x

Iklan

Anggi Canser

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Kamis, 27 Juli 2023 10:27 WIB

Hari Anak Nasional: Memperingati Hari Menegur Diri

Memperingati hari anak nasional, bukanlah semata-mata perayaan dengan segala tema, tagline, dan sepuluh satu macam tetek-bengek lainnya yang tak dipahami oleh anak-anak. Yang tampak memukau di panggung depan, tetapi menyembunyikan masalah fundamental di panggung belakang. Lebih dari sekedar itu, memperingati hari anak nasional adalah upaya menegur diri sebagai orang dewasa, yang kerap linglung menjemput masa lalu dan sering lupa melakukan aksi konkret di masa kini, baik secara sendiri-sendiri, maupun berjamaah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Anggi Canser

Setiap tanggal 23 Juli 2023 kita memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Sama dengan perayaan tahun lalu, peringatan kali ini mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dengan tagline “Berani Karena Peduli”. Tujuannya yaitu untuk memenuhi hak anak, serta memberikan perlindungan khusus bagi setiap anak di Indonesia (https://kumparan.com).

Kendati usia perayaannya terbilang dewasa, akan tetapi kata itu terkesan agak berlebihan bila disematkan, mengingat ruwetnya masalah pemenuhan hak dan perlindungan anak yang mendesak untuk diatasi. Baik itu mengenai kesejahteraan anak; kesehatan-gizi dan akses terhadap layanan kesehatan; pendidikan dan akses terhadap layanan pendidikan yang berkualitas, serta masalah lainnya yang jarang disodorkan sebagai daftar menu utama pada publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagaimana dibunyikan dalam pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak serta dijaminkan dalam UUD 1945, anak-anak adalah mereka yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, serta memiliki hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusian, tanpa terkecuali fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Celakanya, meski telah memiliki dasar hukum yang kuat, disertai dengan upaya yang telah dilakukan oleh lembaga non-pemerintah dan masyarakat. Kekerasan pada anak masih terus berlanjut hingga saat ini. Dilansir dari batam.tribunnews.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan, dari Januari sampai Juni 2023, terdapat 1.600 aduan mengenai kekerasan pada anak. Hal itu tergolong ke dalam tahap darurat dan mengkhawatirkan. Dengan kata lain, pemenuhan hak serta perlindungan anak bukan sekedar hukum-menghukum, bukan sekedar menciptakan layanan-layanan khusus, dan bukan sekedar merayakan hari penting nasional. Lebih dari itu, kita perlu menelusuri hingga ke pangkal perkaranya. Yakni dengan mengidentifikasi sejumlah kekeliruan orang dewasa terhadap anak-anak.

Sistem Berpikir Otomatis Versus Reflektif

Anak-anak, kendati awal keberadaannya diharapkan, dan diterima secara suka cita oleh orang dewasa terdekatnya. Namun ia tak sepenuhnya diakui, pendapatnya kerap diabaikan, bahkan sebelum ia memberi pesetujuan, ia diwajibkan untuk mentaati segala aturan yang dibuat oleh orang dewasa. Sebab dalam pikiran orang dewasa, mereka merasa lebih dulu mengalami proses menjadi anak-anak dan kemudian membesar, baik dari segi ukuran tubuh, usia, kekuatan fisik, dan sebagainya. Singkatnya, orang dewasa merasa telah belajar dari pengalamannya dan banyak mencicipi pahit-manis, asam-garamnya kehidupan. Karena itu, keputusan anak-anak diambil alih orang dewasa.

Sementara pandangan orang dewasa terhadap anak-anak, seringkali di dasarkan pada asumsi yang dapat keliru, serta terjebak dalam setereotip yang sempit. Alih-alih menggunakan sistem berpikir reflektif – meski lambat tetapi kritis dan mendalam – seperti yang diteorikan oleh Daniel Kahneman. Tak jarang, dalam membuat keputusannya terhadap anak-anak, orang dewasa mengunakan sistem berpikir otomatis yang ringkas dan cepat. Sebab, orang dewasa kerap terperangkap dalam rutinitas yang padat, serta keinginan sesaat, yang membuatnya harus bersandar pada sistem berpikir otomatis, yang serba lebih gampang dan efisien. Oleh karenanya, tak mengherankan bila anak-anak terus mendapatkan perlakuan tidak adil.

Ketajaman Intelektual Anak

Tak cukup sampai di situ. Meski anak-anak memiliki kecerdasan, ia dianggap belum cukup cerdas untuk memahami kompleksitas kehidupan dunia nyata. Sehingganya, anak-anak hanya perlu menampung pengetahuan dari orang dewasa, yang selalu merasa lebih tahu. Padahal, dalam menghadapi persoalan yang ada, kejernihan dan ketajaman pemikiran anak-anak seringkali mampu menemukan perspektif segar, bahkan tak terduga oleh orang dewasa.

Kebijaksanaan Anak-Anak

Begitu juga dalam urusan kebijaksanaan. Bagi orang dewasa, kebijaksanaan adalah hak preogratif orang yang lebih tua, dimana umur menjadi patokan utama kedewasaan dan tingkat pemahaman seseorang tentang dunia. Namun, kekeliruan itu terus berlanjut, tentu karena kesepatakan antar sesama orang dewasa, tanpa pernah mempertimbangkan bahwa anak-anak juga memiliki kebijaksanaan alami yang dianugerahi oleh Sang Pencipta. Anak-anak bahkan dapat lebih jujur dan lebih tulus memandang dunia, serta lebih jernih dalam merenungkan kehidupan, tanpa perlu khawatir akan bias masa lalu yang dapat membatasi pandangan atau menghambat jalan pikirannya.

Kreativitas dan Imajinasi Anak

Di samping memiliki tubuh yang dapat mengindera, anak-anak juga memiliki jiwa, semangat serta gairah yang berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak punya keinginan untuk lebih leluasa melakukan hal-hal yang ia anggap menyenangkan bagi dirinya. Tetapi, orang dewasa setelah tidak lagi anak-anak, mereka kehilangan komunikasi dengan imajinasi dan kreativitas murninya di masa lalu, juga kerap membuat pembatasan yang justru lebih cocok diterapkan untuk sesama orang dewasa daripada dipasangkan pada anak-anak. Sehingganya, kreativitas dan imajinasi anak-anak justru ditekan, bahkan dipadamkan oleh orang dewasa itu sendiri.

Padahal, imajinasi dan kreativitas anak-anak itu murni, belum tercemar oleh sudut pandang pragmatis, idealis, atau pun lain sebagainya. Itulah kenapa, saat kita ingin mengetahui karya seni paling jujur, lugas, dan sederhana, kita dapat mencermatinya melalui karya seni anak-anak.

Berkenaan dengan hal itu. Suatu waktu saya pernah mendapati seorang anak perempuan kelas 5 SD bernama Aisyah, sedang melukis planet bumi di atas kertas, ia menggambar bentuk bumi dalam bentuk dua dimensi dengan daya kreatif dan imajinasi khas anak-anak. Uniknya, di salah satu sisi gambar lingkaran planet bumi itu, ia membuat sebuah bentuk yang mirip seperti keran air. Ketika saya bertanya, mengapa ia memberi keran air di planet bumi? Aisyah yang notabene anak seorang pengusaha depot air minum isi ulang itu dengan sederhana menjawab, bahwa dia ingin mendistribusikan air ke semua orang tanpa harus membeli. Melalui cerita itu, kita dapat memahami bahwa dunia imajinasi anak-anak adalah sumber kekayaan ide dan solusi inovatif untuk masalah-masalah kompleks yang kita hadapi sebagai manusia. Apabila dipadamkan, maka kita akan kehilangan potensi luar biasa yang berguna untuk kemajuan peradaban.

Hikmah Dalam Kesederhanaan

Hanya berkumpul dengan sesamanya, anak-anak menjadi terasa lebih sempurna sebagai makhluk hidup yang berpikir, yang memiliki ketajaman intelektual, daya kreatif dan imajinatif, bahkan kadangkala terasa lebih bijak dari orang dewasa. Misalnya dalam hal memperoleh kebahagiaan, anak-anak dapat menemukan kebahagiannya melalui hal yang sederhana, seperti bermain dengan teman-temannya, atau hanya sekedar mengamati benda-benda di sekitarnya tanpa harus mencelakai atau merugikan orang lain. Berbeda dengan orang dewasa, yang dalam memperoleh kebahagiaannya, terus berjuang tanpa henti. Acapkali kebahagiannya itu diukur berdasarkan pencapaian material, status sosial, kehendak sesaat, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang, orang dewasa saling tusuk-menusuk dari belakang, saling sikut-sikutan dengan temannya sendiri. Hal itu pula yang membuat orang dewasa kehilangan makna hidup, mereka kehilangan persentuhan dengan kebahagian yang sejati.

Dengan demikian, sebagai orang dewasa, sudah semestinya kita berpikir reflektif untuk merenung dan mempertanyakan ulang. Benarkah anak-anak di Indonesia sudah terlindungi? Benarkan perayaan hari anak nasional yang kita peringati setiap tahun itu benar-benar perayaan hari anak? Ataukah itu merupakan perayaan hari orang dewasa yang menggunakan istilah hari anak? Pertanyaan-pertanyaan itu, tentu tidak harus dijawab sekarang.

 

Ikuti tulisan menarik Anggi Canser lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler