x

Ruang Kelas Taman Siswa

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Selasa, 11 Juli 2023 07:36 WIB

Gerak Lambat Perjalanan Mundur Pendidikan Kita

Ki Hajar pernah berkata bahwa cipta, rasa dan karsa dalam pendidikan itu “to educate the head, the heart, and the hand” yang tujuan akhir ketiganya adalah karya, kemanfaatan. Dan saat itu, karya yang mempunyai manfaat terbesar bagi bangsa terjajah adalah menghapuskan penindasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Berapa jumlah guru yang tersisa?" adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Kaisar Hirohito sesaat setelah mendapat laporan bahwa Hiroshima dan Nagasaki telah luluh lantak. Dua kota di Jepang itu hancur oleh bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II. Kejadian itu juga menandai momen berakhirnya peperangan dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Namun tidak bagi Hirohito.

Di tengah kondisi negara yang porak-poranda, Hirohito menanyakan sesuatu yang membuat bingung para jenderalnya. "Berapa jumlah guru yang tersisa?" Mengapa jumlah guru yang ditanyakan, bukan jumlah tentara, bedil atau amunisi? Jawab Hirohito: “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar.” Enam hari setelah bom dijatuhkan, para jenderal—juga Hirohito sendiri—bergerilya ke pelosok-pelosok negeri Sakura untuk mengumpulkan para guru yang masih hidup. Sejarah mencatat jumlahnya mencapai 45.000 orang. Semuanya diberikan satu perintah yang sama: mengajarlah dan belajarlah lagi!

Belajar dari ketidaktahuannya tentang bom jenis apa yang menghacurkan Hiroshima dan Nagasaki, tahun 1945, Jepang mengubah motif pendidikannya menjadi mempelajari ilmu pengetahuan untuk menggerakkan industri dan menguasai teknologi. Hal ini semata-mata dilakukan agar Jepang mampu bersaing dengan negara-negara Eropa.  Bagi Hirohito, pendidikan adalah tumpuan tegak tidaknya suatu negara. Dalam hal ini, Amerika Serikat sebagai negara pemenang perang pun setuju.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, pendidikan tidak hanya melulu soal ilmu pengetahuan untuk modal persaingan. Dalam pendidikan, ada hal-hal lain selain ilmu pengetahuan. Tahun 1956, Benjamin S. Bloom menjadi psikolog yang paling terkenal di Amerika Serikat karena teori taksonominya. Di abad ke-21, teorinya masih digunakan dalam rangka penyusunan kurikulum pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia. Teorinya dikenal dengan nama Taksonomi Bloom yang membagi pendidikan menjadi tiga jenis:

Pertama, Aspek Kognitif. Aspek pertama ini bertujuan agar anak didik menguasai hal-hal yang berkaitan dengan intelektual, seperti ilmu pengetahuan dan keterampilan berpikir. Kedua, Aspek Afektif. Tujuan dari aspek kedua ini adalah agar anak didik memiliki perilaku-perilaku yang menekankan perasaan dan emosi. Dan Ketiga, Aspek Psikomotorik, aspek terakhir yang bertujuan agar anak didik melakukan kegiatan yang melibatkan keterampilan motorik seperti menulis tangan, mengetik, berolahraga, dan keterampilan teknis.

Taksonomi Bloom diterapkan oleh Indonesia untuk yang pertama kali dalam "Kurikulum 2013" yang mulai berlaku sejak awal tahun 2014. Berarti butuh 58 tahun bagi Indonesia untuk mengadopsi gagasan Bloom tersebut. Fakta ini membuka mata tentang seberapa tertinggalnya sistem pendidikan kita. Padahal dahulu sebelum Indonesia lahir, ketika Nusantara masih bernama Hindia Belanda, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara telah melahirkan Taman Siswa dengan taksonominya yang khas tentang cipta, rasa dan karsa.

Cipta adalah kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, pengetahuan baru, rumus baru yang berkelindan dengan intelektualitas. Rasa adalah tanggapan hati terhadap sesuatu, pendapat mengenai benar-salah, baik-buruk maupun indah-tidak indah yang melibatkan perasaan atau emosi. Sedangkan karsa adalah niat, kekuatan jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak dan bergerak, dengan kata lain tidak mandeg

34 tahun sebelum Bloom mengutarakan teori taksonominya yang mendunia, Ki Hajar Dewantara telah mengaplikasikannya di Taman Siswa. Taksonomi kognitif, afektif, dan psikomotoriknya Bloom itu sama persis dengan cipta, rasa, dan karsanya Ki Hajar Dewantara. Sejalan dengan hal ini, Ki Hajar pernah berkata bahwa cipta, rasa dan karsa dalam pendidikan itu: “to educate the head, the heart, and the hand” yang tujuan akhir dari ketiganya adalah karya, kemanfaatan. Dan saat itu, karya yang mempunyai manfaat terbesar bagi bangsa yang terjajah adalah pendidikan yang mengajarkan makna kebebasan. Sebuah pendidikan yang pada akhirnya—seperti dalam pembukaan UUD 1945—menghapuskan penjajahan di atas dunia.

Utamanya penjajahan kepada kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan menentukan nasib sendiri. Karena keduanya adalah hak yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun. Bahkan—menurut Ki Hajar Dewantara—oleh guru sekali pun. Menurut Ki Hajar, gurulah yang harus menyesuaikan terhadap pelbagai macam kebutuhan anak didiknya. Adakalanya guru itu menjadi yang ing ngarsa sung tuladha (membimbing dari depan), kadang ing madya mangun karsa (perpartisipasi dari tengah), dan sering-sering tutwuri handayani (memberi dorongan dari belakang). Guru dalam pandangan Ki Hajar adalah sebagai pendamping dan pengasuh, among, bukan sebagai penentu masa depan. 

Maka, dasar pendidikan adalah kebebasan anak didik untuk menemukan minat sesuai bakat yang dimilikinya. Melalui cara ini, anak didik dapat mengenali siapa dirinya sesuai kodratnya masing-masing. Tugas guru adalah saling asah, saling asih dan saling asuh. Mengasah pengetahuan intelektual dengan cipta, mengasihi anak didiknya dengan rasa dan mengasuh sesuai karsa anak didiknya. Mengapa saling? Karena dalam pendidikan, yang belajar bukan hanya anak didik tetapi juga guru. Teori terkini mengatakan bahwa cara belajar paling efektif adalah dengan mengajar. Pendidikan, menurut Ki Hajar adalah proses memanusiakan manusia. Oleh guru yang memiliki rasa kasih sayang. 

Bukankah dalam surat ke-55 Al-Quran itu, dalam allamal qur'an dan allamahul bayan (mengajarkan Al-Quran dan mengajari manusia bicara), Tuhan sendiri memakai sifat Ar Rahman-Nya bukan Al Alim-Nya? Sifat Maha Pengasihnya bukan sifat Maha Mengetahuinya? Pendidikan itu pertama-tama adalah urusan kasih sayang, bukan urusan pengetahuan.

Selain itu, tujuan Ki Hajar Dewantara dalam mendidik berbeda dengan tujuan Kaisar Hirohito. Dengan pendidikan, Hirohito memiliki tujuan untuk menguasai industri dan menguasai teknologi untuk mengejar ketertinggalan dari Eropa dalam hal menguasai dunia. Motifnya khas sebuah dinasti yaitu kekuasaan. Sedangkan tujuan pendidikannya Ki Hajar Dewantara tidak untuk menguasai apa pun, tetapi melepaskan diri dari kekuasaan. Diwakili oleh sebuah kata sederhana namun bersahaja: Merdeka.

Dan sekali lagi, Indonesia baru akan mengadopsi konsep kemerdekaan anak didik dari tahun 1922 ini dalam "Kurikulum Merdeka" yang mulai berlaku pada tahun 2024 nanti. Dalam urusan ketertinggalan, Indonesia memang juara. Rekor tertinggal 58 tahun dari buah pikiran Bloom berhasil dipecahkan oleh Indonesia sendiri dengan tertinggal 102 tahun—atau 79 tahun jika dihitung dari Indonesia merdeka—dari buah pikiran anak bangsanya sendiri. Mungkin karena Indonesia menganggap tujuan Ki Hajar Dewantara tidak untuk mengejar apa pun sehingga urusan tertinggal atau tidak, tidak pernah menjadi soal. Juga urusan kasih sayang. Karena setiap kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia selalu menempatkan anak didik sebagai objek, bukan subjek. Dan dengan arogan menganggap siswa hanya sebagai "peserta" didik, bukan "anak" didik. Tahun 2024, mudah-mudahan pendidikan kembali menemukan urat nadinya. Sehingga tidak lagi segelintir orang saja yang benar-benar sayang kepada anak-anak negeri ini. Semoga.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler