x

Tradisi pasca panen raya di cilegon

Iklan

Muthakin Al-Maraky

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Januari 2023

Selasa, 25 Juli 2023 10:13 WIB

Bebotokan: Tradisi Syukuran Pasca Panen Raya di Cilegon

Tradisi ucap rasa syukur yang setiap tahun dilakukan masyarakat Cilegon Utara yang berprofesi sebagai petani

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan adat-istiadat, bahasa, keindahan alamnya dan ribuan pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Negara yang luas wilayahnya (perairan dan daratan) sekitar 5.180.053 kilometer persegi ini memiliki ragam kebudayaan. Dari mulai rumah adat, tarian, upacara adat, seni pertunjukan, pakaian adat, alat musik tradisional, lagu daerah dan lain-lain.

 

Keragaman budaya di Indonesia muncul dari berbagai kebudayaan-kebudayaan lokal yang lahir di masyarakat dan tersebar di berbagai daerah. Kebudayaan yang berkembang di masyarakat selalu dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau faktor geografis. Sebagai negara kepulauan, terdapat dua rahim yang melahirkan corak kebudayaan di Indonesia, yaitu kebudayaan maritim dan kebudayaan agraris.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Salah satu kebudayaan yang masih bertahan di masyarakat Indonesia hingga hari ini yaitu upacara Sedekah bumi. Upacara sedekah bumi merupakan upacara adat berupa prosesi seserahan hasil bumi dari masyarakat kepada alam. Upacara ini biasanya ditandai dengan pesta rakyat yang diadakan di balai desa, di lahan pertanian atau tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat.

 

Upacara seperti ini telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu, diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Biasanya upacara sedekah bumi terdapat pada masyarakat yang bercorak agraris.

 

Masyarakat mengenal tradisi sedekah bumi sebagai implementasi hubungan manusia dengan para dewa yang menjaga bumi dan seisinya. Nyai Pohaci Sanghyang Asi atau Dewi Sri dikenal sebagai dewi pertanian, dewi padi dan dewi kesuburan. Pemuliaan dan penghormatan  terhadapnya dipraktikan dari masa pra-Hindu dan pra-Islam, masyarakat Indonesia mengenalnya dengan sebutan tradisi sedekah bumi.

 

Namun, sejak masuknya Islam ke Indonesia, tradisi sedekah bumi mengalami perubahan dan pergeseran. Terdapat akulturasi budaya dalam upacara itu. Seperti di Banten, dalam beberapa upacara ritual, mantra-mantra atau bacaan-bacaan diganti dengan pembacaan  Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Atau lebih dikenal dengan sebutan Wawacan Syaikh (masyarakat Sunda di Banten) dan Mace/Memace Syaikh (masyarakat Jawa di Banten).

 

Upacara seperti ini dapat kita temui di Pabean, Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon. Wilayah yang terletak di Banten Utara ini masih giat melakukan upacara sedekah bumi. Upacara syukuran atas apa yang didapatkan dari hasil panen padi. Kegiatan upacara syukuran ini dikenal degan nama Bebotokan atau Botokan, tradisi syukuran pasca panen raya masyarakat Pabean Kota Cilegon.

 

Kata Bebotokan sendiri diambil dari nama kue yang disajikan dalam upacara pasca panen itu. Berbeda dengan botok yang sudah dikenal luas pada umumnya, yaitu makanan khas Jawa berbahan dasar ampas kelapa. Botok di sini yaitu kue yang berbahan dasar dari beras.

 

Bebotokan lebih dari sekedar ritual atau upacara pasca panen raya, melainkan sebagai identitas masyarakat Cilegon, khususnya Cilegon bagian utara (Pabean dan sekitarnya) yang masyarakatnya masih bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, dalam Bebotokan terdapat kue tradisional yang menyimbolkan laki-laki dan perempuan.

 

Dalam perspektif Hindu, laki-laki dan perempuan dilambangkan dengan Lingga-Yoni. Lingga merupakan gambaran laki-laki sebagai simbol kejantanan. Sedangkan Yoni merupakan gambaran perempuan sebagai simbol kesuburan. Jika keduanya digabungkan, maka akan menghasilkan energi penciptaan. Dalam tradisi bebotokan adanya akulturasi budaya antara kebudayaan pra-Islam (Hindu-Budha) dengan Islam. 

 

Tradisi Bebotokan biasanya diselenggarakan pasca panen padi. Botok dan kue-kue lainnya yang telah dibuat, kemudian dibawa dan dikumpulkan dalam satu tempat untuk dido’akan oleh sesepuh kampung (Tokoh masyarakat yang dituakan). Sebelum membaca do’a, biasanya diawali terlebih dahulu dengan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani. 

 

Menurut penuturan tokoh masyarakat Pabean, tujuan diadakannya Tradisi Bebotokan ini tidak lain tidak bukan yaitu ucapan rasa syukur pada sang pencipta atas hasil pertanian yang menjadi mata pencaharian utama, selain itu do’a-do’a yang dipanjatkan diharapkan dapat menolak bala dan berharap hasil panen di tahun depan lebih melimpah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tradisi ini juga menjadi ajang silaturahmi antar sesama petani, sesama warga masyarakat Pabean.

Kita dapat membayangkan atau menggambarkan, suasana di kampung pada hari itu seperti suasana menjelang hari raya lebaran saja. Atau suasana seperti Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) yang sering dirayakan: Maulid Nabi, Isra Mikraj, Nuzulul Qur’an dan Peringatan Tahun Baru Hijriyah. Dari mulai anak-anak hingga orang dewasa menanti dan menyambut Bebotokan.

Ikuti tulisan menarik Muthakin Al-Maraky lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB