Penulis lepas yang gemar menulis cerpen, cerita anak, dongeng, dan apa saja yang bisa ditulis. Penggemar donat yang suka membaca.
Haji tanpa Gelar
Minggu, 3 September 2023 14:12 WIBPembantu di rumah Purwanti keluar karena menikah lalu pindah ke luar daerah, seperti pembantu yang dahulu. Dua kali ditinggal pembantu yang masih lajang, ada baik bila Purwanti mengambil wanita tua. Datanglah padanya Rukayah yang berusia 55 tahun, mantan TKW, janda beranak dua.
Rukayah tinggal satu desa dengan Purwanti, namun beda dusun. Dahulu, Rukayah bersuamikan sopir truk yang meninggal karena kecelakaan. Rukayah yang menjanda, menghidupi dua anak yang masih kecil, sungguh berat. Ia bekerja serabutan dan sesekali mendapat bantuan dari saudara-saudara atau yayasan sosial. Kemudian ia merantau ke Jedah, berkali-kali memperpanjang masa kontrak, hingga 10 tahun di sana, lalu pulang.
Rumah Rukayah sejak sebelum dan setelah pulang dari Jedah tetap sama; berdinding kayu. Perbaikan yang dilakukan hanya mengganti lantai semen menjadi keramik, membeli televisi layar datar, serta membuat kios kecil di depan rumah, tak lebih. Motor bebeknya masih model lama yang digunakan bergantian dengan dua anak perempuannya.
Dua anak gadis Rukayah hanya lulus Madrasah Aliyah. Si sulung bekerja di toko sembako, si bungsu bekerja di rumah makan, yang jaraknya dekat dengan rumah, bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Tak ada kemewahan dalam keluarga Rukayah. Itu semacam aib bagi seorang yang pernah bekerja di negeri super makmur seperti Arab Saudi. Cap TKW gagal pun melekat padanya, meski predikat itu diucapkan para tetangga secara bisik-bisik.
Rukayah membuka toko sembako di depan rumahnya, tapi kurang laku, lalu gulung tikar. Ada yang bilang ia kalah bersaing dengan toko lain yang menggunakan dukun. Ada yang bilang ia tidak punya bakat berdagang, bakatnya jadi babu!
***
Rukayah bekerja dengan cermat dan hati-hati. Ditakarnya bumbu-bumbu masakan dengan pas, seperti ilmuwan di laboratorium. Hasilnya, semua masakan racikannya sungguh lezat.
Purwanti dan Nasokha amat girang. Dua anak gadis mereka juga senang, tak perlu sering ke kafe lagi untuk menikmati makanan enak.
Purwanti sering menerima kunjungan tamu rekan bisnis di rumah. Dahulu, ia akan membawa tetamunya ke rumah makan di kota kecamatan. Sekarang, ia menjamu tetamunya di rumah.
“Wah, enak sekali nasi kebuli ini, Bu Pur. Pesan di restoran mana?” tanya seorang tamu perempuan.
Bangga rasa hati Purwanti mengatakan bahwa pembantunya yang memasak. Bangga pula ia mengatakan bahwa pembantunya telah berpengalaman 10 tahun di Jedah.
“Wah, pantas. Saya dengar orang Arab itu cerewet soal makanan. Kalau tak enak dibuangnya makanan itu. Pembantu di sana harus cermat kalau memasak. Bu Pur cari pembantu lain saja. Biar Rukayah bekerja di rumah saya.”
“Tidak boleh!”
Purwanti dan tamu itu terbahak.
***
Suatu kali Purwanti kedatangan tamu, Sarmini, wanita 60-an tahun dari Probolinggo. Sarmini sering pesan emping melinjo pada Purwanti. Sekali pesan bisa dua sampai tiga ton. Sarmini terakhir berkunjung ke rumah Purwanti sekira tiga tahun silam.
Hari itu Sarmini hendak ke Cirebon, lalu mampir ke rumah Purwanti di Desa Ngaliyan, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Suami Sarmini sudah berangkat bersama anak-anak kemarin. Kemarin Sarmini ada urusan, baru sempat berangkat hari ini bersama sopir.
“Tilik haji, Bu Pur. Ada saudara saya akan naik haji tahun ini, berangkat minggu depan,” kata Sarmini.
Purwanti mengangguk-angguk. Ia menoleh ke arah dapur.
“Bik, ada tamu. Buatkan minuman!” seru Purwanti.
Beberapa menit kemudian Rukayah muncul membawa baki berisi dua cangkir teh hangat. Kepalanya senantiasa menunduk. Hati-hati ia meletakkan cangkir-cangkir itu ke meja tamu. Sedangkan Sarmini mengamati wajah Rukayah seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Bu Rukayah?” tanya Sarmini.
Rukayah tertegun, menoleh. Ia pun tampak mengingat-ingat sesuatu, lalu sepasang matanya membelalak.
“Bu Haji Sarmini?” pekik Rukayah.
Masih memegang baki, Rukayah mendekati Sarmini yang segara bangkit, lalu mereka berpelukan.
“Apa kabar, Bu Haji Rukayah? Lama tidak bertemu,” kata Sarmini melepas pelukannya. Mata Rukayah berkaca-kaca, begitu pula mata Sarmini.
“Lama, Bu Haji Sarmini, lama sekali,” kata Rukayah, napasnya tersengal menahan rindu.
Di samping mereka, Purwanti terdiam dengan mulut terbuka dan mata menyipit.
“Maaf, saya bingung. Ada apa ini? Mengapa Bu Sarmini memanggil Bik Rukayah ini haji?” tanya Purwanti.
Sarmini menyeka mata dengan punggung tangan. Kebahagiaan masih terpancar di sepasang matanya yang berair. Ia duduk, mengatur napas, lalu bercerita.
“Begini, Bu Pur....”
Sekitar delapan tahun yang lalu, Sarmini menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram ia berjumpa dengan Rukayah, yang saat itu juga berhaji dibiayai majikannya. Mereka saling bertukar alamat dan nomor telepon. Pulang berhaji, mereka masih saling berkomunikasi melalui ponsel.
“Suatu kali, saya berkabar bahwa kampung saya akan membangun masjid baru, karena masjid lama sudah tidak layak. Bu Rukayah minta nomor rekening saya. Beberapa hari kemudian Bu Rukayah menelepon kalau baru saja transfer untuk menyumbang masjid. Saya cek ke bank. Ternyata benar, ada transfer masuk dua puluh juta dari Bu Rukayah. Masya Allah, saya sampai menangis saat itu hingga pegawai bank panik,” usai bercerita, air mata Sarmini kembali bercucuran.
Sesak dada Purwanti mendengar kisah ini. Hangat pula sepasang matanya hingga berair. Ia sesenggukan. Di kursi lain, Rukayah menundukkan kepala, bahunya berguncang pelan. Begitu pula Sarmini. Ruang tamu menjadi syahdu oleh sesenggukan tiga wanita.
***
Usai subuh, Purwanti dan Rukayah berbelanja ke pasar pagi Embun Pagi, Kecamatan Limpung. Dua tangan Rukayah menenteng masing-masing satu rindik (keranjang belanjaan dari anyaman plastik) berukuran kecil.
“Biar saya yang bawa satu rindik-nya, Bu Haji,” kata Purwanti tersenyum.
“Baik, Bu,” sahut Rukayah. “Tapi, saya mohon, jangan panggil saya Bu Haji di depan umum.”
“Mengapa?” sahut Purwanti mengerling.
“Ng, anu, pokoknya jangan, Bu,” jawab Rukayah gugup, tengok kanan-kiri seakan takut ada yang mendengar percakapan mereka.
“Wah, saya malah mau mengumumkan di rapat PKK nanti siang.”
“Jangan, Bu.”
Purwanti tertawa.
“Saya bercanda, Bik.”
“Orang lain jangan sampai tahu kalau saya sudah berhaji, ya, Bu.”
Purwanti mengangguk.
“Janji ya, Bu?” desak Rukayah.
Purwanti tersenyum.
“Ya, Bik. Saya janji.”
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpen karyanya tersiar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Menari Bersama Bidadari
Sabtu, 21 Oktober 2023 13:57 WIBJangan Pacari Kakakku
Senin, 16 Oktober 2023 09:43 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler