x

Perempuan di Titik Nol

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 25 Oktober 2023 21:35 WIB

Perempuan di Titik Nol

Novel ini menggambarkan bagaimana posisi perempuan Mesir dalam masyarakatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Perempuan DI Titik Nol

Penulis: Nawal el-Saadawi

Penterjemah: Amir Sutaarga

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2002

Penerbit: Obor

Tebal: xiv + 156

ISBN: 979-461-040-2

 

Saya berkenalan dengan Sastra Mesir adalah dari Penerbit Obor. Mula-mula saya mengenal Naguib Mahfouz (ada juga yang menulis namanya Najib Mahfouz), kemudian Ahdaf Soueif, baru kemudian Nawal el-Saadawi. Saya menikmati karya-karya mereka karena karya mereka menggambarkan pergumulan orang Mesir yang pernah jaya tetapi kemudian mengalami penjajahan bangsa lain. Melalui novel-novel Nagiub Mahfouz dan Ahdaf Soueif saya merasakan betapa rasa bangga akan masa lalu bertemu dengan rendah diri sebagai bangsa yang pernah terjajah menjejali orang Mesir.

Sejak saat itu saya menjadi suka membaca karya-karya penulis Mesir.

Perempuan Di Titik Nol adalah salah satu novel Mesir yang saya baca. Sebenarnya saya telah melihat novel ini sejak lama. Bahkan sejak akhir tahun 1980-an, ketika saya mengunjungi sebuah pameran buku. Namun kesempatan untuk memilikinya masih belum tiba. Saya membaca karya Nawal el-Saadawi dalam bentuk e-book yang saya dapatkan dari teman saya.

Karya Nawal el-Saadawi ini sungguh luar biasa. Nawal mengambil tema tentang penderitaan perempuan Mesir. Ia menulis berdasarkan kisah nyata seorang perempuan yang divonis mati karena membunuh. Kisah seorang pelacur bernama Firdaus. Nawa bertemu Firdaus saat ia membuat sebuah penelitian psikologi di Penjara Qanatir.

Persoalan perempuan memang masih menjadi persoalan di hampir semua kebudayaan. Mochtar Lubis menyatakan bahwa Mesir yang sudah sangat maju dalam modernisasi Islampun masih mengalami permasalahan dengan hak-hak perempuan. Perempuan masih menjadi sub-ordinat laki-laki. Tak hanya di Mesir, Mochtar Lubis juga menyampaikan bahwa kondisi Indonesia tak jauh beda.

Tokoh Firdaus dalam novel ini digambarkan sebagai seorang perempuan yang sangat cerdas, punya minat belajar yang tinggi, namun tak pernah mendapat kesempatan. Dengan gaya bercerita sebagai orang pertama Firdaus mengungkapkan semua pengalamannya sebagai perempuan. Semua lelaki yang muncul dalam hidupnya adalah makhluk buas yang tidak menghargai perempuan sama sekali.

Ia telah diperlakukan dengan sangat buruk oleh ayahnya. Ia harus bekerja keras, tidak cukup mendapat makanan dan disiksa jika melakukan kesalahan. Saat masih sangat muda ia digerayangi pamannya. Ketika lulus sekolah menengah (Firdaus menempuh pendidikan sampai sekolah menengah mula-mula tinggal di rumah pamannya, kemudian harus tinggal di asrama sekolah), ia dijual oleh paman dan bibinya menjadi istri seorang lelaki berumur lebih 60 tahun. Sebagai istri dia diperlakukan sebagai pembantu, bahkan dipukuli.

Saat melarikan diri dari rumah suaminya karena tidak tahan dipukuli, ia dijadikan pelacur oleh seorang lelaki yang menolongnya. Ia dijadikan budak seks oleh lelaki yang menolongnya dan teman-temannya. Akhirnya Firdaus, dengan kesadarannya memilih menjadi pelacur dengan bayaran tinggi.

Ia pernah jatuh cinta kepada seorang pejuang buruh. Namun ternyata si pejuang buruh yang bernama Ibrahim hanya memanfaatkannya saja. Ibrahim memilih untuk menikah dengan anak bos-nya. Pengkhianatan Ibrahim inilah yang menjadi pemicu hilangnya kepercayaannya kepada semua lelaki.

Semua pengalaman tersebut membentuk pendapatnya tentang lelaki. Di mata Firdaus lelaki adalah makhluk yang penuh kerakusan, pengumpul harta, seks dan kekuasaan tanpa batas. Lelaki mengekploitasi agama – bahkan Tuhan, tradisi dan budaya untuk berkuasa dan menindas, terutama menindas perempuan.

Dalam pengantar. Mochtar Lubis memuji karya Nawal el-Saadawi sebagai sebuah karya yang alur ceritanya sangat keras, amat pedas, yang penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang rnengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perernpuan, sebagai yang diderita, dirasakan, dan dilihat oleh perernpuan itu sendiri. Bahkan Mochtar Lubis menganjurkan supaya para pria Indonesia membaca novel ini. 790

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB