x

dari pixabay.com

Iklan

Yogi Gumilar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 September 2023

Minggu, 1 Oktober 2023 09:12 WIB

Di Desa Bribury di Tepi Sungai Coln

Hingga akhirnya capung-capung itu kembali ke sungai Coln dan bertemu kembali dengan kawan dan kekasih mereka. Lalu mereka mati, meninggalkan kenangan singkat tentang kehidupan mereka. Bukan kehidupan yang sebentar, tapi cinta yang memang datang hanya untuk sementara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di desa Bribury di tepi sungai Coln pada setiap pergantian musim, akan ada capung-capung jingga yang datang beterbangan tak beraturan. Sebagian capung itu terbang di atas daun-daun ilalang yang tinggi dan tajam, sebagian di atas sungai, dan sebagian lainnya terbang mengelilingi pepohonan oak di sana. Entah mengapa capung-capung itu hanya datang ketika senja. Seolah mereka memang telah berjanji untuk bertemu di sungai Coln, untuk bertegur sapa dan bercanda bersama capung-capung lainnya.

Di desa Bribury di tepi sungai Coln, sore itu angin bertiup cukup kencang. Daun-daun ilalang dan ranting dari pohon oak yang berada di sana bergerak lirih. Awan-awan besar terdorong hingga matahari senja dapat muncul dan menghangatkan siapapun yang melihatnya. Namun hal itu tidak sedikitpun mengusik keberadaan capung-capung jingga yang sore itu berada di sana. Mereka tetap beterbangan di sekitar sungai. Beberapa hinggap sementara di sebuah daun dan di permukaan sungai. Jumlah merekapun terus bertambah seiring sore yang semakin temaram.

Dan di desa Bribury di tepi sungai Coln, bukan hanya capung-capung saja yang datang untuk bertemu ketika senja. Hari itu sepasang kekasih juga kini sedang berada di sana. Mereka berjanji untuk bertemu pada sore itu. Untuk bertegur sapa, duduk menyilangkan kaki di rerumputan khas desa Bribury, memandangi pemandangan yang tersaji di sekitar sungai Coln yang mengalir menuju timur, dan juga melepas rindu tentu saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Capung-capung itu selalu muncul jika kita datang,” ujar sang perempuan.

“Mungkin mereka juga datang untuk memadu kasih seperti kita berdua,” sang lelaki menjawab.

“Benarkah? Kudengar capung hanya hidup dalam hitungan hari saja. Sungguh hidup yang sangat singkat.”

“Maka mungkin mereka sekarang sedang memanfaatkan sisa waktu yang sebentar itu untuk berjumpa kembali dengan kekasih mereka pada senja seperti ini.”

“Tidakkah itu romantis?”

“Itu ironis,” jawab sang lelaki, tegas.

Seperti halnya di kisah-kisah cinta yang ada, setiap pasang kekasih selalu memiliki perbedaannya masing-masing. Seperti di suatu romansa klasik terkenal, dimana seorang putri bangsawan yang jatuh cinta pada seorang lelaki dari kalangan rakyat jelata biasa. Namun hubungan mereka ditentang oleh keluarga karena dianggap tak layak untuk disandingkan. Hingga akhirnya sepasang kekasih tersebut memilih untuk mengakhiri kisah mereka dengan cara bunuh diri.

Lalu ada juga sebuah kisah romansa modern yang mengisahkan cinta segitiga antara tiga wujud makhluk yang berbeda yaitu hantu, serigala serta seorang manusia. Kisah ini berakhir cukup manis dengan sebuah pengorbanan cinta yang diberikan sang serigala sementara sang hantu berhasil memenangankan cintanya dan hidup bahagia selamanya dengan sang manusia.

Begitu juga bagi sepasang kekasih yang sedang berada di tepi sungai Coln sore itu. Mereka juga kerap kali bertengkar untuk hal-hal sepele. Pakaian yang tidak serasi, selera makanan yang tidak sama, ketertarikan musik yang berlainan, atau bahkan kata-kata yang sering dimaknai berbeda hingga berujung kesalah pahaman. Walau begitu sepasang kekasih itu masih memiliki berbagai kesamaan untuk hal lainnya, termasuk untuk bertemu pada waktu senja hari itu di tepi sungai Coln. Sama seperti capung-capung yang datang sore itu.

“Aku tidak pernah tahu, jenis capung apa mereka.”

“Mungkin mereka capung senja, lihatlah warnanya, sama seperti senja.”

“Hidup mereka juga singkat, sama seperti senja.”

“Dan mereka datang pada waktu senja.”

Selalu tentang senja.

*

Di desa Bribury di tepi sungai Coln, di atas daun-daun ilalang yang tajam dan tinggi, capung-capung tersebut masih beterbangan tak beraturan. Hembusan angin sedikit melambat. Suara aliran sungai dan kepakan sayap capung-capung yang berterbangan mengiringi kesunyian yang beberapa kali datang diantara sepasang kekasih itu. Senja belum sepenuhnya hilang. Sinar matahari masih tersisa dari balik awan dan ujung barat langit. Sepasang kekasih itu juga masih berada di sana, masih memandangi sungai Coln yang mengalir lirih. Sesekali juga memperhatikan pohon-pohon oak yang berdiri di seberangnya.

“Kira-kira, kemana capung-capung itu akan pergi setelah senja hilang?” tanya sang lelaki untuk memecah keheningan.

“Mungkin saja mereka sudah mati?”

“Benarkah secepat itu? Tidakkah mereka memiliki rumah? Mungkin di pepohonan oak di seberang sungai itu?”

“Kurasa aku tidak pernah melihat seekor capung terbang di sekitar pohon oak.”

“Mungkin rumah mereka memang di sini.”

“Rumah yang begitu indah.”

Mungkin benar kata sang perempuan, rumah para capung itu memang berada di tepi sungai Coln. Mereka baru saja tiba dari perjalanannya mencari makan. Beberapa pergi ke hutan, beberapa lagi juga ada yang mendatangi rumah seorang manusia dan menemukan sesuatu yang menyenangkan di sana. Hingga akhirnya capung-capung itu kembali ke sungai Coln dan bertemu kembali dengan kawan dan kekasih mereka. Lalu mereka mati, meninggalkan kenangan singkat tentang kehidupan mereka. Seperti sebuah kenangan singkat yang juga dimiliki oleh sepasang kekasih yang bertemu di sungai Coln hari itu.

*

Kini di desa Bribury di tepi sungai Coln, senjanya hampir hilang. Jumlah capung-capung yang beterbangan mulai berkurang. Suara air dari sungai yang mengalir menjadi terdengar lebih jelas. Salah satu dari capung jingga itu terbang mendekat dan hinggap di pundak sang perempuan. Sejenak sepasang kekasih itu terdiam memperhatikan capung tersebut. Tak lama capung itu terbang perlahan, diikuti oleh pandangan sepasang kekasih tersebut. Capung itu terbang menuju barat senja, ditelan batas horizon antara langit dan ujung sungai Coln yang kian sunyi. Hinga akhirnya tanpa disadari, semua capung di sana menghilang, dan malam perlahan datang menyelimuti.

“Jika hidupmu hanya bertahan sebentar seperti capung-capung itu, dengan siapa kau akan menghabiskan waktu senjamu?” tanya sang lelaki.

“Pastinya tidak denganmu,” jawab sang perempuan, lirih.

“Kenapa?”

“Bukan kehidupan yang sebentar, tapi cinta yang memang datang hanya untuk sementara.”

“Jadi itulah mengapa kau menikah dengannya?”

“Ya, tentu saja.”

***

Ikuti tulisan menarik Yogi Gumilar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu