x

Iklan

Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2022

Senin, 14 Agustus 2023 15:37 WIB

Refleksi 20 Tahun Mahkamah Konstitusi; Masalah dan Cita-cita

Mahkamah Konstitusi telah memberi sumbangan yang besar bagi penguatan dan penyehatan sistem ketatanegaraan, serta perlindungan hak konstitusional warga negara dalam pembentukan hukum nasional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Haruslah diakui bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memegang peranan penting dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan konstitusional di Indonesia. Sejak berdirinya 20 tahun yang lalu, melalui kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional review) yang dimiliki, Mahkamah Konstitusi telah memberi sumbangan yang besar bagi penguatan dan penyehatan sistem ketatanegaraan, serta perlindungan hak konstitusional warga negara dalam pembentukan hukum nasional.

Pada masa lalu, banyak sekali undang-undang hasil pembentukan Pemerintah dan DPR yang hanya dijadikan semacam “stempel karet” (rubber stamp) tanpa bisa dibatalkan keberlakuannya, meskipun isinya dinilai kuat melanggar hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh Konstitusi atau Undang-Undang Dasar.

Perubahan atas undang-undang yang bermasalah pada masa lalu hanya dapat dilakukan melalui legislative review (DPR) yang dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh Pemerintah (Mahfud Md, 2010). Atas dasar itu, kehadiran Mahkamah Konstitusi perlu disambut baik. Karena dengan kehadiran-nya, kepastian perlindungan hak konstitusional warga negara dalam pembentukan undang-undang oleh Presiden dan DPR perlahan dapat diwujudkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri pada 13 Agustus 2003, hingga 12 Agustus 2023, terdapat 1671 permohonan pengujian konstitusionalitas undang-undang yang telah diputus. Yang terdiri dari 304 permohonan dinyatakan dikabulkan, 630 dinyatakan ditolak, 525 permonan dinyatakan tidak dapat diterima, 173 dinyatakan ditarik kembali, 25 dinyatakan gugur, dan 14 permohonan dinyatakan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili (MK, 2023).

Berpijak pada data tersebut, maka dapat dipahami urgensi kehadiran Mahkamah Konstitusi bukan merupakan celoteh atau cakap angin semata yang belum jelas kebenaran-nya. Realitas pengujian konstitusionalitas undang-undang tersebut merefleksikan tentang pentingnya eksistensi Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak konstitusional warga negara agar tidak dilanggar oleh pembentuk undang-undang.  

Meskipun demikan, tetap saja dalam praktik empiris eksistensi Mahkamah Konstitusi masih menuai sejumlah permasalahan. Salah satu masalah penting yang menjadi kelemahan-nya adalah terkait maraknya pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR, meskipun putusan Mahkamah dianggap final dan mengikat untuk semua orang (erga omnes). Sebagai contoh terkait Putusan 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi secara eksprisif verbis menyatakan bahwa UU Cipta Kerja terbukti dibentuk secara ugal-ugalan dengan menggunakan metode omnibus law yang tidak dikenal dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan tidak mengindahkan transparansi serta pertisipasi publik sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Sehubungan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam amar putusannya memerintahkan tiga hal kepada Pemerintah dan DPR, yaitu: Pertama, Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011; Kedua, Membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja; Ketiga, Menghindari adanya perubahan substansi yang “mendadak” di sela-sela proses persetujuan bersama Presiden dan DPR dan pengesahan. Apabila UU Cipta Kerja tidak diubah sesuai dengan Putusan MK tersebut paling lambat 2 tahun terhitung sejak 25 November 2021 hingga 25 November 2023, maka secara hukum UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen (tidak berlaku), sehingga UU atau substansi UU lama yang sudah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Dalam perkembangannya, alih-alih memenuhi perintah Mahkamah Konstitusi, Pemerintah justru tanpa malu mengangkangi putusan Mahkamah dengan tidak membentuk undang-undang melainkan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang notabene tidak partisipatif dengan alasan ihwal kegentingan yang memaksa yang juga tidak jelas kebenaran-nya.

Fenomena pembentukan PERPPU Cipta Kerja tersebut merupakan sebagian kecil dari pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian Mahkamah Konstitusi dan Universitas Trisakti (2019), yang menyatakan bahwa dari periode 2013-2018 masih terdapat kurang lebih 30% Putusan Mahkamah yang diabaikan atau tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR (Winata, 2020).

Berdasarkan fonemona diatas, penulis berharap bahwa ke depan perlu ada mekanisme penegasan yang diusung untuk memungkinkan putusan pengujian undang-undang Mahkamah Konstitusi agar selalu di implementasikan dan dipenuhi oleh pembentuk Undang-Undang atau yang dalam hal ini Presiden dan DPR. Penegasan untuk selalu patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang penting, sebab pembangkangan terhadap putusannya merupakan pembangkangan terhadap Konstitusi atau Undang-Undang Dasar.

Tanpa kehadiran mekanisme penegasan putusan Mahkamah Konstitusi misalnya sanksi (contoh) dan/atau lain sebagainnya, maka sudah barang tentu Presiden dan DPR dapat dengan mudah mengangkangi dan tidak mematuhi putusan Mahkamah. Selain itu, Presiden dan DPR dapat secara sewenang-wenang membentuk undang-undang sebab ketika diuji pada Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah dapat dikesampingkan.

Selain hal diatas, penulis juga berharap agar constitutional complaint dapat dilembagakan sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi. Constitutional complaint secara sederhana dapat diartikan sebagai pengaduan atau gugatan konstitutional yang diajukan oleh perorangan warga negara ke hadapan Mahkamah Konstitusi karena suatu perbuatan pejabat publik, atau tidak berbuatnya pejabat publik, telah menyebabkan dirugikannya hak konstitusional warga negara yang bersangkutan.

Constitutional complaint baru dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ketika tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pencari keadilan (Palguna, 2013). Di negara-negara lain yang juga memiliki Mahkamah Konstitusi, seperti Austria, Hungaria, Jerman dan lain sebagainya, telah melengkapi constitutional complaint sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi-nya, bahkan lebih dianggap penting dari pengujian undang-undang. Oleh karena itu, pelembagaan constitusional complaint pada Mahkamah Konstitusi di Indonesia menjadi penting sebagai sarana perluasan perlindungan hak konstitusional warga negara dalam negara yang menjadikan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai norma hukum tertinggi.

Ikuti tulisan menarik Fajrianto Rahardjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB