oleh Soerjadi. Upaya meredam bentrok pun dilakukan dengan jalan kekerasan yang mengakibatkan banyaknya korban dari massa megawati. Sikap Megawati pada saat itu yang cenderung diam dan tidak ambisius justru menarik simpati tersendiri dan menarik massa dan loyalis.

Pada Pemilu 1997, Megawati tidak dapat mengikuti kontestasi Pemilu karena menurut pemerintah pengurusan PDI dibawahnya tidak diakui sehingga menyebabkan sebagian besar massa dan loyalisnya beralih ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlambangkan Bintang. Dikabarkan ada pertemuan antara Megawati dan Ketua DPC PPP Surakarta Mudrick Sangidoe, sehingga munculah jargon Mega-Bintang yang memiliki tujuan sama, menghantam Golkar dan Soeharto.

Masuk tahun 1998, megawati menjadi salah satu tokoh sentral dalam pusaran reformasi bersama Amien Rais, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan beberapa tokoh lainnya. Bersama mahasiswa yang memiliki semangat juang sama: menggulingkan orde baru, megawati roadshow kebeberapa kota penting untuk mengobarkan semangat reformasi. Dan pada akhirnya presiden Soeharto pun lengser.

Megawati dan PDI Perjuangan dalam dinamika politik

Pasca reformasi, PDI versi Megawati bertansformasi menjadi PDI Perjuangan (PDI-P). Yang dipimping langsung oleh Megawati dari tahun 1998 hingga hari ini.

Pada tahun 1999 pemilu pertama dalam era reformasi digelar. PDI-P memenangkan kontestasi. Akan tetapi, karena pola pemilihan presiden masih dilakukan di MPR Megawati kalah dengan rekan seperjuangannya: Gusdur. Alhasil, pemilu pertama tersebut mendapatkan hasil Gusdur sebagai Presiden dan Wakil Presidennya adalah Megawati. Akan tetapi pada tahun 2001 kondisi politik kembali memanas yang menyebabkan Gusdur harus lengser dari kursi Presiden dan di gantikan oleh Megawati hingga tahun 2004.

Pada tahun 2004, sesuai amandemen UUD 1945 untuk pertama kalinya dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pada masa tersebut terdapat  6 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada pemilu ini dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) yang dianggap sebagai poros baru diluar tokoh-tokoh reformasi yakni Pasangan Gusdur, Pasangan Amien Rais, Pasangan Megawati dan tokoh-tokoh dianggap dari Orde Baru yakni pasangan Wiranto dan pasangan Hamzah Haz.

Pada tahun 2009 Megawati kembali betemu dengan pasangan SBY yang pada 2004 sempat berduel di putaran kedua. Megawati-Prabowo kalah oleh pasangan SBY-Boediono. Pada masa-masa tahun 2004-2014 PDI Perjuangan berdiri sebagai Oposisi Pemerintahan SBY. Tak sedikit kritik-kritik dilakukan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Megawati dan PDI-P yang juga melibatkan Puan Maharani anak emas dari Megawati dalam menghantam kebijakan SBY dan koalisinya. Yang terbesar adalah penolakan kebijakan kenaikan BBM yang dilakukan oleh pemerintahan SBY. Megawati dan PDI Perjuangan tetap berjuang sebagai Oposisi mengawal kebijakan SBY.

PDI Perjuangan atau Trah Soekarno

Pada tahun 2014, pemilu kembali digelar. SBY telah mengahabiskan 2 periode sehingga tidak dapat mencalonkan diri lagi. Megawati yang masih menjabat sebagai ketua umum PDI-P nampaknya masih memiliki ambisi untuk kembali menyalonkan diri menjadi Presiden. Akan tetapi desakan akar rumput partai dan hasil survey dari beberapa lembaga survey justru mengerucut pada salah satu kader PDI perjuangan yang merintis karir politiknya dari Walikota Solo hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau lebih popular dengan sebutan JOKOWI. Asumsi penulis, mungkin pada saat itu terjadi pergolakan batin yang hebat didalam diri megawati. Antara tetap melanjutkan ambisinya untuk kembali di pertempuran Pilpres atau mengikuti arus untuk menjaga berjalannya roda organisasi partai. Sungguh keputusan yang sulit dan pertaruhan yang sangat berani dengan memberikan restu dab “tugas” kepada JOKOWI untuk bertarung di arena Pilpres. Sialnya, keputusan tersebut tepat. Elektabilitas JOKOWI semakin meroket, membawa dampak kepada suara partai di DPR yang juga melonjak drastis. Alhasil, PDI-P menguasai Eksekutif dan Legislatif sekaligus. Selamat tinggal Oposisi..

Masuk kepada pemilu 2019, Megawati agaknya sudah mulai berdamai dengan keadaan dan menemukan zona nyamannya serta mempersiapkan kondisi yang aman untuk PDI Perjuangan dibawah kepemimpinannya. Jokowi kembali ditugaskan untuk melanjutkan pertarungan Pilpres ditahun tersebut. Hasilnya Jokowi menang kembali dan PDI Perjuangan masih menguasai kekuasaan Eksekutif dan Legislatif. Megawati hanya tinggal melanjutkan roda organisasi dan mempersiapkan Trah Soekarno selanjutnya, yakni anak emasnya: Puan Maharani.

Saat ini, saat tulisan ini ditulis, tahun 2023 masih hangat nuansa persiapan pilpres 2024. PDI Perjuangan 2 tahun terkahir ini sudah mulai menyiapkan Puan Maharani untuk diorbitkan. Kedudukan strategis sebagai ketua DPR RI dan jargon nya untuk Indonesia “Kepak Sayap Kebhinekaan” mengisyaratkan bahwa trah soekarno telah disiapkan untuk menjadi calon Presiden dari PDI Perjuangan. Naluri Megawati sebagai ketua umum partai untuk menyiapkan kadernya seiring juga nalurinya sebagai ibu untuk memersiapkan anak emasnya adalah sah-sah saja, selama dapat diterima oleh partai dan rakyat. Akan tetapi hal tersebut tidak berjalan mulus. Kenyataannya elektabilitas puan kalah dengan salah satu kader PDI Perjuangan. Seperti dejavu 10 tahun sebelumnya. Nama Ganjar Pranowo mulai muncul dari akar rumput partai. Ganjar yang juga masih menjabat sebagai gubernur jawa tengah mendapat respon positif dan hasil survey yang jauh lebih baik. Kembali Megawati dihadapkan dengan kondisi yang sama seperti 10 tahun sebelumnya, bedanya saat ini adalah anaknya yang juga Trah Soekarnonya yang menjadi pertaruhan. Tentu sangat tidak mudah, ditambah dalam usianya dan harapannya menjaga Trah Soekarno. Dibutuhkan kedalaman pikiran dan kelapangan hati serta kebijaksaan yang mendalam antara melanjutkan Trah Soekarnonya atau menjaga partai dibawah kepemimpinannya tetap memimpin negeri ini. Hasilnya, keputusan yang luar biasa PDI perjuangan menunjuk Ganjar sebagai bakal calon Presiden dari PDI Perjuangan. Tidak dapat dibayangkan bagaimana pergolakan batin Megawati sebagai ibu sekaligus Ketua Partai menghadapi kondisi seperti itu.

Dibalik seluruh kontroversinya yang banyak dijadikan meme dan sindiran bernada ngenyek oleh netizen dan kepemimpinannya mengelola partai (dari partai tersebut bertransformasi hingga saat ini tidak digantikan oleh kader lain) keputusan Megawati dalam mendorong Ganjar bukan Puan perlu diapresiasi. Tidak banyak orang yang dapat mengelola pergolakan seperti itu. Sekali lagi, diperlukan kedalaman pikiran dan kelapangan hati serta kebijaksaan yang mendalam untuk membuat keputusan seperti itu. Tentunya para pemimpin partai lain perlu banyak belajar dari pergolakan batin dan pemikiran tersebut. Sesekali mainlah kerumah Bu Mega, Salut untuk bu Mega…

Ikuti tulisan menarik addi wisudawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB