x

Warga Pulau Rempang. Foto: Sigid Kurniawan/Antara

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Selasa, 26 September 2023 12:06 WIB

Bukan Kaulah Tanahku, Tapi Aku Manusiamu

Rempang Eco-City dan proyek-proyek sejenis menilai secara salah relasi antara manusia dengan tanah. Di dunia materialistis ini, mereka anggap semua hal adalah komoditi. Mereka merasa memiliki setiap jengkal bumi, sedangkan bumi oleh masyarakat adat disebut ibu pertiwi, yang memiliki bukan dimiliki.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyaknya kasus konfik tanah serupa yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau menuntut kita untuk mendefinisikan ulang batas-batas kepemilikan privat dan kepemilikan publik. Batas-batas tersebut mengalami pergeseran seiring dengan bergesernya pengertian "kepentingan publik" dan "proyek nasional" yang melahirkan sebuah pertanyaan mendasar, sebenarnya apa yang dimaksud "tanah negara"?

Menyoal definisi dalam lingkup kenegaraan tidak dapat dilakukan tanpa menyoal definisi dalam konstitusi. Konstitusi pertama yang menyebut soal tanah adalah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Ayat tersebut mencakup dua hal penting. Pertama, negara memperoleh suatu hak bernama hak menguasai. Hak menguasai ini adalah satu-satunya hak kebendaan yang secara tertulis diberikan oleh konstitusi kepada negara. Kedua, hak tersebut digunakan semata-mata untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tanah Adat

Lalu darimanakah konsep hak menguasai ini diambil? Dalam risalah penyusunan UUD 1945, konsep hak menguasai ini diambil dari hukum adat. Sesuai hukum adat, seorang individu beserta harta bendanya merupakan hal yang terpisahkan dari lingkungan sekitarnya. Hukum adatlah yang pertama kali mengenal konsep kepemilikan kolektif. Benda benda seperti tanah, air sumur, rumput untuk makanan ternak serta ilmu pengetahuan adalah milik bersama. Walaupun hukum adat mengakui hak milik individu atas benda, hukum ini lebih mengutamakan kepentingan bersama dan fungsi sosial atas benda tersebut.

Proses penyusunan UUD 1945 ini kental dengan pemikiran negara integral ala Supomo, yaitu menyamakan antara negara dengan rakyat yang bermuara pada konsepsi bahwa segala kepentingan negara adalah kepentingan rakyat. Dan sampai titik ini Supomo benar. Kepentingan rakyat harus mewujud menjadi kepentingan negara, bukan pemerintah. Namun, karena di negara ini batas-batas kenegaraan dan pemerintahan cukup rancu, akuntabilitas dari penyelenggaraan kepentingan rakyat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara jelas. Sesuai Pasal 33 ayat (3) tadi, pemerintah diasumsikan sebagai entitas tunggal yang selalu memiliki kebaikan dan kebijaksanaan dalam menggunakan hak-hak yang dimilikinya demi kemakmuran rakyat. Karena asumsi "demi rakyat" itu pula, seringkali pemerintah mengatasnamakan negara dalam membuat proyek-proyek pembangunan agar tidak dapat dikritisi. Seolah-olah, sebab negara itu baik, maka proyek pemerintah pasti baiknya. Seakan-akan, karena tujuan negara adalah rakyat makmur, maka proyek pemerintah pasti memakmurkan. Dan politik atas nama ini dipakai antara lain dalam urusan tanah.

Sudut pandang ini diterapkan dalam menafsirkan frasa "dikuasai oleh negara" alias hak menguasai menjadi "dimiliki oleh negara" alias hak milik atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Penafsiran secara keliru ini tidak terlepas dari pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1870, pemerintah saat itu menerapkan peraturan bidang agraria (agrarisch belsuit) salah satunya hak milik negara atas tanah (domein verklaring). Skema ini sengaja dibuat karena saat itu harga industri komersial (seperti: perkebunan tembakau, tebu, teh dan kopi) sedang melonjak naik sehingga penguasaan negara atas tanah tak bertuan diperlukan untuk meningkatkan laju perekonomian.

Dengan memiliki landasan hukum seperti itu, pemerintah Hindia Belanda secara otomatis menjadi pemegang hak milik atas tanah-tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan tertulis sesuai hukum Belanda. Padahal sejak awal yang namanya tanah adat itu, yang notabene dimiliki secara komunal, memang tidak memiliki bukti tertulis. Dampak yang terjadi adalah pemerintah Hindia Belanda melakukan klaim sepihak atas kepemilikan tanah adat yang selanjutnya dialihfungsi menjadi lahan perkebunan dan lahan industri komersial lainnya.

Konsep penghisapan sumberdaya seperti ini jelas ditolak oleh UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 ayat (2) UU Pokok Agraria membuat gagasan mengenai "hak menguasai" dalam UUD 1945 menjadi lebih terang yaitu: 

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Baca ulang dan perhatikan baik-baik, tidak ada kata "memiliki" disana.

Akan tetapi, lain orang lain pula ceritanya. Sejak Presiden Soekarno lengser, pemerintahan Presiden Soeharto memandang tanah adalah modal utama pembangunan. Cara pandang ini mengulang kembali cara pandang ala pemerintah kolonial. Misalnya, konsep kepemilikan dalam UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Undang-Undang Kehutanan mengakui adanya "hutan negara" yang berarti hutan milik negara atas area hutan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya secara privat. Tak kalah, skema pengadaan tanah dengan metode pembebasan lahan untuk kepentingan umum juga tidak kunjung menemukan batasnya yang jelas. Hal ini dapat disaksikan sendiri bahwa setiap proyek pembebasan lahan seolah-olah beres dengan ganti rugi. Ketidakjelasan pengertian kepentingan umum seperti, yang dimaksud "umum" itu siapa? Apakah setiap kepentingan umum itu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Jika iya, apa indikator dan tolok ukurnya?, dan berbagai pertanyaan sejenis belum mampu terjawab hingga kini.

Hal ini tidak jauh beda dengan era pemerintahan Presiden Jokowi. Sebuah proyek yang menjadi wadah pembangunan dibentuk dengan nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Setiap proyek besar yang masuk ke dalam PSN mendapatkan keistimewaan penuh. Dari percepatan perizinan sampai dengan kemudahan pengadaan tanah. Namun yang disayangkan, dengan banyaknya benturan kepentingan antar pejabat dan pengusaha, proyek dalam daftar PSN dapat diubah kapan saja. Contohnya, proyek Rempang Eco-City yang secara tiba-tiba masuk ke daftar PSN seusai diubah oleh Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto melalui Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 meski ditentang oleh masyarakat adat.

Susahnya birokrasi dan mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan masyarakat untuk membuat sertipikat tanah yang melegalkan kepemilikan tanahnya berbanding 180 derajat dengan kemudahan fasilitas yang diterima pemilik proyek dalam mendapatkan hak atas tanah. Maka seperti sekarang ini, yang terjadi di lapangan adalah selembar kertas kepunyaan pemilik proyek, yang bahkan tidak pernah menjejakkan kakinya ke tanah tersebut, dianggap lebih kuat daripada kehidupan nyata warga yang menghuni dan mengolah tanah  itu selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Penggusuran warga tak bersertipikat kerap dilakukan demi dan atas nama "kepentingan umum". Mungkin karena target pemerintah adalah penyelesaian proyek, bukan dampak yang akan terjadi di lingkungan sekitar proyek. Agenda pemerintah adalah rapat kerja dengan investor, bukan dialog manusiawi yang lazimnya dilakukan antar manusia, dengan rakyat yang mungkin terdampak proyek. Selalu saja disebutkan bahwa ganti rugi telah disediakan maka masyarakat harus mau direlokasi. Tampaknya, pemerintah telah salah menilai. Mereka mengira relasi antara manusia dan tanah itu sesederhana hubungan jual beli. Mereka tidak tahu bahwa di mata masyarakat, khususnya masyarakat adat, hubungan dengan tanah adalah relasi kehidupan. Tanahlah yang memberi hidup kepada mereka. Tanah yang memiliki mereka, bukan sebaliknya.

Konfik atas tanah seperti ini adalah konflik sejarah tertua di benua Amerika. Perang antar suku Indian dan para pendatang berawal ketika para pendatang itu berniat untuk membeli tanah adat milik suku Apache, Navajo dan Sioux. Tanah di mata suku-suku Indian tersebut adalah serupa dengan sosok ibu. Berniat membeli tanah adat sama saja dengan menyuruh mereka menjual ibu-ibu mereka. Jelas, hal itu memicu kemarahan. Dan atas alasan kehormatan itu pula mereka angkat senjata dan berperang. "Bagaimana aku menjual tanah sedangkan tanahlah yang memiliki aku, bukan aku yang memilikinya?", teriak pejuang diantara mereka.

Maka pengertian hak menguasai, harus dikembalikan kepada pengertian menurut Undang-Undang Pokok Agraria yaitu : tidak ada hak milik negara atas tanah. Negara sebatas pengatur, pemelihara dan penentu relasi hukum. Negara harus menjadi pengatur hak-hak atas tanah yang tidak seimbang, bukan menjadi pemilik tanah yang membagi-bagikan lahan untuk investor. Negara harus menjadi pemelihara tanah-tanah adat, menghormati dan menjaga mesyarakat yang bermukim diatasnya. Dan negaralah yang menentukan relasi hukum atas tanah yang menegaskan tanah ini milik siapa dan akan dipergunakan untuk apa. Kepentingan umum bukanlah atas nama untuk melegalkan perbuatan inkonstitusional yang merenggut hak-hak individual seperti kesejahteraan lahir dan batin, mendapatkan tempat tinggal dan mendapatkan lingkungan untuk hidup layak dan sehat.

Tiadanya sertipikat tidak boleh diartikan untuk meniadakan hak bertempat tinggalnya seseorang dengan melakukan penggusuran. Mengingat pada mulanya memang tidak ada sertipikat untuk tanah adat, maka tugas negaralah untuk memudahkan masyarakat adat untuk mendapatkan bukti kepemilikan hak atas tanahnya. Baik secara individual maupun komunal.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu