x

Pemandangan indah Kota Solok, Sumatera Barat, berlatar Gunung Talang, sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9a/DPRD_Kota_Solok.jpg

Iklan

Harsa Permata

Alumni Filsafat UGM, Dosen Di berbagai perguruan tinggi Di Yogyakarta
Bergabung Sejak: 4 Oktober 2023

Senin, 16 Oktober 2023 12:22 WIB

Usman dan Kampuang

Di hari-hari berikutnya, Usman mulai banyak berubah, kata-kata umpatan khas "kampuang", yang belum pernah didengarnya di Medan, mulai coba diucapkannya kepada orang lain. Pernah sekali kata-kata itu terlompat dari mulutnya kepada ayahnya, hal yang membuat sebuah tamparan mendarat di mulutnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Potret Rumah Gadang

"Rindumu bukan hanya pada kampuang, Man, rindumu pada orang-orang yang pernah kau temui, ketika kau di kampuang pada masa lalu". Begitu kata Usman pada dirinya sendiri. Teringat olehnya, ketika pertama kali ia datang di "Kampuang", suatu kota kecil, yang sebenarnya bukanlah tempat asal leluhurnya, atau kampung dalam makna sebenarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kampuang", adalah kota tempat ia bertumbuh, kota yang awalnya ia benci, sampai ke luar dari sana pun, ia masih membencinya. Kota yang terkenal dengan kebengalan masyarakatnya. Kota yang orang-orangnya suka mencemooh, tak peduli siapapun dia. "Ketek bagala, gadang banamo" (kecil memiliki julukan, besar memiliki nama), pepatah itu yang sering ia dengar di kota itu.

Kota yang orang-orangnya selalu ia ragukan ketulusannya. Kota tempat ia berubah dari seorang anak penurut, menjadi pemberontak tanpa arah. Entah mengapa, apakah karena rasa benci, ia tidak bisa lagi, bahkan hanya untuk sekedar melihat aspal di pasar raya kota, dan rumah gadang orang tuanya.

Hal yang sekarang sangat ia rindukan. Betapa tidak? Sebelas tahun bukanlah waktu yang sebentar, sebelas tahun yang sulit dilupakan. Tahun 1987, Usman, orang tua, dan adik-adiknya hijrah ke "Kampuang", dari kota Medan di Sumatera Utara. Di "Kampuang", yang merupakan sebuah kota kecil, Usman awalnya kebingungan harus bagaimana. Sehari sebelum masuk sekolah, ia sangat senang, membayangkan teman-teman baru yang akan ditemuinya. Sorenya sepulang sekolah, ia merasakan lelah yang teramat sangat. Ia pun tertidur lelap dibuatnya.

Di hari-hari berikutnya, Usman mulai banyak berubah, kata-kata umpatan khas "Kampuang", yang belum pernah didengarnya di Medan, mulai coba diucapkannya kepada orang lain. Pernah sekali kata-kata itu terlompat dari mulutnya kepada ayahnya, hal yang membuat sebuah tamparan mendarat di mulutnya.

Setelah setahun di rumah dinas, yang terletak di Simpang Rumbio (nama daerah di "Kampuang), ia dan keluarga lalu pindah ke rumah dinas, yang terletak di Lubuk Sikarah. Di sana, Usman dan keluarga tinggal di komplek perumahan para pegawai rumah sakit di "Kampuang". Pergaulan dengan berbagai anak kampung di sekitar komplek perumahan itu, membuat Usman menjadi semakin "Kampungan", kulitnya yang dulunya bersih, karena jarang main keluar rumah, berubah menjadi gelap dan kusam, karena berlumur debu dan terbakar matahari. Di komplek inilah, Usman mulai mengalami "kecurian", ya, ada sebagian kecil oknum dalam masyarakat kota kecil, atau "Kampuang" ini, tak segan-segan untuk mencuri barang milik orang lain. Sebenarnya tidak hanya di kota kecil ini, hampir seluruh daerah di sekitar "Kampuang", biasanya berisikan beberapa pencuri, walaupun memang tidak semuanya suka mencuri milik orang lain, karena itulah julukan "pancilok"/pencuri, selalu dilekatkan pada etnis utama penghuni "Kampuang" dan berbagai daerah di sekitarnya.

Selain itu, orang-orang di "Kampuang" ini juga menganut hukum rimba, yang kuat yang menang. Karena itu, tidak jarang, Usman harus berbaku pukul dengan orang lain. Budaya kekerasan ini, yang menyebabkan Usman, suatu kali, membuat murid baru yang badannya lebih besar daripadanya, menangis karena dipukul olehnya. Hal ini yang membuat Usman dan orang tuanya, dipanggil ke ruang kepala sekolah, untuk membahas kenakalannya.

Ketika SMP, yang terjadi malah sebaliknya, jagoan kampung yang bernama Umar, kerapkali menjadikan Usman sansak hidup. Berbagai pukulan dan tendangan, hampir tiap hari mendarat di badan dan kepalanya. Sebenarnya, bukan hanya Usman, yang dihajar, anak-anak lain, yang rajin belajar dan menjadi murid yang baik di kelas, adalah sasaran dari pukulan dan tendangan Umar.

Akan tetapi, ada satu orang teman Usman, yang juga ikut klub beladiri, di luar sekolah, seperti halnya Umar. Ia tidak pernah dipukul ataupun ditendang oleh Umar. Namanya Putra, badannya lebih kecil dari Usman, dan ia berkacamata, tetapi ia adalah pemegang ban coklat taekwondo, mungkin ini yang membuat si Umar segan, karena ia hanya pemegang ban biru kungfu, yang sehari-harinya berlatih di dalam Komando Distrik (Kodim) di "Kampuang".

Usman sangat takut, sekaligus sangat benci pada orang yang bernama Umar ini. Bertahun-tahun lamanya ia pendam rasa benci itu, terkadang dalam angan, ia membayangkan sedang menghabisi nyawa si Umar dengan sepucuk pisau, tetapi sekali lagi itu hanya sekedar angan, karena dalam kenyataan, ia tak punya keberanian sama sekali, walaupun itu hanya sebatas menatap mata si Umar. Karena yang bersangkutan pasti akan menghardik “Apo nan ang kalelekan?” (apa lihat-lihat), sambil setelah itu akan mendaratkan tendangan atau pukulan pada wajah dan semua bagian tubuh Usman. Si Umar ini selalu memakai sepatu hansip, yang telapak dan ujungnya keras, dengan ini ia menendang dan menginjak murid-murid lain yang lebih lemah daripada dirinya.

Suatu ketika, Usman tiba-tiba sekelas dengan Umar, penentuan kelas di kelas satu SMA ini, didasarkan atas jumlah Nilai Ebtanas Murni (NEM). Kebetulan Usman mendapat NEM 43,54, dari 6 mata pelajaran. Sementara Umar mendapat NEM 45 koma sekian. Menurut teman-teman Usman, yang tidak suka dengan Umar, dan menjuluki dengan suku kata terakhir hewan peliharaan berkaki empat, “jing”, Umar mendapat NEM setinggi itu, karena mendapat contekan dari murid-murid pintar, yang dirayu bahkan diancamnya untuk memberikan contekan. Selain itu, murid yang netral bilang kalau si Umar sebenarnya pintar, hanya saja anaknya nakal, karena itu tidak kelihatan kepintarannya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, walaupun Usman benci sekali kepada si Umar, mereka berdua ternyata duduk bersebelahan. Bedanya Umar sudah tidak terlalu arogan lagi, mungkin karena badan Usman sekarang lebih tinggi dan lebih besar dari Umar. Selain itu, Usman semenjak kelas 3 SMP sudah mulai merokok, terbawa pergaulan teman-temannya. Jadilah mereka berdua teman merokok dan minum kopi, di warung depan sekolah. 

Persoalan terkadang berawal dari ketidaksengajaan, hal itulah yang terjadi pada Usman. Ia sendiri pun awalnya tidak paham tulisan Umar tentang seorang guru, yang ditaruhnya di meja Usman. Guru itu adalah guru biologi. Hari itu, entah kenapa, guru biologi itu tiba-tiba berdiri di hadapan Usman, dengan wajah marah, ditariknya dan dibacanya kertas yang berisi tulisan Umar itu. Yang terjadi kemudian, si guru semakin marah, dengan geram dan berlinang air mata, bu Ratna (nama guru itu), ke luar ruangan. Ia berjalan menuju ke ruang kepala sekolah, ia marah dan meminta supaya Usman dikeluarkan. Usman lalu dipanggil ke ruang kepala sekolah. Di sana ia diminta menjelaskan tulisan itu. Dengan jujur ia menjelaskan bahwa yang menulis tulisan itu bukan dirinya, melainkan si Umar. Akhirnya si Umar dipanggil, di sana ia dimarahi, bahkan dipukuli oleh suami bu Ratna, yang bernama Pak Bram, guru Tata Negara. Si Umar kemudian dikeluarkan.

Walaupun benci dengan Umar, Usman sebenarnya tidak terima dengan perlakuan pihak sekolah terhadap Umar. Hanya saja, karena tak punya kuasa apa-apa, ia memilih tidak protes. Di luar sekolah, ia masih sering bertemu Umar, bahkan ketika Umar pindah ke SMA 3, sebelumnya di SMA 1, mereka masih sering bertemu.

Pada tahun berikutnya, Usman juga pindah dari SMA 1. Sebelumnya, ia membolos selama tiga bulan, karena ikut bersama dua orang temannya, melarikan diri ke Jakarta, dengan membawa uang sebesar empat ratus ribu rupiah, uang dari celengan Usman, hasil menabung sejak kelas 3 Sekolah Dasar, atau 8 tahun sebelumnya. Pada tahun 1995, uang sebesar itu, cukup besar nilainya. Lebih dari cukup untuk menghidupi mereka bertiga selama sebulan lebih di jalanan.

Usman kemudian dipindahkan ke Tapak tuan, Aceh Selatan, oleh kedua orang tuanya. Di sana kebetulan ada saudara ibunya, yang menjadi orang terpandang di daerah itu. Di sana, Usman merasakan rindu yang mendalam terhadap "Kampuang", karena itulah ia hanya bertahan satu semester di sana. Pada tahun berikutnya, ia pindah sekolah lagi ke sekolah yang terletak di wilayah kabupatennya "Kampuang". Di sanalah ia menamatkan sekolah menengah atas.

Setelah menganggur selama setahun, ikut pamannya naik fuso (truk besar). Pada tahun 1998 Usman diterima di sebuah universitas negeri di Lampung, jurusan sosiologi. Di sinilah, kebenciannya terhadap orang-orang yang pernah ditemuinya di "Kampuang", semakin menjadi-jadi. Bahkan ia pernah mengungkapkan pada Sardi, temannya yang berkunjung ke kosnya di Lampung, untuk beberapa hari, bahwa ia ingin melakukan genosida, terhadap orang-orang "Kampuang". Tidak jelas, apa yang melatarbelakangi keinginannya itu.

Tahun berikutnya, Usman pindah kuliah ke sebuah universitas negeri, di Yogyakarta, jurusan Filsafat. Di kota Yogyakarta inilah pola pikirnya mulai berubah, berbagai buku yang dibacanya, dan beragam diskusi yang dihadirinya, membuatnya sadar bahwa genosida adalah tindakan yang anti demokrasi. Kebenciannya terhadap orang-orang “Kampuang”, berubah menjadi kerinduan, hanya saja hal itu tidak mungkin lagi terwujud tiap tahun. Alasan utama adalah karena biaya perjalanan ke “Kampuang” dari Yogyakarta, adalah sangat mahal. Setelah lulus dan menikah dengan Yani, seorang gadis Yogya, kesempatan Usman untuk pulang ke “Kampuang” semakin sedikit, bahkan sampai tahun ini, terhitung sudah empat belas tahun lamanya, ia tidak merasakan lagi nikmatnya mudik lebaran ke “Kampuang”, seperti apa yang dulu dirasakannya. Biaya perjalanan yang sangat mahal adalah alasan yang paling utama. Sekarang ia hanya bisa memejamkan matanya, untuk mengenang wajah-wajah orang-orang “Kampuang”, yang dulu pernah bertemu dengannya, dan bagaimana suasana “Kampuang” dulu saat ia bertemu dengan orang-orang itu.

Yogyakarta, 15 Oktober 2023

Ikuti tulisan menarik Harsa Permata lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu