x

Ilustrasi Kecerdasan Buatan. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

Geza Bayu Santoso

Philosophy Student, Faculty of Ushuluddin and Islamic Thought, State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bergabung Sejak: 26 April 2023

Kamis, 21 September 2023 07:06 WIB

Slow Living Dunia Pendidikan Menghadapi Ancaman Kecerdasan Buatan

Open AI dan rentetan pragmatisme yang dihadirkan, banyak dibicarakan karena berpotensi mengikis eksistensi manusia, menciptakan perubahan yang masif dalam tata sosial. Catatan ini mengajak pembaca untuk slow living saja dengan ancaman ancaman yang dihadirkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mari kita sepakati bersama bahwa Chat GPT yang masif kita bicarakan modern ini dilahirkan untuk kebermanfaatan, kemudahan manusia, dan efesiensi kerja. Kecemasan terhadap adanya Open AI adalah hal yang lumrah. Namun, jangan sampai kecemasan ini membawa kita dalam kekhawatiran yang berlebihan. Tahun 1980-an, Indonesia dikejutkan dengan hadirnya komputer, masyarakat merasa terancam. Tapi solusinya? ya kursus komputer dan berdamai dengannya.

Open AI resmi didirikan pada bulan Desember 2015, perkembangannya luar bisa mengejutkan, per akhir Januari 2023 saja, sudah ada 100 juta orang yang mengakses. Produk kecerdasan ini terus tersebar luas dan akhirnya masuk ke Indonesia, masyarakat cemas dan merasa terancam sebab Open AI menawarkan banyak sekali kemudahan. Sikap cemas memang tak salah, yang salah adalah cemas berlebih sambil terus menyalahkan kecerdasan buatan.

Disrupsi dan segenap instrumen kemajuan yang hadir, memang nampak menakutkan bagi kehidupan manusia, alasannya bukan karena teknologi itu sendiri, tapi karena pemahaman manusia yang masih dangkal. Kita perlu pengetahuan agar tak ketakutan, jika kita mampu memahami, maka tak akan ada lagi kecemasan yang menghantui. Kita akan leyeh-leyeh dengan kecerdasan buatan, menjadikannya teman untuk menunjang kehidupan, lalu mengoptimalisasi keberadaannya untuk manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hakikat Pendidikan dan Kecerdasan Buatan

Open AI bukanlah barang jadi, ia terus belajar dan bertransformasi, sejak awal pembuatan, Artificial Intelegence mengalami banyak perubahan. 2015 didirikan dengan tujuan mengembangkan kecerdasan buatan agar solid dan bermanfaat bagi manusia. 2018 Open AI merilis model pertama dari Chat GPT-1 yang mampu memahami dan menghasilkan teks, sampai tahun 2023 ini, Chat GPT telah mengalami banyak pertumbuhan hingga Chat GPT-4 yang lebih responsif dan terjamin keamanannya. 

Perkembangan teknologi AI memang banyak diragukan, katanya akan mengancam manusia, memperluas kesenjangan ekonomi, mempertebal matinya kepakaran, dehumanisasi, dan praktik curang dalam dunia akademik.  Lalu muncul pertanyaan besar. Apakah AI mampu menggantikan manusia? jawabannya tentu tidak, karena manusia memiliki keistimewaan yang tak tergantikan, hak istimewa itu adalah perasaan, AI tak akan pernah tahu bagaimana sesaknya menahan rindu.

Lalu apakah AI dan Chat GPT membantu manusia? jawabannya tentu membantu. Dan memang untuk itu Chat GPT diciptakan. Dhidan Tomy, Mahasiswa Planologi Institut Teknologi Sepuluh November yang baru saja menyelesaikan tugas akhirnya, ia mengaku menggunakan Chat GPT dalam menyelesaikan skripsi, namun bukan pada hal-hal substansial, ia menggunakan bantuan Chat GPT untuk membantu menyusun redaksi kepenulisan naskah. 

AS laksana, penulis yang banyak menjadi inspirasi penulis muda Indonesia, kapan hari mengunggah satu pengumuman kelas menulis dengan Chat GPT. Ini membuktikan bahwa kehadiran Chat GPT sesuai dengan tujuannya. Dengan bantuan kecerdasan buatan, penulis akan sangat dimudahkan. Kita bisa mencari inspirasi lewat Chat GPT, menjadikan teknologi sebagai asisten menulis yang sat set, dan menghemat waktu karena Chat GPT sangat responsif dengan perintah atau pertanyaan.

Lalu bagaimana jika Chat GPT ini digunakan akademisi untuk mempermudah kerja kepenulisan ilmiah dengan tujuan untuk  menggapai gelar secara instan. Maka jawabannya akan kembali kepada hakikat pendidikan yang kita yakini selama ini, bahwa pendidikan bukan hanya labelisasi gelar, transfer ilmu ke mahasiswa, atau tujuan pragmatis lain. Pendidikan adalah tentang menciptakan manusia yang berbudi luhur dan berkarakter..

Civitas akademika harus mampu beradaptasi dengan Chat GPT, bukan menjadikannya lawan, melainkan kawan yang “mempermudah” pekerjaan. Setiap hal baru pasti menghadirkan manfaat dan tantangan. Ketimbang terus mengutuk kecerdasan buatan sebagai keniscayaan zaman, memanfaatkan Open AI dan Chat GPT nampaknya jauh lebih menyenangkan. Tentu dengan terus memperhatikan regulasi dan asesmen yang telah disepakati.

AI dan Pembajakan Nalar Kritis

”Kita mendesain teknologi dan teknologi, pada gilirannya, mendesain kita,” kata ”tech emotionographer” Pamela Pavliscak. Dalam perjalanannya, AI memang menjadikan manusia sebagai data, menggerus peradaban manusia dan mendegradasi kualitasnya. Kekhawatiran dari adanya kecerdasan buatan adalah terciptanya manusia instan, pragmatis, dan tak mau lagi berpikir kritis. Memang ada benarnya, tapi tak seutuhnya tepat.

Nalar kritis adalah kemampuan manusia untuk berpikir mendalam, rasional, dan sistematis. Berpikir kritis digunakan untuk menganalisis, menilai, dan memahami informasi dengan komprehensif. Melibatkan penggunaan logika, penilaian objektif, dan pertimbangan rasa dalam membuat keputusan atau mencapai kesimpulan.  Uraian yang baru anda baca, adalah narasi hasil Chat GPT yang telah saya rubah beberapa penggalan katanya. 

Apakah saya merasa nalar kritis saya telah dibajak oleh Chat GPT? tentu tidak. Saya justru terbantu dengan adanya sistem interaksi ini. Memang sangat cepat dan instan, kita dibantu untuk menganalisa informasi, diberikan saran, dan keluasaan untuk mengembangkan narasi dari Chat GPT. Namun, secara subjektif, saya merasa bahwa AI tak akan pernah membajak nalar kritis manusia, asalkan, manusia itu sendiri terus mau dan mampu meragukan apa saja yang direkomendasikan Chat GPT.

Mari kita kembali pada pernyataan diawal, bahwa kita adalah yang mendesain algoritma lalu didesain ulang oleh algoritma. Chat GPT bekerja dengan 3 proses pelatihan. Ia mengumpulkan data dari situs web di internet. Lalu masuk ke  proses pembersihan data untuk menghilangkan informasi yang tidak relevan sekaligus mengamankan data pribadi. Terakhir, pelatihan model, data yang telah dikumpulkan bakal melibatkan mesin untuk memahami pola bahasa dan pengetahuan dari data yang ada.

Bisa kita simpulkan bahwa apa yang disuguhkan Chat GPT adalah akumulasi data yang sumbernya dari manusia. Kecerdasan buatan dengan mesinnya hanya mengolah dan merekomendasikan kita melalui interaksi instan. Sederhananya, manusia dan kecerdasan buatan sama-sama sedang belajar dan terus berkesinambungan. Matinya nalar kritis manusia tak ditentukan oleh kecerdasan buatan, melainkan hanya bisa dimatikan oleh manusia itu sendiri.

Kita akan terus berdampingan dengan kecerdasan buatan. AI hadir satu paket berisi tantangan dan manfaat. Sebagai mahasiswa, sudah seyogianya kita menggunakan segala bentuk kecerdasan buatan dengan  bijaksana. Penuh kesadaran akan tantangan yang dihadirkan. Regulasi menjadi penting agar praktik akademik tak kelewatan dalam menggunakan AI,  tetap humanis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan adalah sebaik-baiknya jalan saat menggunakan kecerdasan buatan.

 








Ikuti tulisan menarik Geza Bayu Santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB