x

Ilustrasi pencarian kebenaran. Gambar dari Pixabay.

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Jumat, 11 Agustus 2023 08:21 WIB

Baliho-baliho dan Monopoli Kebenaran

Karena kita adalah kebenaran, semua orang harus taat pada titah kita, mengabdi undang-undang kita bahkan jika perlu, menyembah kita. Tanpa disadari lama-lama kita jadi berhala.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Begitu wahyu pertama selesai diturunkan oleh Malaikat Jibril, yang dilakukan Rasullulah adalah lari pulang ke rumah. Beliau ketakutan bukan main. Hatinya berdebar dan seluruh tubuhnya gemetar. Hingga meminta istrinya, Khadijah, menyelimutinya. Setelah ketakutannya mereda, beliau menceritakan pengalamannya tersebut kepada istrinya. "Aku sungguh khawatir terhadap keadaanku," ucap beliau menutup ceritanya. Khadijah menjawab, ''Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Tuhanmu sama sekali tidak akan mengecewakan engkau selama-lamanya. Sebab engkau suamiku, adalah seorang yang suka menyambung tali silaturahmi, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.''

Saya membayangkan bagaimana jadinya kalau yang jadi nabi adalah kita. Begitu ditemui Jibril dan ditunjuk sebagai nabi, bukan rasa takut yang pertama muncul, tetapi rasa bangga. Maka kita, sepertinya juga tidak akan lari pulang ke rumah. Sambil mesam-mesem, kita akan berjalan seperti biasanya. Bedanya kali ini kepala kita agak mendongak ke atas, dan rasanya tidak pas kalau kepala kita yang mendongak itu tidak dibarengi dengan dada yang membusung.

Pun pertama kali, kita tidak akan menemui istri kita. Yang pertama-tama kita temui adalah kolega-kolega, rekan bisnis, pimpinan parpol, investor, dan para pejabat tinggi yang sekiranya dapat diajak bekerjasama untuk mendatangkan profit atas kenabian kita. Setelahnya baru kita datangi tukang baliho. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita akan membuat baliho besar dengan foto kita dipasang di setiap sudut jalan. Lengkap dengan aksesoris seperti peci, yang menunjang kepantasan kita sebagai nabi. Untuk jaga-jaga, jangan sampai tampilan kita kalah dengan para ustadz, ulama, cendekiawan muslim, pejabat, bahkan presiden. Mosok nabi kalah sama presiden? Jangan sampai rakyat eh, ummatmengeluh, "Nabi, kok, ndak pake peci?" 

Baliho kita itu tidak boleh berukuran kecil karena itu sama saja menghina kebesaran nabi. Dan menghina kebesaran nabi sama saja dengan menghina kebesaran tuhan. Harus besar, gedhe, akbar. Nama kita dicetak tebal di tengah agar setiap orang tahu siapa kita. Nama ini adalah urusan paling penting nomor dua setelah wajah di dunia perbalihoan. Visi-misi kenabian itu urusan nanti. Yang terpenting wajah dan nama kita terpampang dulu. Biar dikenal, agar terkenal. Soalnya rugi kalau jadi nabi tapi follower-nya masih bisa dihitung jari. Di bawah nama kita, ada nama jabatan yang dicetak sama tebalnyakalau bisa ditulis dengan huruf kapital: Nabiyullah atau  Satriyo Winahyon atau Satriyo Pinandhita Sinisihan Wahyu. Seorang philosopher-king, kesatria-brahmana, yang mendapat wahyu tuhan.

Baliho itu akan kita tulisi dengan motto kenabian kita, 'Merakyat', 'Nasionalis', 'Religius', 'Pekerja keras', 'Amanah', 'Jujur', 'Pilihan Rakyat,eh, UmmatCerdas', 'Terpercaya', 'Tulus Mengabdi', dan segala umuk-umuk pekok lainnya. Lalu baru kita sadari bahwa motto itu semuanya berisi pujian untuk kita sendiri, dari kita sendiri. Maka seolah mendapatkan inspirasi,eh, wahyu tuhan, kita akan menambahkan kata, "Dari Rakyat, Untuk Rakyat" atau "Dari Ummat, Untuk Ummat"

Kalau ada yang nyinyir berkata, "Jadi nabi kok nyalon, mencalonkan diri?" dengan fasih kita akan menjawab, "Saya itu tidak mencalonkan diri tetapi dicalonkan tuhan. Ibarat capres, saya itu dicalonkan jadi presiden oleh petinggi partai, ditunjuk oleh ketua partai, diamanahi tanggung jawab oleh seluruh anggota partai. Dipilih oleh partai. Jadi saya itu dicalonkan, bukan nyalon." Walaupun pada kenyataannya, baliho kita itu menyatakan "pilih saya, jangan yang lain". Lalu jika si nyinyir itu makan daging babi, sebagai nabi yang memikul amanah keilahian, kita akan menegurnya, "Jangan makan daging babi, haram!" dengan berharap jangan sampai si nyinyir itu menjawab, "Saya itu tidak makan daging babi tetapi daging itu sendiri yang termakan perut saya. Saya itu disuapi oleh tangan, dikunyahkan oleh gigi dan dikecapi oleh lidah saya. Yang ujung-ujungnya ditelankan oleh kerongkongan saya. Saya tidak makan daging babi, tapi dipakani, diberi makan."

Kalau Nabi Muhammad, beliau berkata, "Aku sungguh khawatir terhadap keadaanku.", lalu dijawab oleh Khadijah, ''Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Tuhanmu sama sekali tidak akan mengecewakan engkau selama-lamanya." Kalau kita tidak perlu seperti itu. Dari awal kita sudah bergembira, dan yakin haqqul yaqin akan bahagia selamanya. Kita tidak pernah khawatir terhadap keadaan kita, mau itu kemiskinan kita sekaligus ketamakan kita, kebodohan kita sekaligus kesombongan kita, dan maksiat kita sekaligus kebanggaan kita.

Bahkan terhadap hal-hal paling penting, esensial dan fundamental seperti doa kita itu mustajab atau tidak? Dosa-dosa kita itu diampuni atau tidak? Ibadah kita itu diterima atau tidak? Dengan semua yang kita lakukan kira-kira tuhan itu marah atau tidak? , tidak pernah menyurutkan semangat kita untuk tidak khawatir dan senantiasa bergembira. 

Juga terhadap apa pun. Tidak sedikitpun kita khawatir jika alam dirusak dan sumber daya dieksploitasi, jika akal sehat dijungkirbalikkan dan moralitas dibuang ke keranjang sampah, jika manusia-manusia dimiskinkan, dibodohkan, dan dibuat menilai perbuatan maksiat sebagai hal yang wajar sehingga kebijakan-kebijakan dalam hal apa pun diambil secara keliru, bahkan seringkali bertentangan dengan perintah tuhan. Sekali pun kita tidak pernah khawatir. Dan tetap bergembira.

Kalau Nabi Muhammad, Khadijahlah yang berkata, "Sebab engkau suamiku, adalah seorang yang suka menyambung tali silaturahmi, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.'' Kalau kita, tidak. Karena dalam baliho itu, kita sendirilah yang akan berkata, "Sayalah penyambung silaturahmi, sayalah si penolong itu, sayalah sang pemulia tamu, sayalah pembela kebenaran" dan jutaan saya-saya lainnya. Khadijah kita hampir-hampir tidak berperan selain mendampingi kita pada saat tertangkap korupsi.

Kalau Nabi Muhammad, kakinya bengkak dan tumitnya berdarah karena sepanjang malam mendirikan shalat. Ketika ditanya Aisyah, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?" Nabi manjawab, "Wahai Aisyah, salahkah aku jika aku menjadi hamba yang bersyukur?" Kalau kita, sebagai nabi, diberitahu bahwa semua nabi itu dosanya diampuni dan dijamin masuk surga, maka hal pertama yang akan kita lakukan bukan bersyukur tetapi membesarkan kepala. Kita akan besarkan kepala kita sebesar baliho-baliho yang sebelumnya kita buat. Karena kita adalah kebenaran, semua orang harus taat pada titah kita, mengabdi undang-undang kita bahkan jika perlu, menyembah kita. Tanpa disadari lama-lama kita jadi berhala.

Dengan menganggap kalau tuhan itu bukan milik orang lain. Hanya milik kita. Maka hanya kita yang berhak memonopoli kebenaran-Nya. Kita yang tentukan standar kebaikan-Nya. Kita yang menetapkan bagaimana cara orang memandang keindahan-Nya. Untuk meneguhkan itu, cara paling gampang adalah dengan menuduh mereka, orang selain kita, salah, sesat, kafir. Padahal kita tidak pernah tahu-pastikan sebenarnya ruh mereka menyembah siapa.

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit." (QS. Al-Isra: 85)

Untungnya, kita bukan nabi. Tapi memang, di negara ini ada baliho-baliho, berhala-berhala dan kita-kita yang tak terhitung jumlahnya.

Baliho

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu