x

Upacara 17 Agustus 1950

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Minggu, 17 September 2023 14:38 WIB

Upacara Agung Itu Bernama Indonesia

Ia bangga dengan janjinya. Ia mabuk dengan untaian kata-kata yang dibuatnya sendiri. Padahal tanpa itu semua, rakyat alias pasukannya, mampu menjalani hidupnya dengan baik-baik saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di bawah terik matahari yang begitu menyengat, sebuah upacara bendera sedang dijalankan dengan penuh khidmat. Pasukan yang terdiri dari tiga kompi itu dalam posisi istirahat. Komandan kompi siaga. Masing-masing berdiri tegap di sebelah kanan pasukan manusia yang berdiri sama tegapnya. Lalu terdengar, "Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara". Serentak, pasukan disiapkan.

Hari itu, 17 Agustus 1950.

Hari di mana Sang Merah Putih jahitan Fatmawati kembali berkibar. Warna merahnya telah pudar, putihnya sudah kusam, dan jahitan di antara keduanya telah dijahit ulang oleh seorang Mayor Angkatan Laut bernama Hussein Mutahar. Ia ajudan Soekarno.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sang Merah Putih tersebut dijahit ulang lantaran sebelumnya jahitannya telah dibuka untuk memisahkan kain merah dan kain putih. Hal itu dilakukan untuk menghindari penyitaan pihak Belanda dalam Agresi Militer II, 19 Desember 1948, yang menggempur Yogyakarta. Sebab, secarik kain merah dan secarik kain putih yang terpisah tidaklah dapat disebut sebagai bendera.

Dalam upacara peringatan kemerdekaan tersebut, Soekarno selaku pembina upacara memberikan pidato yang menggetarkan, "Janganlah mengira kita sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, pekerjaan kita belum selesai. Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat." Tidak ada yang tahu pasti apa itu segitiga warna yang dimaksud Soekarno. Tapi yang jelas, bahkan sampai hari ini, perjuangan memang belum selesai. 

Atas nama perjuangan orang-orang mengajukan diri menjadi pemimpin. Orang ingin dipilih agar legitimasi kepemimpinannya sah secara demokrasi. Sehingga segala tindak tanduknya, baik benar maupun salah, bisa diatasnamakan keinginan rakyat. Dan rakyat, sebagai pihak yang tidak bisa dihadirkan secara utuh kecuali dalam simbol-simbol itu, tak kuasa menolak. Karena kekuatan dan kekuasaan rakyat, kedaulatannya, sudah diwakilkan ke pemimpin yang dipilihnya itu tadi.

Bagaikan sebuah upacara, di negara ini, parpol berlomba-lomba ingin mengajukan anggotanya jadi pemimpin. Ia ingin kekuasaan yang mengatur kapan orang harus istirahat, kapan harus siap dan kapan harus hormat. Ia ingin jadi orang di atas komandan kompi, yang setelah para komandan kompi tersebut memberikan laporan dan pengormatan, ia dapat mengambil alih seluruh pasukan. Ia ingin mengatur jalannya upacara, ingin tampil sebagai orang nomor satu dalam upacara agung yang bernama Indonesia.

Sebagai seseorang yang teriaknya paling lantang dalam upacara, ia merasa perlu untuk selalu berkoar-koar dengan janji-janji dan rangkaian kalimat yang tidak begitu jelas maknanya. Ia bangga dengan janjinya. Ia mabuk dengan untaian kata-kata yang dibuatnya sendiri. Padahal tanpa itu semua, rakyat alias pasukannya, mampu menjalani hidupnya dengan baik-baik saja. 

Jika dalam pengibaran bendera terdapat kesalahan. Ia dapat menginstruksikan seluruh pasukan untuk balik kanan. Kecuali komandan kompi, menteri-menterinya. Ketika bendera terbalik misalnya, ia perintahkan pasukan dengan aba-aba balik kanan. Tidak ada yang tahu. Apa yang dilakukannya ketika rakyat, pasukannya itu, berbalik membelakanginya. Tidak ada satu pun cara untuk tahu apa yang ia bisik-bisikkan, persekongkolkan, dan rencanakan di belakang rakyat. Dan ketika seluruh pasukan membelakanginya, juga tidak dapat diketahui dengan pasti, sesungguhnya bendera itu memang benar-benar terbalik atau tidak. Memang ada kesalahan pengibaran atau sebenarnya baik-baik saja.

Sebagai pemimpin, ia juga merasa berhak membubarkan pasukan dan memindahkan ibukota. Pasukan yang dibubarkan itu dapat berupa parpol tertentu yang berbeda pandangan, ormas-ormas yang melawan, pers yang terbuka, pegawai yang kritis dan pihak-pihak lain yang mengancam eksistensi dan meruntuhkan hegemoni otoritasnya. Ia berhak mengganti komandan kompi, menteri-menterinya jika dirasa pengormatannya keliru. Dalam melakukan penghormatan, posisi tangan para menteri itu harus sesuai keinginannya. Ujung jari harus menyentuh alis kanan bagian luar, menyentuh lahan-lahan tambang, menyentuh perusahaan-perusahaan multinasional, menyentuh investor asing, menyentuh tanah-tanah penduduk yang ketika semuanya itu illegal dapat diampuni melalui pemutihan, amnesti, grasi, abolisi dan remisi.

Dari sekian kekacauan, tumpang tindihnya aturan, semrawut-nya kebijakan dan menggebunya keinginan, pemimpin dan pasukannya itu sendiri lupa, bahwa dalam suatu upacara, ada yang jauh lebih hebat dari seorang pemimpin upacara. Orang itu adalah pembina upacara.

Pembina upacara tidak punya ambisi kepemimpinan meskipun ia dan semua orang tahu bahwa ia adalah yang paling layak. Ia tidak ikut kontestasi politik karena ia lebih besar dari politik. Ia tidak mau jadi pemimpin karena ia lebih agung dari seorang pemimpin. Ia tidak mau direpotkan dengan perkara debat antar calon pemimpin upacara karena hidupnya lebih luas dari sekadar lapangan upacara. Di luar upacara, pemimpin upacara itu hanyalah seorang pelajar biasa, anggota OSIS atau Paskibraka. Tapi di luar upacara, seorang pembina adalah pemimpin. Ia bisa jadi adalah seorang guru bagi sebuah bangsa, ketua komite bagi suatu negara dan kepala sekolah bagi seluruh dunia.

Dalam upacara, dia adalah satu-satunya orang yang dihormati oleh seluruh pasukan dua kali, saat datang dan kepergiannya. Bendera negara pun tidak mencapai maqam ini. Penghormatan bendera negara hanya dilakukan satu kali. Semua itu karena kahadirannya lebih mulia daripada keberadaan negara itu sendiri. Tetapi dengan rendah hati, ketika bendera negara itu dikerek menaiki tiang untuk dikibarkan, ia mengubah posisi dan juga ikut memberikan penghormatan.

Pembina upacara tidak menyiapkan pasukan, mengatur menteri-menteri dan merencanakan politik tetapi ialah yang mempunyai kekuatan menentukan upacara itu harus dalam posisi "Lanjutkan, Laksanakan" atau sudah saatnya "Bubarkan".

Tugas seorang pembina upacara hanya ada tiga: Memimpin mengheningkan cipta, membacakan Pancasila, dan memberikan amanat. Mengheningkan cipta untuk menghormati yang telah tiada. Membacakan Pancasila untuk diikuti, tidak hanya didengar dan ditirukan, seluruh peserta upacara, tidak hanya pasukan tetapi juga seluruh petugas termasuk pemimpin upacara. Memberikan amanat agar seluruh peserta upacara belajar dari masa lalu untuk memperbaiki hari ini dalam rangka menyongsong masa depan yang gilang-gemilang. Di atas keluhuran budi dan kemuliaan tugasnya, ia sadar bahwa yang sebenar-benarnya mengatur jalannya upacara adalah pembawa acara. Dan sebaik-baik pembawa acara adalah Sang Pemilik Segala Rencana, Tuhan Yang Maha Esa.

Sekarang ini, di tengah riuhnya persaingan politik yang saling sikut, saling sikat, saling tendang antar sesama hanya untuk mencari pemimpin upacara, di manakah sang pembina? Pembina upacara yang mengingatkan kita bahwa ada Tuhan di atas segala-galanya? 

Di bawah terik matahari yang begitu menyengat, sebuah upacara bendera sedang dijalankan dengan penuh khidmat. Hari itu, 17 Agustus 1950. Hari ketika Tuhan masih menyertai kita.

 

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB