x

Diskusi Bersama Secara Offline Membahas LKMM-TD

Iklan

Anggi Canser

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Senin, 7 Agustus 2023 12:56 WIB

Sosok Pemimpin yang Bakal Dicoret Pemilih Muda

Kaum pemilih muda telah belajar banyak hal. Mereka membaca gramar politik kekuasaan secara cermat, menganalisis kasak-kusuk dalam negeri, lalu mendiskusikannya. Kini, mereka tak lagi terpaku pada metode lama yang usang, yang kerap memilih dengan cara menceklis. Persisnya, mereka memakai metode terbalik, yakni dengan mencoret calon-calon yang tidak sesuai dengan kriteria yang mereka harapkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Anggi Canser

Tak lama lagi, jika tidak ditunda seperti yang disangsikan oleh pengamat politik semacam Rocky Gerung, negeri ini akan menggelar pesta demokrasi, yakni pemilihan presiden tahun 2024. Adalah suatu momen yang sangat dinanti oleh warga bangsa, tak terkecuali kaum pemilih muda.

Sebagaimana dilansir dari Antaranews.com, Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) Republik Indonesia, yakni August Mellaz menyebutkan, dari total jumlah pemilih di Indonesia tahun 2024 nanti, sekitar 53 sampai 55 persennya atau kurang-lebih 107 juta orang, merupakan pemilih muda dengan rentang usia 17-40 tahun. Artinya, suara pemilih muda tersebut cukup mendominasi suara pemilihan. Karenanya, tak mengherankan bila mereka diperebutkan banyak partai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal itu kian dipertegas dengan adanya upaya yang dilakukan sejumlah partai politik yang tampak merangkul figur-figur muda untuk bergabung ke dalam kubunya. Meski figur muda tersebut banyak disukai, dan media sosialnya diikuti kalangan muda, namun dalam perkara memilih, kaum muda itu menggeleng bukan mengangguk, mereka tak mau main asal-asalan apalagi ikut-ikutan.

Pasalnya, bagi kalangan muda, politikus atau figur-figur muda yang dijadikan sebagai “influencer” partai politik tertentu, tak ubahnya semacam ‘kue’ di etalase mewah, yang indah sebagai pajangan tapi tidak untuk dirasakan. Sekarang muda-mudi menyadari, bahwa yang terpenting bagi mereka bukan lagi tampilannya, mereka justru tak ingin sekedar kecipratan enaknya, apalagi hanya melihat ‘kue’ itu terpampang di layar kaca secara elegan, yang terkadang tampak lucu bahkan konyol di layar sentuh.

Lebih dari itu, mereka ingin agar hak pembeli, pelanggan, dan karyawan ‘toko kue’ dipenuhi secara berkeadilan, bahan-bahan yang digunakan dan packaging ‘kue’ yang ramah lingkungan, omsetnya dilaporkan secara transparan, perusahaannya dikelola secara profesional dan bertanggung jawab, pajaknya tidak diselewengkan, dan tak kalah penting, keuntungan ‘penjualan kue’ tidak hanya dinikmati oleh figuran, majikan, dan pemilik saham. Sederhananya, kaum muda ingin kesuksesan yang nyata, yang dampak positifnya dapat dirasakan oleh semua pihak di berbagai lapisan.

Bukan tanpa alasan pemilih muda menolak pemimpin yang tidak bermutu, yang tidak jujur, dan tidak pula berlaku adil. Bukan pula tanpa dasar, bila muda-mudi anti pemimpin yang secara cerdik memakai kutipan “tidak mungkin memuaskan semua orang” hanya untuk menyamarkan diskriminasi perlakuannya pada kelompok non-pendukung ketika pemilu telah usai. Itu ditinjau dari banyak segi, konsistensinya ditelisik sejak dini, mulai dari gagasan awal pencalonan hingga pencapainnya didetik terakhir masa jabatan. Jelas, ini salah satu bentuk evaluasi atas pengalaman masa sekarang dan sebelumnya. Singkatnya, pemilih muda tak ingin terjerembab di lubang yang sama ataupun sekedar tersandung di gundukan yang berbeda.

Kendati di satu sisi kaum muda rindu sosok pemimpin berkapasitas maksimum, yang mampu melampaui tugas hariannya sebagai leader dari semua bawahan, tetapi di lain sisi mereka juga menolak sosok pemimpin transaksional yang gemar tukar-tambah kepentingan. Pemilih muda juga anti pemimpin yang lip-service, yang seolah-olah menyukai kritik di depan panggung agar tampil mempesona, tetapi menimbulkan petaka lama di belakang panggung secara tercela, alih-alih meninjau ulang setiap kritikan yang dilayangkan terhadapnya.

Pendeknya, golongan muda sangat anti pemimpin yang tak mampu membuat perubahan nyata, mereka hanya menginginkan seorang figur berintegritas yang benar-benar bisa memperjuangkan nasib seluruh rakyatnya, bukan hanya memikirkan nasib segelintir orang saja termasuk dinasti dan partai pengusungnya.

Lebih lanjut, pemilih muda akan mencoret calon pemimpin yang sekedar piawai berkata-kata di depan banyak orang dengan seribu janji manisnya, yang pandai bermain petak umpet dengan atraksi angka-angka, yang latah bersandiwara bak orator ulung dengan iming-iming “kita akan begini, kita akan begitu”, dimana ucapan kata "akan" itu belum tentu pasti terlaksana setelah ia menduduki kursi jabatannya. Tegas, ini bukan lagi sekedar pengharapan, melainkan sebuah bentuk penolakan yang masuk akal. Sebab, hal itu menyangkut keberlangsungan hidup dan masa depan kaum muda juga.

Maka dari itu, kaum pemilih muda memiliki kriteria calon pemimpinnya tersendiri, diantaranya mereka akan mencoret sosok calon: a) yang tidak visioner dan berintegritas tinggi; b) yang tidak berkapasitas maksimum; c) yang tidak peduli pada kebutuhan rakyat; d) yang tidak empowerment dan terbuka; e) yang tidak berkomitmen pada isu lingkungan, keberlanjutan dan berwawasan global; f) yang tidak transparan dan cenderung otoriter; g) yang tidak berpikir kritis dan solusionis; serta terakhir yang tak kalah penting, mereka tidak akan memilih calon pemimpin yang tidak berani mengakui kesalahan dan tidak pula mampu melakukan perbaikan.

Sebab, dalam pemahaman pemilih muda, kepemimpinan bukanlah sekedar meraih status (position) atau mempertahankan jabatan semata, kepemimpinan juga bukan sekedar membangun hubungan baik (permission) dengan bawahan dan relawan yang setia memasang badan, bukan pula sekedar menciptakan produk yang kasatmata (production). Bagi mereka kepemimpinan adalah suatu proses, yakni bekerja melampaui tugas standar untuk memecahkan banyak masalah pelik yang dihadapi bangsa dan negara, sekaligus meningkatkan moral orang dalam bukan sebaliknya.

Sebagaimana Jhon C. Maxwell pernah mengatakan "pemimpin menjadi hebat bukan karena kekuasaannya", melainkan karena ia berhasil mengubah kehidupan orang-orang yang dipimpinnya menjadi lebih baik, termasuk rakyat jelata. Seorang pemimpin tidak hanya memenangkan pertandingan untuk persandingan, lebih dari itu, ia harus memenangkan kejuaraan. Seumpama tidak ada krtiteria calon pemimpin semacam itu, boleh jadi pemilih muda mencoret semua calon yang disodorkan partai politik kepadanya.

 

Ikuti tulisan menarik Anggi Canser lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB