x

Keputusan atasan yang melahirkan baris perlawanan

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 8 September 2023 08:32 WIB

Merdeka dari Keterbelahan Politik Elektoral 2024

Dalam tradisi demokrasi yang menghargai kebebasan, keragaman dan perbedaan, polarisasi dalam masyarakat adalah lumrah. Namun dalam sejarah elektoral Indonesia, polarisasi ini cenderung mengarah ke situasi yang mengancam integrasi negara-bangsa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilu sejatinya memiliki beberapa substansi yang satu sama lain saling bersitemali. Pertama, sebagaimana diadopsi dalam peraturan perundang-undangan kita, Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Istilah “kedaulatan rakyat” adalah padanan makna etimologis dari Demokrasi, Demos artinya Rakyat dan Kratos/Kratein artinya kekuasaan/kedaulatan. Jadi, Pemilu tidak lain merupakan pengejewantahan faham Demokrasi.

Kedua, Pemilu merupakan instrumen mekanis dalam tradisi demokrasi melalui apa legitimasi kekuasaan diperbarui secara berkala sekaligus sirkulasi elit kepemimpinan politik dilakukan.

Legitimasi kekuasaan perlu diperbarui karena dalam tradisi demokrasi ia dibatasi masa berlakunya, tidak seperti dalam tradisi monarki dimana tidak ada pembatasan masa jabatan kekuasaan. Selain itu pembaruan legitimasi kekuasaan juga penting atas dasar kepercayaan bahwa ia akan mengalami pelemahan demikian rupa seiring dengan masa berlakunya kekuasaan lantaran berbagai faktor penyebab, misalnya kebijakan pemerintah tidak lagi berpihak pada rakyat, sang pemilik sejati kedaulatan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada saat yang sama, elit penguasa juga perlu dirotasi sesuai pembatasan durasi kekuasaan yang disepakati bersama karena fakta-fakta empirik dan historical mengajarkan, bahwa kekuasaan yang terlampau lama dalam genggaman seseorang atau sekelompok elit pada umumnya telah melahirkan kesewenang-wenangan, abuse of power.    

Ketiga, Pemilu pada dasarnya merupakan konflik yang dilegalkan, konflik yang absah. Karena Pemilu tidak lain merupakan arena kontestasi (perlombaan), dan dalam setiap kontestasi niscaya ada kompetisi (persaingan). Dalam kontestasi Pemilu figur-figur kandidat serta gagasan (visi, misi dan program) bersaing untuk mendapatkan dukungan publik (pemilih). Dalam persaingan inilah kemudian konflik (pertentangan, perseteruan, pertengkaran) dengan sendirinya muncul dan berkembang. Dan konflik hanya terjadi manakala ada dua pihak atau lebih kontestan yang bersaing. Polarisasi (pengkutuban, pembelahan) lahir, sekaligus merupakan implikasi lanjutan dari situasi konflik yang mengalami penjaman demikian rupa.

Last but not least, sejak awal kehadirannya dalam peradaban manusia modern, demokrasi mengusung antara lain dua nilai dasar, yakni keragaman dan perbedaan, yang keduanya wajib dihormati dan dijaga keberlangsungannya. Karena itu dalam tradisi demokrasi, munculnya perkubuan atau pembelahan (polarisasi) politik yang dipicu oleh keragaman dan perbedaan sebetulnya merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak mungkin dihindari.

Makanya kebiasaan rezim totalitarianisme yang selalu berusaha melakukan uniformitasi (penyeragaman) dalam kehidupan politik ditolak dimana-mana, karena uniformitasi sejatinya bertentangan dengan prinsip keragaman dan perbedaan yang harus dijaga dan dihormati dalam situasi apapun.

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa Pemilu sejatinya memang potensial, bahkan niscaya akan melahirkan polarisasi dalam masyarakat. Potensi ini tidak mungkin dihindari, ditolak apalagi diberangus, lantaran Pemilu lahir sebagai implikasi dari, dan diselenggarakan di atas landasan demokrasi. Premis ini penting terlebih dahulu untuk difahami dan disadari oleh para pihak dalam kerangka perhelatan elektoral.

Tugas bersama kemudian, dan inilah poin mendesaknya yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana polarisasi (keterbelahan) sebagai sebuah keniscayaan dalam Pemilu itu dikelola dengan bijak, terukur dan proporsional agar tak menjurus dan berkembang pada situasi yang lebih membahayakan, yakni : pembelahan ekstrim dalam masyarakat yang bisa berujung pada situasi disintegrasi negara-bangsa.

 

Polarisasi vs Partisipasi

Secara teoritik pembelahan, pengkubuan atau polarisasi yang terjadi dalam masyarakat dapat dipicu oleh sejumlah faktor yang beragam, selain sekali lagi, alas potensinya sendiri sudah tersedia dalam tradisi demokrasi.

J.Q. Wilson misalnya, melihat keterbelahan ini dilatarbelakangi oleh faktor keterikatan yang kuat terhadap ideologi atau komitmen terhadap kandidat sehingga memecah suatu kelompok dengan kelompok lainnya (Annas dkk, 2019). Sementara itu menurut Nolan McCarty polarisasi juga bisa terjadi karena perbedaan dalam menyikapi isu-isu fundamental (Assyaukanie, 2022); atau, bisa juga karena kebencian terhadap agama dan etnik dalam opini publik (Muhtadi, 2021), dan maraknya klaim politik identitas (Tapsell, 2019).

Selain merupakan implikasi bawaan demokrasi yang tidak mungkin dihindari, polarisasi (dengan sejumlah catatan) sesungguhnya juga dapat memberi dampak positif terhadap perhelatan Pemilu. Sebuah studi menarik dipaparkan oleh Alan Abramowitz (2010), bahwa polarisasi mendorong peningkatan partisipasi politik pemilih. Para pemilih menurut Abramowitz, termotivasi oleh polarisasi politik yang terjadi saat itu. Jumlah pemilih yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan kampanye adalah hasilnya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa mereka yang berpartisipasi adalah mereka yang terpolarisasi.

Studi itu memang dilakukan di Amerika untuk kasus Pemilu Presiden tahun 2004 dan 2008 silam. Namun demikian, di Inonesia simpulan studi ini terkonfirmasi setidaknya dalam tiga perhelatan Pemilu yang diwarnai gejala polarisasi. Yakni Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019. Pada Pemilu 2014 dimana gejala polarisasi mulai muncul secara tajam tingkat partisipasi politik mencapai angka 75.11 %. Kemudian Pilkada DKI 2017 dimana polarisasi yang dianggap merupakan warisan Pemilu 2014 semakin tajam tingkat partisipasi warga mencapai angka 78% (putaran kedua), jauh melampaui tingkat partisipasi pada Pilkada 2012 yang hanya 68% (putaran kedua). Dan Pemilu serentak 2019 lalu tingkat partisipasi mencapai angka 81,69% untuk Pemilu legislatif dan 89,97% untuk Pilpresnya.

Jadi, sesungguhnya polarisasi tidak selalu buruk, sepanjang ia dapat dikelola dengan baik dan terukur. Polarisasi yang tercermin misalnya dalam visi-misi dan program para kandidat yang secara gagasan dan konseptual berhadapan secara diametral, dan masing-masing mendapatkan dukungan dari para pemilih yang sejalan-sepemikiran tentu akan berdampak pada ikhtiar masing-masing kubu untuk memenangkan kontestasi gagasan itu. Dan ini dengan sendirinya akan mendorong basis pendukung para kandidat untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya.

 

Mengelola Polarisasi

Lantas mengapa polarisasi dikhawatirkan banyak pihak, terutama menjelang perhelatan Pemilu 2024 mendatang ?

Pertama, karena faktanya polarisasi mengarah pada konflik horisontal dan perpecahan antar berbagai elemen bangsa, yang pada ujung ekstremnya bisa saja memporak-porandakan bangunan integrasi bangsa. Kedua, fakta lain, pada level implikasi yang lebih rendah (dibandingkan dengan ancaman terhadap integrasi) polarisasi telah banyak menyedot pikiran dan menghabiskan energi bernegara-bangsa hanya untuk mempertengkarkan isu-isu yang seharusnya tidak menjadi prioritas bersama. Ketiga, polarisasi yang terjadi dan terus berkembang bersitemali dengan politik identitas beralas agama.

Itulah pokok soalnya, dan itulah yang saat ini dialami bangsa Indonesia, terutama sejak Pemilu 2019 lalu. Sebagaimana masih dirasakan gejalanya hingga saat ini, Pemilu 2019 memang telah menimbulkan polarisasi terutama di lapis masyarakat. Polarisasi yang merebak dan menyisakan residunya sampai saat ini dipicu oleh kontestasi yang tajam dua kubu pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang saling melabeli dengan stigma-stigma buruk satu sama lain. Tanpa bermaksud membangkit-bangkitkan "luka lama" stigmatika itu kiranya cukup dengan meminjam dua istilah vis a vis : "cebong" untuk pendukung Jokowi-Ma'ruf dan "kampret" untuk para pendukung Prabowo-Sandiaga.

Sekarang dan ke depan "pekerjaan rumah" bersama kita adalah bagaimana residu polarisasi Pemilu 2019 yang potensial terulang kembali pada Pemilu 2024 mendatang itu disikapi dan dikelola sehingga bangsa ini bisa merdeka dari keterbelahan politik berkepanjangan ?

Pertama, membangun kesepakatan dan komitmen di kalangan elit partai maupun non-partai untuk melokalisir polarisasi di wilayah gagasan dan narasi-narasi programatik membangun Indonesia dalam bingkai persatuan dan keutuhan nasional. Aspek-aspek primordialis atau sentimen-sentimen keagamaan, etnisitas, rasialisme, dan kedaerahan harus diminimalisasi sedemikian rupa. Sikap ini penting diturunkan ke akar rumput masing-masing kubu kandidat atau partai politik dan ditumbuh-kembangkan sebagai bagian dari pendidikan politik dan pendewasaan berdemokrasi.

Kedua, sudah saatnya penggunaan buzzer-buzzer politik sekaligus cara-cara mereka memenangkan kontestasi elektoral dihentikan oleh para pihak. Karena terbukti bahwa keberadaan dan perilaku para buzzer yang kerap saling menebar fitnah, framing-framing negatif atas lawan-lawan politik, serta kampanye hitam di ruang publik sejauh ini lebih banyak memicu kegaduhan, pertengkaran dan perpecahan di kalangan masyarakat.

Ketiga, upaya-upaya pencegahan pelanggaran dan penegakan hukum Pemilu harus lebih diefektifkan dengan cara yang adil, seimbang dan tidak tebang pilih baik oleh penyelenggara Pemilu (khususnya Bawaslu di semua tingkatan) maupun aparat penegak hukum (Kepolisian) jika kasusnya sudah menyentuh aspek pidana Pemilu atau pidana umum.

Terakhir memperbaiki desain Pemilu, khususnya Pilpres, yang sejauh ini masih menerapkan ambang batas pencalonan Presiden-Wapres yang sangat tinggi (20%0), yang kemudian melahirkan implikasi sulitnya kontestasi Pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasang calon. Pilpres hanya dengan dua pasangan calon terbukti sangat mudah memicu polarisasi yang tajam. Sayangnya untuk Pemilu 2024 yang sudah makin mendekati masa-masa krusial gagasan ini tampaknya sudah terlambat untuk dapat dilakukan.

Namun demikian cara lain masih tetap bisa ditempuh selama para elit partai politik, parlemen dan pemerintah mau dengan tulus menyepakati dan mengikhtiarkannya. Yakni dengan mengurangi syahwat kuasa berlebih yang tercermin dalam “cawe-cawe” ingin menciptakan dua pasangan kandidat, sekaligus memberikan keleluasaan kepada partai-partai politik baik yang berada dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan untuk memajukan sebanyak mungkin opsi calon pemimpin demi menghindari potensi pengkutuban atau pembelahan (polarisasi) ekstrim sebagai dampak dari hanya ada dua pasangan Capres-Cawapres di Pemilu 2024 mendatang.

 

Penulis Dosen dan Peneliti FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang,

Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu