x

Playing Victim

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Senin, 21 Agustus 2023 20:29 WIB

Sepertinya Malingering Politik dan Playing Victim itu Kembaran...

Hati-hatilah! Ada yang memanipulasi kondisi kesehatannya. Bilangnya sakit. Tapi, lihat sana! Ada sehat-sehat saja tu. Atau di contoh lain, mengaku miskin, padahal segalanya serba mewah dan elit tu. Ini yang namanya cara dan teknik semua na. Bikin publik terkecoh saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

P. Kons Beo, SVD

Hati-hatilah! Ada yang memanipulasi kondisi kesehatannya. 'Bilangnya sakit. Tapi, lihat sana! Ada sehat-sehat saja tu.' Atau di contoh lain, 'Ngakunya miskin. Padahalnya, segalanya serba mewah dan elit tu.' Ini yang namanya 'cara dan teknik semua na.' Bikin publik terkecoh saja.

Kita kini hidup dalam alam penuh siasat. Terhadap sesama dikaroserilah type relasi penuh prank. Jebakan dengan varian modus minus kondisi fisik-mental diracik. Sambil berharap adanya empati berbasis misericordia yang segera jatuh beriba hati. Atau setidaknya 'masih ada rasa keberpihakan bagi yang malang dan derita nasib dan keadaan.'

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Di rana psikologi, iya di  seputar Psikologi Abnormal (Asti Musman, 2022), ada paparan seputar malingering. 

 

Ada gejala nyata malingering dalam abnormalitas psikologis itu. Sebut saja semisal  memanipulasi keadaan dengan berpura-pura sakit. 'Karang saja alasan sakit ini itu atau sedang tidak enak badan, misalnya, supaya jangan masuk kerja atau sekolah.' Gampang kan?

 

Ada lagi yang  bertingkah 'tiba-tiba aneh oleh gangguan mental saat lakukan kejahatan. Maksudnya kisah suram itu terjadi di luar kesadaran. Arahnya jelas! Demi bebas dari dakwaan hukuman. Tindakan atau keadaan ini memang penuh pertentangannya. Artinya? Oknum sungguh bersikap antisosial (kriminal), namun pada saat yang sama ia butuh afirmasi publik bahwa ia 'memang eror mental.' Semuanya, itu tadi, demi bebas dari jeratan hukum.

 

Disinyalir, terdapat sekian banyak elitis Tanah Air yang terlibat tindak koruptif, lalu 'berupaya untuk dinyatakan' atau tepatnya 'bikin diri sakit' agar bisa berobat di luar negeri. Dan seterusnya mereka ini tetap di luar negeri. Dan hukum di dalam negeri mesti 'gigit jari dalam penantian yang tak pasti.'

 

Keadaan sakit, derita, aneh-aneh, tidak sadar, hilang kontrol, gangguan identitas, hingga depersonalisasi memanglah keadaan abnormal psikologis yang nyata! Bahwa "sesungguhnya individu tak lagi mengenal dirinya sendiri."

 

Namun hal ini lain ceritanya dalam drama abnormalitas psikis, malingering. Di situ ada 'rencana, taktik dan teknik, rekayasa, strategi yang semuanya berbau penuh pura-pura, sarat kelicikan, manipulatif agar bebas dari tanggungjawab dan kewajiban. Dan busuknya lagi, agar publik pada amini, maklumi dan bahkan sampai dipaksa untuk 'jatuh kasihan tak sampai hati segala.'

 

Tetapi, mari memotret seadanya actus politisasi malingering. Katakan saja begitu. Kita ambil saja kiat-kiat demi kepemimpinan Tanah Air di 2024. Dari area pusat hingga daerah-daerah. Memanglah fatal andai calon pemimpin harus bikin diri apalagi proklamasikan keadaan diri sendiri dalam keadaan 'sakit, lemah, tak berdaya, atau segala keadaan psikis yang rancu.' Bahwa semuanya  sedang 'tidak baik-baik saja.'

 

Keadaan psikologis yang miris ini tentu tak produktif untuk sebuah perhelatan politik demi memegang kuasa kepemimpinan negeri. Siapa yang ingin memilih calon pemimpin yang 'sakit atau lagi dalam keadaan tidak baik-baik saja? Lalu?

 

Bagaimanapun faktor intensi substantif dalam malingering tetaplah yang itu, yakni 'dapatkan rasa keberpihakan atau pemahaman publik dalam bingkai rasa penuh belaskasih.' 

 

Maka, geliat  malingering dalam 'frame politik' mesti beralih modus untuk berpelukan mesrah dengan, katakan saja, saudara kembarnya, yakni playing victim. Jika pada malingering itu individu itu bersiasat bikin diri 'sakit, derita' maka lain modusnya pada playing victim. Di situ, Individu juga 'kampanyekan' keadaan sakitnya yang penuh pura-pura itu. Namun itu semua disebabkan oleh sikap dan perlakuan pihak lain. Maka yang disuarakan adalah nada-nada lamentatif bin baperan. Penuh gema dan intonasi minornya. 

 

Dan di balik semuanya, sekali lagi, dituduhlah bahwa ada pihak lain 'yang bikin kami jadi korban dan menderita.' Maka 'tolong selamatkanlah kami dari derita ini.' Bukankah rasa belaskasih dijerat untuk sebuah keberpihakan?

 

Tampak simpel saja. Pada malingering dan playing victim di koridor politik selalu terkondisi teater untuk bersandiwara. Bisa dibaca secepatnya yang tidak sekadar membaca sepintas. 

 

Ada 'kesakitan dan ketimpangan dalam pembangunan.' Itu yang tak sekadar disadari oleh pemimpin sebagai 'luka-luka kepemimpinannya.' 

 

Namun, selalu dibangun strategi kata-kata untuk menjelaskan, untuk mengundang pihak manapun agar masuk dalam logika racikan sang pemimpin. Ujung-ujungnya  agar 'luka-luka pembangunan itu dapat dipahami, diamini atau dimaklumi.' Namun, pada kenyataannya, yang harus menanggung derita pada akhirnya adalah publik (rakyat) itu sendiri. Iya, rakyat yang sebenarnya telah 'gadaikan rasa belaskasihnya atas segala tata kata yang terdengar masuk akal namun sebenarnya ngeles memelas.'

 

Namun, yang terjadi murah meriah adalah 'drama publikasi diri atau kelompok sebagai korban atau obyek suram dari sikap dan tindakan dari pribadi atau kelompok lain.

 

Memang, dalam tarung politik tetap saja ada siasat 'hitamkan nama baik, pembunuhan karakter atau bikin kampanye gelap tentang pesaing.' Intinya, agar publik tak punya rasa simpati pada calon yang cemar rekam jejak, dan tak sedap dalam peri hidup!

 

Lain perkaranya pada playing victim. Bikin diri seolah-olah jadi korban atau alami derita sebagai akibat dari perbuatan dan sikap dari pihak lain. Dalam lukisan sederhana, "Sebenarnya tak ada soal atau akibat mendasar, tapi orang bikin diri dalam ekspresi kata, suara, wajah penuh derita dan malang."

 

Atau, memang ada soal dan akibat buruk yang harus dipikul. Dalam bahasa pasar, orang bilang, "Nah, itu salahmu sendiri. Itulah risiko,  akibat perbuatan dan tindakanmu sendiri... Jangan salahkan siapa-siapa." Namun bagi si pelaku playing victim ia hanya punya misi diri yang diselamatkan dan dimenangkan! 

 

Formulasi yang jadi harapan dalam drama playing victim: "Aku (kami) telah jadi korban, maka sepantasnya dikasihani (dipilih atau dipihaki). Dan orang lainlah yang jadi pelaku itu mesti dihukum (tak boleh dipilih atau dipihaki).

 

Seorang pemimpin bisa bikin diri 'sakit ingatan' akan segala janji kampanyenya. Ia berpura-pura lupa akan apa yang wajib ia tuntaskan di masa kepemimpinannya. "Dulu janjinya apa ya?" adalah formulasi agar ia bisa dipahami dalam ciri kemanusiaan yang lemah ingatan juga.

 

Dalam kisah Pilpres silam, playing victim ditembakkan kepada Partai Demokrat dengan SBY sebagai mentor yang dianggap publik penuh baperan. Ada banyak modus yang dipakai oleh regim atau penguasa di saat itu yang bikin SBY jadi korban. 

 

Namun, lantaran karena victima lah, SBY (Partai Demokrat) yang  jadi victor nya. Pemenang karena (jadi) korban adalah strategi yang berhasil mendulang rasa simpati penuh belah rasa atau keberpihakan.

 

Jika nanti secara resmi telah didaftarkan ke KPU sebagai calon Presiden 2024, maka Ganjar Pranowo, Anis Baswedan, dan Prabowo Subianto, dengan masing-masing timnya tentu segera berselancar dalam strategi jitu yang diyakini bakal mendulang 'rasa hati keberpihakan.' Maka, misalnya, dapat diandaikan bahwa tim Prabowo akan bertarung  sengit sekiranya capres Prabowo Subianto telah dicurangi dengan isu lama seputar pelanggaran HAM di 1997-1998 itu. Dan rasa simpati publik bahwa Prabowo dizalimi mesti dibangkitkan. 

 

Bukankah publik Tanah Air masih sekian surplus dengan pemilih emosional ketimbang pada tatanan rasional? Yang masih berpautan dengan rasa kasihan, rasa keluarga, rasa masih ada pertalian kekerabatan, atau rasa senasib dan sepenanggungan?

 

Bagaimanapun, pesta demokrasi sekelas Pilpres, misalnya, bukanlah ajang berbelarasa murah meriah. Malingering dan kembarannya playing victim mesti dihadapi dengan cahaya akal sehat. Toh, yang terutama adalah visi dan orientasi kebangsaanlah yang jadi pijakan utama.

 

Akhirnya, calon pemimpin yang kokoh tentu miliki sikap berbelarasa pada  nasib rakyat dan kepentingan bangsa, bukan sebaliknya! Ini berbeda pdengan geliat calon pemimpin dalam koridor malingering politik dan playing victim yang justru berulah dengan tebarkan perangkap demi menjaring simpati publik....

 

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro
Roma.

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu