x

Cak Fuad

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Minggu, 16 Juli 2023 10:00 WIB

Maiyah dan Perkara-perkara yang Dilewatkan Hukum

Kalau ada ilmu yang diterangkan secara rumit, mungkin si penutur tidak paham ilmu tersebut, atau sejak awal ilmunya memang tidak mengandung kebenaran sama sekali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di dunia ini, ada bahasa yang dijaga oleh sembilan orang. Para "penjaga" itu bernaung di bawah King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Arabic Language, lembaga resmi tertinggi dalam menjaga bahasa Arab di seluruh dunia yang berpusat di Riyadh, Arab Saudi. Dari sembilan orang itu, empat dari Arab, empat dari Afrika dan Eropa, dan satunya berasal dari Indonesia. Namanya Ahmad Fuad Effendy alias Cak Fuad. Beliau adalah kakak pertama dari—bapak dan mbahnya orang banyak— Emha Ainun Nadjib .

Di Maiyahan beliau merupakan marja', sumber rujukan, yang pendapatnya diikuti oleh Jamaah Maiyah, sebuah organisasi atau bukan organisasi, bikinan atau bukan bikinan dari Emha Ainun Nadjib. Susah bagi saya menjelaskan apa itu Maiyah. Yang jelas, dari sisi bahasa Maiyah berarti kebersamaan atau membersamai.

Bisa jadi nama Maiyah terinspirasi dari kisah Abu Bakar yang membersamai Rasulullah di dalam Gua Tsur sebagaimana tertulis indah dalam surat At-Taubah ayat 40: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” Atau mungkin dalam An-Nahl ayat 128: “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kabaikan.” Juga barangkali dari Al-Hadid ayat 4: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” dalam arti yang lebih luas. Pendeknya kata, saya tidak tahu persis darimana asal-usul kata Maiyah itu, juga definisi pastinya. Yang saya tahu Cak Fuad memiliki peran sentral di sana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti pada awal tahun lalu, Cak Fuad merampungkan karyanya yakni Mushaf Al-Quran Tadabbur Maiyah Padhangmbulan. Sebuah terjemahan Al-Quran yang disertai tadabbur untuk renungan atau kontemplasi. Di hari yang sama setelah di release, saya langsung membelinya melalui salah seorang admin Maiyah di Kadipiro, Bantul, Yogyakarta. "Yang diperlukan oleh jamaah bukanlah kajian ilmiah tapi kajian imaniah-amaliah. Yang diperlukan bukan pemahaman Al-Qur`an secara meluas atau mendalam, tapi cukup memahami makna ayat secara umum kemudian melakukan perenungan, penghayatan, dan bagaimana mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, pilihan ayat-ayatnya pun disesuaikan dengan kebutuhan untuk pembangunan jiwa dan kehidupan," begitu kata Cak Fuad dalam pengantar mushaf itu.

Saya pikir beliau, yang lulusan jurusan sastra Arab, dosen, sekaligus merupakan anggota dewan penjaga bahasa Arab, akan memberikan pengantar yang rumit-rumit dan berlarut-larut tentang tata bahasa Al-Quran. Tetapi tidak. Beliau hanya berpesan dengan sederhana: baca, renungi, amalkan. Sebuah tadabbur, sesuai namanya.

Dan agaknya seperti itulah karakter ilmu dan kebenaran. Ilmu itu memiliki sifat mengeluarkan manusia dari gelap menuju cahaya. Ia mengangkat derajat manusia, dari kebodohan menuju kecerdasan. Artinya ilmu ada tidak untuk orang pintar, tetapi untuk orang bodoh. Khususnya orang bodoh yang selalu merasa dahaga, senantiasa haus akan hal-hal yang tidak diketahuinya. Di sisi lain kebenaran memiliki sifat dapat diterima oleh akal siapa saja, termasuk orang bodoh.  Maka agar tersampaikan dengan baik, orang yang benar ilmunya akan menyampaikan hal serumit apapun dengan cara yang paling sederhana. 

Kemampuan menerangkan dengan cara sederhana itu juga merupakan tanda bahwa dia menguasai apa yang diterangkannya. Seperti kata Albert Einstein, "Kalau engkau tidak bisa menjelaskan sesuatu hal secara sederhana, itu artinya engkau belum cukup memahaminya"

Jadi kalau ada ilmu yang diterangkan secara rumit, ribet, ruwet, njlimet, mbulet kemungkinan ada dua: pertama, penuturnya sendiri tidak paham tentang ilmu yang coba diterangkannya itu dan kedua, sejak awal ilmunya memang tidak mengandung kebenaran sama sekali.

Ada sebuah kritik menarik dari Cak Fuad dalam bukunya yang lain, Sejarah Peradaban Arab dan Islam. Buku ini menjadi bahan ajar di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Di dalamnya, Cak Fuad mencoba mengkritik hukum-hukum yang seringkali membuat kita capek berdebat masalah aturan dan melupakan esensi mengapa aturan itu ada. Dan hal-hal lain yang dilupakan olehnya.

Beliau mengambil contoh, ketika Nabi Muhammad menanyakan kapan Abu Bakar dan Umar bin Khattab melakukan shalat witir. Abu Bakar menjawab bahwa dia melakukan shalat witir sebelum tidur karena khawatir kalau tidak terbangun di tengah malam. Sedangkan Umar melakukan shalat witir setelah shalat malam. Rasulullah bertanya, "Bagaimana jika engkau tidak terbangun?" "Saya harus bangun, ya Rasullulah", jawab Umar. Alih-alih membela salah satu, Rasulullah malah memuji keduanya, "Abu Bakar ini adalah orang yang berhati-hati dan Umar adalah orang yang memiliki tekad kuat." 

Yang disayangkan, menurut Cak Fuad, adalah kisah ini hanya diambil sebagai dalil fikih bahwa shalat witir itu dapat dilakukan sebelum tidur atau setelah shalat malam. Sementara pelajaran moralnya tentang ajaran toleransi, lapang dada, dan bijak dalam menyikapi perbedaan, diabaikan. 

Ditemukan juga dalam kisah meninggalnya wanita tua yang biasa menyapu masjid Nabawi. Suatu hari Rasululllah menanyakan kemana wanita tua itu karena sudah sekian hari tidak terlihat. Para sahabatnya menjawab bahwa wanita tua itu telah meninggal. Rasulullah kecewa karena tidak diberitahu, lalu beliau mengajak sahabatnya untuk menziarahi makamnya dan melakukan shalat jenazah di sana. Teladan sifat Nabi Muhammad yang memiliki perhatian sangat besar terhadap kaum miskin, menghormati orang tidak dari status sosialnya, dilupakan. Kisah ini hanya menjadi—lagi-lagi—dalil fikih dibolehkannya shalat jenazah di kuburan.

Juga tentang Isbal—memanjangkan pakaian di bawah mata kaki—yang sekarang menjadi tren celana cingkrang. Bunyi hadisnya “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Hadist ini selalu dimaknai sebagai dalil fikih untuk meneladani sunnah rasul yaitu tidak ber-isbal—meskipun tidak salah—sedangkan aspek "jangan belaku sombong"-nya jarang dibahas dan hampir-hampir tidak pernah diikuti.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu