x

Foto: jcomp/Freepik

Iklan

Ajie Prasetya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Oktober 2020

Jumat, 6 Oktober 2023 13:13 WIB

Hadapi Bersama Bumi yang Makin Mendidih Ini

Dalam masa pendidihan global ini, diperlukan cara untuk membangun kepedulian masyarakat terutama guna melewati masa-masa krisis iklim yang berada di depan mata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terik panas kita rasakan dalam beberapa waktu terakhir. Cuaca yang begitu menyengat, ditambah polusi yang terjadi dimana-mana. Semua merupakan persoalan besar dan dirasakan oleh berbagai masyarakat di belahan dunia. Terkhusus, di wilayah Indonesia di mana peristiwa kebakaran hutan, gagal panen, kesulitan air bersih, dan pelbagai masalah lain mengalami tren peningkatan. 

Hal ini bukan tanpa alasan. Menurut rilis PBB, bumi sudah memasuki fase pendidihan global. Sebuah hal yang bermakna bahwa tingkat suhu bumi berada di fase terpanas sepanjang sejarah. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres mengatakan saat ini dunia berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global. 

Dia memperingatkan bahwa era pemanasan global telah berakhir dan era pendidihan global telah tiba. Hal ini ditandakan dengan kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celcius dan angka ini merupakan yang tertinggi di atas tingkat pra-industri. Dia menambahkan bahwa keadaan sekarang mungkin hanya bagian dari permulaan saja, bukan akhir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dampak dari pendidihan ini sangat besar, seperti yang terjadi di Antartika. Ditemukan spesies tumbuhan. Tentunya kabar baik, namun menjadi pertanda bahaya bahwa es yang berada di sana mencair dan akan menambah debit air laut sehingga akan mengancam wilayah-wilayah kepulauan.

Lainnya, ada lumba-lumba endemik Amerika Selatan di Sungai Amazon yang mati. Kematian ini bukan hanya berjumlah satu atau dua, akan tetapi ratusan ekor. Dugaan terbesar menurut para ilmuwan bahwa para lumba-lumba tersebut mati dikarenakan suhu permukaan sungai yang semakin panas. 

Era mendidih yang terjadi merupakan dampak lanjutan dari berbagai aktivitas manusia di muka bumi. Emisi rumah kaca, polusi, penggundulan hutan, dan lainnya menjadi sebab utama dari kerusakan.

Mengutip pidato Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045. Perubahan iklim memang sangat dirasakan di Indonesia. Dalam penuturannya, estimasi kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh bencana yang didominasi bencana hidrometeorologi ini mencapai Rp22,8 triliun per tahun dan telah menimbulkan korban jiwa hingga 1.183 orang dalam sepuluh tahun terakhir,

Begitu dahsyatnya ancaman ini. Krisis iklim bukan mitos belaka. Namun, setidaknya kita bisa mengusahakan dan menjadi pemelihara di muka bumi dengan lebih bijak dan tidak ugal-ugalan. Pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, membangun kembali zona hijau, dan serangkaian kegiatan dalam memelihara bumi bisa menjadi langkah yang baik serta memberikan dampak positif di lingkungan sekitar. 

Regulasi pun perlu didorong untuk memihak agenda iklim. Krisis iklim yang ada di depan mata tidak bisa hanya saling menyalahkan satu dengan lainnya. Semua harus bergandengan tangan, melangkah bersama untuk melewati ini semua. Pemerintah dan berbagai pihak harus bersinergi dalam mengkampanyekan tentang krisis iklim. Terlebih menyebarluasan informasi melalui tokoh agama.

Bukan tanpa alasan melibatkan tokoh agama. Dalam sebuah rilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2018 lalu menyebutkan bahwa tokoh agama –ulama, pastor, biksu, dan lainnya- adalah profesi yang paling didengar imbauannya oleh publik (51,7 persen). Hal ini berkaitan erat dengan survei YouGove, perusahaan analitik data di Inggris, sebagai bagian dari Proyek Globalisme YouGov-Cambridge dan The Guardian. Survei ini dilakukan di 23 negara dan hasilnya menyebutkan bahwa Indonesia merupakan peringkat pertama yang masyarakatnya tidak percaya pemanasan global dipicu oleh manusia. 

Untuk itu perlu penyebarluasan informasi tentang hal ini bahwa manusia juga memiliki andil dalam terjadinya kerusakan iklim. Pesan ini perlu disampaikan melalui banyak media dan mimbar-mimbar keagamaan. Pernyataan senada dengan pendapat ulama tersohor, Quraish Shihab, dalam Konferensi Agama dan Perubahan Iklim Asia Tenggara pada 4 Oktober 2023 lalu bahwa hukum agama untuk kewajiban memelihara lingkungan, hukum pencemaran lingkungan juga sudah jelas, tidak memerlukan fatwa lagi. Hanya perlu penyebarluasan informasi. 

Dengan persebaran informasi yang masif, akan terbangun kepedulian di tengah masyarakat. Kita harus optimis dan kuat dalam melewati masa-masa sulit ini. Oleh karena itu, mari saling jaga dan peduli akan sesama. Semoga krisis iklim yang terjadi bisa terlewati oleh kita semua.

Ikuti tulisan menarik Ajie Prasetya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu