x

Sirih Pinang. Foto: Wikipedia

Iklan

Anselmus Dore Woho Atasoge

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Juli 2023

Kamis, 13 Juli 2023 07:16 WIB

Sirih Pinang, Demokrasi dan Masyarakat Kohesif

Melalui sirih pinang masyarakat Lamaholot meletakkan konsep tentang partisipasi dan persatuan individu-individu dalam komunitasnya. Proses sosial dan interaksi mereka bermuara pada penciptaan kohesi sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak matahari terbenam, semua yang diundang mulai berdatangan ke rumah si sakit. Ketika matahari sudah terbenam, upacara segera dimulai. Semua perlengkapan diletakkan di tengah-tengah ruang depan (ruang tamu), dan para fungsionaris adat (Koten-Kelen-Hurint-Maran) duduk mengelilinginya. Para undangan dan keluarga yang hadir duduk bersila mengitari para fungsionaris adat bersama perlengkapan ritual. 

Raja Koten mengambil sebuah pisau, lalu sebuah pinang dan sebatang sirih untuk siap dibelah. Raja Maran mengucapkan sebait doa: Go gili wua kolo nian/Go bolak maluk kolo toran/ Wua goen, wajak waen/Malu goen dorok lolon/Tekan taan gike ukunt/Tonu taan lobon telen/Mea pia ipe puken/Dat pia wewa wakon/Eket nope tapo tonu/Welak nope jin jawa/Puna dike nope tupat/Liput sare mope rorit/Maik nope kaka bapa pulo kae/Molor nope ama nene lema kae. (Kukacir pinang/ Kupatah sirih/ Pinang akan kuhidangkan/ Sirih akan kusajikan/ Kita makan bersama/ Kita minum bersama/ Merah gigi kita/ Warna mulut kita/ Kita dipersatukan/ Kita digabungkan/Bulat seperti ketupat/Utuh seperti anyaman/Seperti petunjuk para leluhur/Sebagai ajaran nenek moyang).

Segera setelah Raja Maran membawakan doa, Raja Koten membelah dan mengacir pinang, serta mematahkan sirih, lalu meletakkannya dalam tempat sirih pinang. Kemudian ia menyuguhkannya kepada Raja Kelen, Hurint dan Maran serta para hadirin. Semua yang hadir turut ‘memakan’ sirih pinang. Jika ada yang tidak dapat mencicipinya karena tidak biasa, tidak bisa karena alasan-alasan tertentu, maka cukup menjamah tempat sirih tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sirih pinang menjadi berharga-bernilai bagi masyarakat Lamaholot, Flores Timur, ketika dia ‘dilibatkan’ dalam ritual-ritual. Nilai yang tersembul dari kehadiran buah sirih adalah nilai persatuan. Buah sirih menjadi simbol kebersatuan hati dan pikiran ketika masyarakat Lamaholot hendak menunaikan ritual. Tindakan menahan tempat sirih pinang juga merupakan tindakan simbolik yang mengekspresikan partisipasi dan persatuan dalam ritus penyembuhan.

]Dalam dan melalui sirih pinang, masyarakat Lamaholot meletakkan konsep tentang partisipasi dan persatuan individu-individu dalam komunitasnya. Dalam tataran yang lebih luas, dalam dan melalui sirih pinang dihadirkan pula sebuah tatanan sosial dalam proses sosial dan interaksi sosial masyarakat Lamaholot. Proses sosial dan interaksi sosial dalam tatanan sosial Lamaholot bermuara pada penciptaan kohesi sosial.

Simbolisme-simbolisme dalam bidang budaya dan agama telah menjadi perhatian utama para antropolog sosial dan agama. Dalam bidang antropologi muncul sejumlah pemikir, di antaranya Raymond Firth, Mary Douglas, Victor Turner dan Clifford Geertz. Keempat tokoh antropologi sosial ini menaruh perhatian khusus pada simbol-simbol dalam perkembangan sosial. Sementara itu, kajian tentang simbol dalam bidang agama dengan fokus khusus pada bentuk-bentuk agama, telah menjadi perhatian sejumlah pemikir, di antaranya Ernst Cassirer, Paul Tillich, Paul Ricoeur, Bernard Lonergan, Mircea Aliade dan Ernst Gombrich.

Dari kajian-kajian tersebut nampak bahwa ada korelasi yang signifikan antara simbol kohesi sosial dan idealisme demokrasi. Yang paling kasat mata adalah kehadiran simbol sebagai perekat relasi sosial antara manusia dalam konteks kehidupan bersama. Ia hadir sebagai bagian dari sistem pengaturan kehidupan sosial. Buah sirih pinang dalam dirinya sendiri adalah sebuah tumbuhan dari kelas magnoplisida dengan nama spesies arecha catechu yang dalam ilmu biologi dipandang sebagai salah satu jenis obat-obatan herbal.

Dalam budaya Lamaholot Flores Timur Nusa Tenggara Timur, sirih pinang memiliki arti dan makna lebih dari sekedar tumbuhan. Dalam pelbagai ritual Lamaholot seperti yang dilukiskan secara singkat di awal diskusus ini dan juga dalam pelbagai kegiatan sosial kemasyarakatan seperti penyambutan tamu, pembangunan rumah ibadat dan rumah adat serta dalam upacara perkawinan adat, maknanya bergeser dari eksistensi biologis kepada sosio-antropologis dan menyentuh juga ranah teologi lokal sebagai simbol perekat-pemersatu: persatuan antara individu-individu dalam satu komunitas dan antarkomunitas ritual.

Persatuan horizontal ini menjadi jembatan bagi persatuan vertikal, antara manusia dengan ‘yang ilahi’. Dalam ritual penyembuhan versi masyarakat Lamaholot, persatuan yang ‘ditandai’ dengan bersama-sama menyantap sirih pinang dan tindakan memegang tempat sirih pinang menjadi prasyarat bagi terwujudnya cita-cita aksi ritual serentak membawa pesan kohesif bagi masyarakat pencipta simbolisme sirih pinang. Saya melihat bahwa dalam masyarakat Lamaholot, sirih pinang dihadirkan sebagai sarana yang membantu mereka dalam menata dan menafsirkan realitas serta merekonstruksi kehidupannya.

Dalam tataran sosio-politis, saya berasumsi bahwa kohesi sosial menyumbang bagi pembangunan demokrasi. Kohesi sosial tidak mengabaikan pluralitas, tapi mengandaikan pluralitas. Itu berarti kohesi sosial tidak menampik adanya realitas masyarakat madani yang hadir dalam pelbagai bentuk seperti ormas-ormas, LSM, organisasi sosial dan profesi lainnya yang otonom dari negara tetapi tetap mendasarkan pergerakannya pada tata perundangan yang berlaku umum.

Namun, satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah bagaimana masyarakat madani itu berpikir dan bertindak. Jika kehadiran mereka dipandang sebagai bagian dari pembangunan dan perkembangan demokrasi maka mesti diperiksa pula apakah pemikiran dan tindakan mereka tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Sejarah Indonesia membuktikan bahwa seringkali masyarakat madani tidak selalu berpikir dan bertindak demokratis meski kehadiran mereka dipandang sebagai buah dari alam demokrasi (Bdk. Sidney Jones, Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran, Nurcholish Madjid Memorial Lecture VII di Aula Nurcholish Madjid Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, 19 Desember 2013, 2-3).

Simbol yang menciptakan kohesi sosial pada gilirannya menyumbang bagi keragaman. Simbol lahir dari komunitas-komunitas masyarakat yang beragam dan mengandung filosofi kehidupan masyarakat penciptanya. Di dalamnya terbaca pula kearifan-kearifan komunitas pencipta beserta nilai-nilai sosio-religi dan budayanya. Filosofi-filosofi itu menjadi kekayaan komunitas penciptanya serentak bagi bangsa-bangsa komunitas itu. Untuk konteks Indonesia, simbol-simbol yang bernuansa sosio-religi dan budaya menambah khazanah Indonesia yang multikultur.

Jika komunitas-komunitas agama dan budaya telah saling percaya dalam membangun kehidupannya maka semestinya sikap itu juga menjadi modal bagi mereka dalam menciptakan kesaling-percayaan terhadap komunitas-komunitas lain di luar komunitasnya. Impian ini memang tidak mudah namun bukan mustahil. Misalnya, koalisi antarpartai politik telah menunjukkan niatan ini.

Namun, yang mesti diwaspadai bahwa bangunan koalisi bukan tanpa kepentingan. Apalagi jika terdapat lebih dari satu koalisi dengan landasan ideologinya yang berbeda-beda. Yang dapat merekatkan bangunan koalisi-koalisi adalah pengabdian pada negara dan bangsa yang satu dan sama dengan satu visi bersama “kesejahteraan bersama”. 

Ikuti tulisan menarik Anselmus Dore Woho Atasoge lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu