x

Presiden Joko Widodo atau Jokowi melakukan selfie bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat panen raya di Kebumen, Jawa Tengah. Sumber Biro Pers Istana Kepresidenan

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Sabtu, 23 September 2023 07:55 WIB

Dua Poros Koalisi, Premis untuk Menghadang Anies Baswedan?

Mencuatnya kembali isu dua poros koalisi Pilpres mengonfirmasi keinginan agar piplres hanya diikuti dua paslon yang sama-sama pro status quo. Ini tidak terlepas dari kehadiran pasangan Anies-Cak Imin di arena pertunjukan prakandidasi. Benarkah wacana menyatukan dua poros pro status quo itu adalah premis kedua untuk menghadang laju Anies di kontestasi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari lalu Ganjar Pranowo menyebut ada peluang berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 mendatang. Pernyataan ini disampaikannya kepada para jurnalis di Gedung High End, Menteng, Jakarta Pusat.

Sebelumnya Jazilul Fawaid (Waketum PKB) juga melontarkan pernyataan perihal kemungkinan hanya akan ada dua pasangan capres-sCawapres dalam pertarungan di Pilpres 2024. Kedua pasangan ini adalah Anies-Cak Imin yang terbukti sudah paling siap mendaftar ke KPU dan pasangan yang diprediksi hasil bauran poros Ganjar-PDIP dan Prabowo-KIM.

Pasangan Anies-Cak Imin merepresentasikan semangat perubahan sesuai tagline poros ini. Pasangan bauran mewakili semangat keberlanjutan (status quo), meneruskan model dan garis kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Formasinya bisa Ganjar-Prabowo atau Prabowo-Ganjar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi di Panggung Belakang

Pernyataan Ganjar dan Jazilul menarik dicermati. Keduanya seperti mengonfirmasi, bahwa di panggung belakang prakandidasi tampaknya memang masih terus berlangsung komunikasi intens untuk mengikhtiarkan terwujudnya skenario elektoral seperti yang beberapa waktu lalu diduga dikehendaki istana. Bahwa Pilpres 2024 cukup diikuti oleh dua pasangan calon.

Kedua pasangan calon itu tentu saja harus yang merepresentasikan poros semangat keberlanjutan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Untuk mewujudkan harapan ini bahan dasarnya sudah tersedia : Prabowo dan Ganjar.

Masalahnya kemudian ini menjadi tidak mudah karena terkendala beberapa alasan berikut. Pertama, di satu sisi PDIP sebagai satu-satunya partai di parlemen yang dapat mengajukan pasangan calon sendiri tanpa harus berkoalisi sejak awal sudah mematok target: posisi Capres harus dari PDIP. Dan Ganjar kemudian terpilih (sementara) untuk mewujudkan target ini.

Posisi bakal Cawapres dikompromikan antara pihak istana (Jokowi) dan Megawati. Dan Prabowo tampaknya sempat disepakati oleh keduanya untuk disiapkan sebagai pendamping Ganjar.

Kedua, sayangnya, Prabowo dan Gerindra juga sudah mematok target sendiri: dirinya harus maju sebagai bakal Capres sesuai amanat partai, bukan sebagai Cawapres. Ini pernah secara tersirat diungkapkan langsung kepada publik oleh Prabowo dalam satu kesempatan beberapa bulan lalu setelah PDIP mendeklarasikan pencalonan Ganjar. Mentok sudah peluang memaketkan Ganjar-Prabowo.

Ketiga, pada saat yang sama sebagimana nampak dalam berbagai momen, Jokowi, alih-alih mengupayakan Prabowo untuk bersedia menjadi pendamping Ganjar, ia justru kerap menunjukan kemesraan dengan dan endorsementnya pada Prabowo dalam posisi sebagai bakal Capres. Makin mentok upaya memaketkan Ganjar-Prabowo.

Tetapi syahwat untuk tetap menghadirkan Pilpres 2024 yang diikuti oleh hanya dua pasangan calon diam-diam tampaknya terus hidup di panggung belakang. Terlebih lagi ketika poros KPP, bukan hanya tak bisa dibendung arus derasnya. Tetapi bahkan sudah bergerak cepat dengan mendeklarasikan Cak Imin sebagai pendamping Anies, dan saat ini terus mendapat perhatian publik di berbagai platform media.  

Nampaknya panggung belakang politik pencapresan saat ini sedang sibuk mengalkulasi peluang dan opsi-opsi terbaik yang harus diambil untuk menghadang laju cepat Anies-Cak Imin di kontestasi nanti. Menghadang bukan lagi di fase kandidasi karena poros KPP sudah clear dan menyatakan bakal menjadi pendaftar pertama ke KPU Oktober nanti.

Suara elektoral mereka sudah jauh melampaui syarat minimal pencalonan terutama setelah PKS mendeklarasikan dukungannya terhadap Anies-Cak Imin. Simultan dengan gerak cepat konsolidasi ini, basis massa yang menjadi andalan KPP juga kian rajin dan bergairah merapatakan barisan, terutama di sebagian akar rumput Nahdliyin dan kader-kader militant PKS dan Nasdem.

 

Status Quo vs Perubahan

Kembali ke isu dua poros Pilpres 2024. Jazilul dengan optimis menyatakan bahwa salah satu poros itu adalah KPP-Anies-Cak Imin. Pertanyaannya kemudian apakah yang akan menjadi “poros kedua" yang dimaksud nanti itu pasangan calon atau posisi politik elektoral ?

Jika yang dimaksud adalah pasangan calon, hemat saya bakal sulit diwujudkan kecuali salah satu kubu dari PDIP-Ganjar atau Prabowo-KIM mau mengalah dan bersedia menjadi bakal Cawapres. Dan jika kesepakatan di panggung belakang dicapai, bahwa salah satu diantara mereka akhirnya mengalah, besar kemungkinan Prabowo yang bakal menjadi bakal Capres dan Ganjar pendampingnya.

Alasannya simpel. Pertama Prabowo unggul elektabilitas menurut hampir semua lembaga survei. Kedua Prabowo ketua partai besar dan didukung oleh lebih banyak anggota koalisi. Ketiga, Jokowi sendiri nampaknya lebih merasa “cocok dan nyaman” jika Prabowo yang Capres, Ganjar cukuplah jadi Cawapres. Keempat, boleh jadi juga, Megawati sendiri akhirnya merasa harus mengalah dan sepakat dengan opsi Prabowo-Ganjar. Terpenting pasangan ini memenangi Pilpres, yang dengan demikian PDIP bakal tetap berada di dalam pemerintahan.

Oleh sebab itu, saya melihat merebaknya kembali isu tentang dua poros ini lebih ke aspek posisi politik elektoral. Satu posisi ada di barisan perubahan dan itu direpresentasikan oleh Anies-Cak Imin, satu lagi di posisi keberlanjutan (status quo?) dan ini direpresentasikan oleh Prabowo-KIM dan Ganjar-PDIP. Artinya pasangan bakal Capres-Cawapres bakal tetap akan ada tiga bakal pasang calon yang mendaftar ke KPU.

Namun demikian, dua poros yang dianggap merepresentasikan keinginan istana melanjutkan arah kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tetap masih berpeluang “menjadi satu”. Yakni manakala Pilpres harus berlangsung dua putaran dan salah satu diantara kedua poros pro-pemerintah saat ini tumbang di putaran pertama. Saat itulah nanti mereka akan melebur dalam satu poros dan menghadang laju Anies-Cak Imin di putaran kedua.

Jadi, isu dua poros koalisi yang kembali mencuat ke ruang publik nampaknya mengonfirmasi bahwa premis awal pencapresan masih tetap hidup. Bahwa Pilpres harus diikuti oleh dua Paslon saja; keduanya merepresentasikan pilihan politik keberlanjutan. Maka poros manapun yang menang, itu adalah kemenangan status quo.

Ketika premis awal tersebut terkendala diwujudkan karena sejumlah alasan seperti diuraikan di depan, maka premis kedua terpaksa dikedepankan. Satukan dua poros pro statuq quo (Prabowo-KIM dan Ganjar-PDIP), bangun kekuatan gigantis elektoral, koalisi tambun superduper. Karena hanya dengan cara demikian Anies-Cak Imin bisa ditumbangkan.  

Penulis Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT)

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu