x

Pembakaran Al-Quran oleh Salwan Momika, 28/6/23

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Sabtu, 8 Juli 2023 07:54 WIB

Al-Quran Dibakar, Swedia Hilang Akal

Swedia, dan banyak negara lain terjebak di dalam kerangka berpikir bahwa suatu negara adalah negara hukum, titik. Mereka lupa bahwa di atas hukum masih ada norma, asas dan nilai-nilai. Jadi, jika hukum tidak adil, seseorang tidak hanya mempunyai hak —tetapi juga kewajiban— untuk tidak menaatinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di depan masjid Stockholm, Idul Adha tahun ini adalah hari ketika sapi disembelih, domba dipotong dan Al-Quran dibakar. Tidak sampai enam bulan setelah kasus pembakaran Al-Quran oleh Rasmus Paludan, untuk kedua kalinya Al-Quran dibakar di Swedia. Kali ini pelakunya seorang pria berumur 37 tahun, Salwan Momika, pengungsi Irak yang telah beberapa lama menetap di Stockholm. Dia melakukan pembakaran ini atas nama kebebasan berekspresi. Anehnya, polisi mengizinkan. Undang-undang mengizinkan. Ditambah lagi Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson berkata bahwa aksi itu legal walaupun tak pantas. Artinya, di Swedia, membakar kitab suci itu walaupun tidak pantas tetapi dilegalkan—dibolehkan menurut hukum.

Swedia, dan banyak negara lain terjebak di dalam kerangka berpikir bahwa suatu negara adalah negara hukum, titik. Mereka lupa bahwa di atas hukum masih ada norma, asas dan nilai-nilai. Berbeda dengan etika yang berada di tataran norma dan asas, hukum berada jauh di bawahnya. Hukum itu ada untuk menjamin tercapainya sebuah standar minimal dari etika. Karena hanya dengan terpenuhinya standar tersebut, sebuah keadilan yang berada di tataran nilai dapat diwujudkan. Sehingga hukum yang tidak etis, adalah hukum yang pasti tidak adil.

Dan jika hukum tidak adil, seseorang tidak hanya mempunyai hak—tetapi juga memiliki kewajiban—untuk tidak menaatinya. Ada sebuah cerita yang sedikit-banyak memberikan gambaran tentang hukum, etika dan keadilan:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suatu pagi, seorang wanita sedang berbelanja di McDonald's lalu dengan tiba-tiba muncullah seorang gelandangan yang meminta sejumlah uang untuk makan. Alih-alih lari, wanita itu malah mengajak si gelandangan untuk makan bersama di salah satu sudut restoran. Sesaat setelah si gelandangan menghabiskan makanan di piringnya, terjadi percakapan singkat:

Wanita: "Mengapa engkau bisa menjadi gelandangan?"

Gelandangan: "Sulit bagiku mencari pekerjaan di kota ini. Khususnya yang mau mempekerjakan mantan narapidana sepertiku."

Wanita: "Apa aku tidak salah dengar? Kau bilang barusan narapidana?"

Gelandangan: "Ya, kau mendengarku. Aku ditangkap karena kasus pembunuhan dan karena itu aku dipenjara selama 20 tahun. Mungkin ini adalah hukuman bagiku."

Wanita: "Sungguh kejam sekali engkau, membunuh seseorang selain dilarang hukum juga merupakan suatu dosa yang teramat besar. Memang apa alasanmu melakukan perbuatan sekeji itu?"

Gelandangan: "Aku membunuh seorang pria. Seorang pedofil yang memerkosa putriku, saat itu umurnya 4 tahun. Aku tidak tahu lagi di mana putriku sekarang, mungkin dia sudah menikah."

Ada yang tidak selesai di depan hukum dalam cerita tersebut. Kita merasakan ada sesuatu yang salah namun tidak dapat kita ungkapkan dengan kata-kata. Ada wilayah abu-abu di antara yang etis dan yang tidak etis. Kita berharap keadilan akan menjulurkan tangannya dari sela-sela asas dan norma-norma, tetapi nyatanya tidak. Seakan-akan ada jarak yang begitu jauh antara penjara 20 tahun menurut hukum dan sebuah keadilan.

Swedia mungkin lupa atau malah tidak mengerti akan hal semacam ini. Kristersson, Polisi Swedia —juga Momika—selalu berlindung di bawah ketiak hukum. Di bawah payung undang-undang atas nama kebebasan berekspresi. Mereka lupa bahwa di atas undang-undang kebebasan berekspresi, ada hukum kebebasan berekspresi. Dan di atas hukum kebebasan berekspresi, ada etika kebebasan berekspresi. Tanpa memahami ini, negara mana pun akan berputar-putar di dalam gelap dan rumitnya labirin hukum yang seolah tanpa pintu keluar. Atau bagi para pencari keadilan, bagaikan dalam cerita Kafka, pintu masuknya tidak pernah terbuka. Di dalam kebingungan itu, muncul alasan pembenaran yang diada-adakan.

Pembenaran Swedia adalah bahwa yang dilakukan Salwan Momika tidak mengancam keamanan. Berarti sepanjang tidak ada keonaran, kerusuhan, selama orang tidak pukul-pukulan maka Salwan Momika boleh berbicara dan melakukan apa saja. Termasuk membakar kitab suci agama orang. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa negara yang katanya "maju" seperti Swedia pun, rupa-rupanya tidak mempunyai selera yang bagus terhadap martabat dan harga diri. 

Dalam urusan martabat dan harga diri, orang itu lebih baik dipukul daripada dihina. Karena lebih sakit diludahi mukanya daripada sekadar ditinju berkali-kali. Bagi orang Islam, membiarkan martabat direndahkan dan harga diri di injak-injak adalah salah satu bentuk kezaliman. Yaitu kezaliman terhadap diri sendiri. Untuk Swedia khususnya Kristersson, jangan heran kalau negara-negara Islam begitu marah ketika Al-Quran, kitab sucinya dibakar di depan Masjid, saat Idul Adha. Karena di Swedia, Al-Quran, Masjid, dan Idul Adha adalah tiga muka Islam yang secara legal baru saja diludahi.

Untungnya Nabi Muhammad pernah memberikan nasihat berulang-ulang: "Jangan marah, jangan marah, jangan marah!" Oleh sebab itu, orang Islam tidak akan marah kepada Swedia ataupun Momika. Tetapi kalau ada yang marah ya jangan kaget, karena di negara-negara Islam, marah adalah sesuatu yang—seperti Kristersson sendiri katakan— "legal", walaupun tak pantas.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu