x

Aksi Solidaritas PSI Kelapa Gading

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Kamis, 31 Agustus 2023 06:52 WIB

Berbagi Nasi di Zaman AI

Bagi orang yang benar-benar tidak mampu, bisa makan atau tidak itu pertaruhan hidup dan mati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rasa-rasanya, di zaman modern yang serba artificial intelligence ini, malah begitu banyak ditemui kegiatan dengan tema berbagi, khususnya berbagi makanan. Kegiatan seperti Jumat Berbagi, Jumat Berkah, Nasi Gratis, Sego Jumat dan sebagainya bukan hal yang asing lagi di telinga. Berbagai macam kegiatan tersebut muncul begitu saja. Murni organik dan sporadis. Tidak masuk ke pembahasan RAPBN. Tidak pernah jadi agenda parpol mana pun. Bukan merupakan isu strategis di Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 tahunan maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 tahunan yang disusun para menteri. Semuanya murni dari kesadaran kolektif kaum akar rumput. 

Walaupun saya tidak ketemu logikanya mengapa Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang 20 tahunan itu, disusun oleh menteri sebagai wakil pemerintah yang masa aktifnya hanya mentok 5 tahun—atau 10 tahun jika presiden terpilih kembali—dengan asumsi tidak ada reshuffle kabinet? Bukankah lebih masuk akal jika yang menyusun adalah MPR sebagai wakil negara, yang dalam hal ini sebuah negara, usianya lebih langgeng dari sebuah pemerintahan? Sehingga rencana jangka panjang milik 'Negara' tersebut dapat dieksekusi oleh presiden sebagai kepala 'Pemerintah'-an di bantu para menteri dalam kabinet yang dipilihnya sesuai posisinya yang sejak awal berada di pihak eksekutif? Namun, saya tidak ingin membahas hal ini. Saya ingin membahas tentang nasi bungkus. Dan tentang berbagi.

Kembali ke urusan berbagi makanan tadi. Kegiatan ini layak diacungi jempol meskipun kelihatannya sepele. Apalah arti berbagi beberapa bungkus nasi berlauk telur dadar dan orek tempe yang dikareti gelang ini dihadapan isu-isu besar para wakil rakyat seperti kesejahteraan, ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan? Ya, di hadapan mereka, kegiatan ini memang tidak ada artinya. Tapi ini soal makannya orang yang tidak kuat menebus harga makanan di tengah menggaungnya isu besar tentang kesejahteraan. Ini soal sesuap nasi yang tidak mampu ibu-ibu beli, karena harga beras makin melambung tinggi di saat di mana-mana terdengar teriakan tentang ekonomi kerakyatan. Ini soal memberi makan orang miskin di tengah nggegirisi-nya wacana tentang pengentasan kemiskinan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi orang yang tidak mampu, bisa makan atau tidak itu pertaruhan urusan hidup dan mati. Di dunia, setiap 4 detik ada 1 orang yang meninggal karena kelaparan. Tahun lalu, Presiden Jokowi mengumumkan kalau setiap hari ada 19.600 orang mati kelaparan karena krisis pangan di seluruh dunia. Jangan dikira orang mati kelaparan itu tidak ada di negara ini. Berdasarkan data GHI (Global Hunger Indeks) tahun 2022, Indonesia menempati urutan ke-3 dengan tingkat kelaparan paling parah di Asia, setelah Timur Leste dan Laos. Kalau melihat data ini, di hadapan krisis pangan yang dialami dunia, berbagi nasi bungkus menjadi tidak lagi urusan sepele.

Munculnya kesadaran berbagi di level akar rumput ini, di samping secara nyata mengurangi atau setidaknya tidak menambah angka kelaparan di masyarakat suatu negara, juga merupakan tuntutan dan tuntunan spiritual-religius yang semestinya dipenuhi. Bukankah orang yang mendustakan agama adalah yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin? Bukankah orang yang celaka adalah orang yang lalai dalam shalat dan orang yang lalai dalam shalat adalah orang yang berpamer harta dan tidak memberikan pertolongan? Orang yang tidak beragama pun tahu kalau tidak ada yang salah dalam hal memberi makan orang kelaparan.

Adalah suatu adat setiap orang kafir Quraisy menjamu tamu dengan hidangan yang lezat dan cenderung mewah. Biasanya hidangan tersebut disajikan di atas loyang besar menyerupai acara jamuan makan saat prasmanan. Atau kalau di Jawa, mirip dengan acara kenduren. Mereka melakukan ini untuk menunjukkan budaya mereka yaitu memuliakan tamu. Dan memuliakan tamu, bagi mereka adalah wujud kesantunan. Acara jamuan makan besar ini dalam bahasa Arab disebut adab. Kata ini akhirnya diserap ke dalam Bahasa Indonesia yang disejajarkan dengan budi-pekerti, perilaku ramah-tamah atau sopan-santun. 

Menuliskan semua ini saya jadi teringat satu kisah dalam kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali. Suatu malam, rumah Nabi Ibrahim kedatangan tamu. Seorang Majusi tua yang kehabisan bekal mengetuk pintu rumahnya untuk meminta makanan. Majusi adalah agama kuno yang menyembah dewa Api. Setelah mendengarkan tentang kondisi perbekalannya, Nabi Ibrahim bersedia memberinya makanan dengan satu syarat, majusi tua itu harus mau memeluk Islam dan meninggalkan agamanya. Tentu ia pun menolak. Segera ia tinggalkan rumah Nabi Ibrahim dan berlalu.

Tidak berapa lama, Tuhan pun berfirman dan menegur Nabi Ibrahim: "Mengapa engkau enggan memberikan sebagian rezeki yang Kami berikan kepadamu (makanan) kepadanya kecuali dia mengganti keyakinannya? Sedangkan Kami, sang Maha Pemberi Rezeki, selama 70 tahun terusmenerus memberinya makan padahal ia kufur?"

Nabi Ibrahim merasa bersalah dan mengejar majusi tua itu di kegelapan malam. Setelah mereka bertemu, Nabi Ibrahim meminta maaf dan menceritakan bahwa ia baru saja ditegur oleh Tuhan atas kekeliruan sikapnya. Majusi tua itupun diajak kembali ke rumah Nabi Ibrahim untuk menikmati jamuan makan malam. Di tengah perjalanan, ia berkata, "Wahai Ibrahim, apakah benar demikianlah Tuhanmu memperlakukan aku? Jika demikian, terangkanlah kepadaku tentang Islam."

Sejak saat itu, pintu rumah Nabi Ibrahim selalu terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan makanan dan perbekalan. Bahkan Nabi Ibrahim tidak pernah makan kecuali ditemani. Beliau pernah berjalan bermil-mil hanya untuk mencari orang yang mau diajak makan bersama. Sebegitu inginnya Nabi Ibrahim untuk memberikan makanan kepada orang lain. 

Sejak saat itu pula, Nabi Ibrahim bergelar Khalilullah, kekasih Allah. Bukan karena beliau adalah seorang Ketua Parpol, DPR, Menteri ataupun Presiden yang merencanakan agenda yang besar-besar. Ketika malaikat datang mengabarkan kedudukan mulia ini, Nabi Ibrahim bertanya, "Mengapa aku?". Malaikat pun menjawab, "Karena engkau memberi makan manusia lain dan tidak berharap apa pun dari mereka." Kalau melihat kisah ini, di hadapan Tuhan, kegiatan bagi-bagi nasi bungkus, tidak pernah jadi urusan sepele.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu