x

Ilustrasi Petani

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 28 Juni 2023 16:45 WIB

Sebuah Catatan Kaki untuk Kebudayaan

Berpikir adalah berproses dalam gerak-dinamis. Ia bukanlah sesuatu yang bisa disebut kekanak-kenakan ataupun dewasa, karena selalu bertumbuh. Sesuatu yang fayakun-menjadilah. Bukan fakana-terjadilah. Yang tidak hanya present tense tetapi present continous tense.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Al-Insanu Hayawanun al-Natiq. Manusia adalah binatang yang berpikir, begitu kata Imam Al-Ghazali. Tapi sejak kapan? Sejak kapan manusia mendayagunakan akal pikirannya? Saya kira sejak manusia mulai mengais-ngais tanah dan mengubur benih untuk yang pertama kali. Proses berpikir manusia ditandai dengan berubahnya cara manusia melakukan sesuatu, dari berburu menjadi bercocok tanam. Itulah yang pertama-tama membedakan antara manusia dengan binatang. Karena tidak ada satu pun binatang yang menanam biji-bijian. Bermula dari peristiwa itu lahirlah kebudayaan.

Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta "budhhaya" yang berarti akal pikiran. Akar katanya "budhi" yang berarti pikiran dan "dhhaya" berarti daya atau upaya. Kebudayaan secara etimologi dapat diartikan sebagai segala daya upaya manusia dalam menggunakan akal pikirannya. Sebuah proses berpikir.

Proses berpikir inilah yang menandai lahirnya makhluk yang disebut manusia. Saya tidak menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk "manusia" yang saya maksud untuk kalimat ini. Intinya melalui berpikir, dalam bahasa Arab, yang basyar bertransformasi menjadi yang insan. Manusia sebagai makhluk berubah menjadi manusia sebagai manusia. From being to becoming. Dari kun menjadi fayakun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena berpikir bukanlah suatu keadaan yang diam-statis melainkan suatu hal yang berproses dalam gerak-dinamis. Ia bukanlah sesuatu yang bisa disebut kekanak-kenakan ataupun dewasa, karena ia selalu bertumbuh. Bergerak terus-menerus. Sesuatu yang fayakun-menjadilah. Bukan fakana-terjadilah. Yang tidak hanya present tense tetapi present continous tense. Dengan apik Emha Ainun Nadjib—semoga kesehatan dan keberkahan menyertai umur beliau— mengalihbahasakan perihal ini dengan frasa: terus berjalan.

Berkali-kali Al-Quran menyebutkan: “Afala Tatafakkarun” (apakah kamu tidak memikirkan?), “Afala Ta’qilun” (apakah kamu tidak menggunakan akalmu?), “Afala Tadzakkarun?” (Tidakkah kamu mengambil pelajaran?). Ini menunjukkan betapa pentingnya proses berpikir bagi manusia. Dari proses berpikir terus-menerus inilah kebudayaan lahir. Bukan berarti dengan berpikir maka manusia dapat meninggalkan status ke-basyar-an, ke-being-annya. Tetapi lebih ke dengan berpikir, manusia menjadi tidak hanya itu. Sekadar makhluk. Sebatas binatang. 

Seperti binatang, manusia juga membutuhkan makan, tidur, dan buang air. Namun cara makan, tidur, dan buang airnya manusia berbeda dengan binatang. Selain itu, setiap daerah juga memiliki caranya masing-masing. Perbedaan cara melakukan sesuatu di tiap-tiap daerah ini lama-kelamaan menjadi ciri khas kebudayaan. Dan ini hanya dimiliki oleh manusia, binatang tidak. Kambing di Jepang tidak makan rumput dengan sumpit, monyet di Swedia tidak lantas tidur di atas ranjang IKEA, atau tikus-tikus di Indonesia tidak serta merta harus membayar dua ribu rupiah tiap kali berak.

Perspektif lain timbul ketika melihat asal-usul kata "kebudayaan" dari kata "budidaya". Kata "budidaya" selalu berkelindan dengan proses memelihara, kalau hewan ya dipelihara agar beranak-pinak. Kalau itu tumbuhan ya dirawat agar tumbuh subur. Sering kita dengar istilah budidaya ikan lele, budidaya tanaman hias, budidaya sayuran dan sebagainya. Budidaya adalah suatu upaya manusia untuk menumbuhkan dan merawat: memelihara. Dalam bahasa Inggris disebut culture, yang memiliki arti kurang lebih sama. 

Kata culture ini diserap dari bahasa Yunani colere yang berarti mengolah tanah dan menanaminya. Dalam kebudayaan Yunani, filsafat sering disebut dengan mentis colere, sebuah proses mengolah dan menumbuhkan akal pikiran. Akal pikiran, menurut imam Jafar Shadiq, adalah sesuatu yang dengannya Tuhan disembah. Maka akan sangat keliru jika ada yang beranggapan bahwa cara menyembah Tuhan adalah dengan meninggalkan akal pikiran. Kalau akal pikiran ditinggalkan, bagaimanakah cara kita tahu bahwa batu atau pohon beringin di pinggir kali itu bukan Tuhan? Meninggalkan akal pikiran sama saja dengan menyambut kebodohan sedangkan kebodohan adalah akar dari kesesatan. Berkaitan dengan penyembahan ini, culture juga merupakan akar kata dari cult —untuk menyebut kelompok keagamaan dengan upacara pemujaan tertentu.

Kultuurstelsel yang dilakukan pada zaman penjajahan juga mengandung makna kegiatan menanam dan menumbuhkan. Kultuurstelsel yang sering diterjemahkan menjadi sistem tanam paksa itu, meskipun tidak sepenuhnya salah, mengabaikan arti sebenarnya. Kultuur  seperti halnya culture memiliki arti menanam, di sisi lain stelsel berarti sistem. Kultuurstelsel secara harfiah berarti sistem tanam. Atau budidaya. Tidak ada kata "paksa" di sana. Imbuhan kata "paksa" semata-mata disematkan untuk mencerminkan keadaan batin bangsa Indonesia saat itu secara emosional, bukan secara leksikal-gramatikal.

Proses tumbuhnya akal pikiran manusia selama ribuan bahkan jutaan tahun yang disebut sebagai "kebudayaan", oleh dunia modern diperdangkal maknanya menjadi sebatas "kesenian". Itupun oleh negara yang cita-cita luhurnya mencerdaskan kehidupan bangsa ini, dengan cerdasnya menyederhanakan "kesenian" sebagai "pertunjukan". Dan "pertunjukan" dipersempit lagi menjadi "tari". Saya berani bertaruh, jika diketikkan keywords: "Festival Kebudayaan Indonesia" di mesin pencari mana pun, gambar yang  pertama muncul adalah orang yang sedang menari. Jika kita klik bagian images, kita hanya akan menemukan semakin banyak orang menari.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu