x

Narasi Keadilan

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 22 November 2023 19:18 WIB

Narasi Hukum: Biasnya Keadilan dalam Teori Pembuktian

Putusan hakim selalu dipengaruhi kekuatan argumentasi dan kekuatan pembuktian di pengadilan. Putusan seringkali membela mereka yang argumen dan buktinya lebih kuat. Tapi haruskah hukuman mutlak hanya menimpa orang-orang yang tak mampu berargumen? Atau menimpa mereka yang terbatas kemampuan bicaranya? Apakah kebenaran itu batal hanya karena tidak ada bukti?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika seseorang sedang bersengketa di pengadilan, baik urusan perdata maupun pidana, segala keputusan berada di tangan hakim. Tidak dapat kita pungkiri, putusan hakim selalu dipengaruhi oleh kekuatan argumentasi dan kekuatan pembuktian dari masing-masing pihak yang bersengketa. Seringkali hasil putusan tersebut cenderung membela pihak yang argumen dan buktinya lebih kuat. Dan memang dengan cara seperti itulah seharusnya putusan ditetapkan.

Tapi, bagaimana jika yang diadili adalah orang yang tidak mampu berargumen dan alpa akan bukti? Apakah hukuman adalah hal yang mutlak menimpa orang-orang yang tak mampu berargumen karena keterbatasan pengetahuan tentang hukum dan segala atributnya? Atau yang terbatas kemampuan bicaranya? Apakah kebenaran itu batal hanya karena tidak ada bukti?

Kita jumpai banyak orang yang dihukum semata-mata karena orang tersebut tidak mampu berargumen dan menyajikan cukup bukti untuk membela dirinya. Memang hal-hal tersebut tidak melanggar konstitusi. Dan memang dengan cara-cara semacam itu pula hukum ditegakkan. Hukum, bukan keadilan. Keadilan tidak bisa ditegakkan semata-mata dengan kekuatan argumen dan bukti. Padahal salah satu kaidah dalam penjatuhan hukuman adalah : "Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam kasus-kasus tertentu, orang dijatuhi hukuman yang tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukannya. Banyak yang dihukum lebih berat dari yang seharusnya. Banyak pula yang dihukum padahal seharusnya tidak. Dan beberapa dari mereka dihukum hanya karena tidak mampu bernarasi dalam persidangan. Yaitu kemampuan menceritakan secara logis dan runtut atas terjadinya suatu peristiwa yang didukung dengan bukti-bukti. Jika kita bicara sejarah, ketidakmampuan seseorang untuk membela diri ini sebenarnya yang melahirkan profesi pengacara. Namun, kita juga harus ingat bahwa pengacarapun masih terikat aturan main ini. Kuat lemahnya argumentasi dan bukti dari seorang pengacara tetap dipengaruhi oleh kemampuan si pengacara dalam bernarasi.

Pertanyaannya adalah, jika ketidakmampuan bernarasi melahirkan potensi dihukumnya orang yang tidak bersalah. Apa yang harus dilakukan seorang hakim?

Seorang hakim hanya memiliki dua syarat, pertama dia harus bijaksana kecuali ia bodoh. Kedua, ia harus memiliki hati nurani kecuali ia kejam. Yang perlu diingat, tugas hakim adalah menegakkan keadilan, bukan hukum. Hukum hanyalah piranti. Sebagaimana tugas seorang hamba adalah menyembah tuhan melalui agama. Bukan malah menyembah agama itu sendiri. Hakim yang baik adalah yang seimbang antara kebijaksanaannya dan hati nuraninya. Ketika hukum terlalu kaku ia akan cenderung melukai, dan hanya keadilanlah yang dapat menyembuhkan luka itu. Dan para hakim diharapkan dapat berperan menjadi tabib bagi mereka yang terluka.

Ada kisah menarik yang mengajari saya tentang kelemahan penegakan hukum jika hanya berpedoman pada narasi, argumentasi dan bukti:

Di suatu negeri, terdapat dua orang hakim yang sama-sama memiliki ilmu yang tinggi. Kebijaksanaan mereka berdua tersohor ke seluruh penjuru negeri. Mereka adalah simbol keadilan di masa itu. Dan tak disangka-sangka, mereka berdua adalah bapak dan anak.

Pada masa itu, seperti yang masih dilakukan hingga hari ini, setiap bayi di jemur untuk mendapatkan anugerah dari sinar matahari tiap pagi. Pada suatu hari, lahirlah dua bayi dengan wajah yang sangat mirip. Kebetulan ibu dari keduanya adalah tetangga sehingga tiap pagi kedua bayi tersebut dijemur bersama. Namun nahas, saat dijemur salah satu di antara kedua bayi tersebut mati diterkam serigala. Kedua ibu tersebut panik dan saling mengaku bahwa bayi yang selamat adalah anaknya. Perdebatanpun terjadi, keduanya saling memperebutkan bayi yang selamat itu. Hingga sampailah kasus ini di pengadilan. Hakim yang memutus perkara ini adalah sang hakim-bapak.

Si ibu yang lebih tua berargumentasi dengan sangat fasih, ia menerangkan ciri-ciri bayinya, pakaiannya dan bukti-bukti terkait kelahirannya sedangkan si ibu muda hanya terdiam. Sesekali ia bicara namun suaranya serak karena terlalu banyak menangis sehingga hakim tidak terlalu bisa mendengarkan argumennya. Selain itu, si ibu muda ini juga bukan dari kalangan terpelajar sehingga ia tidak bisa menyusun narasi yang bagus sebagaimana yang dilakukan oleh si ibu tua. Singkat cerita, karena argumen dan bukti si ibu tua lebih kuat maka diputuskan bayi yang selamat tersebut adalah anak dari si ibu tua. Mendengar putusan tersebut si ibu muda hanya menangis.

Melihat hal tersebut muncullah keraguan di hati sang hakim. Apakah putusan yang dijatuhkan berdasarkan argumentasi dan pembuktian yang tidak seimbang hanya karena yang satu tidak memiliki kefasihan bicara dapat disebut sebagai putusan yang adil? Disaat keraguan menyelimuti dirinya, ia memanggil hakim lain yaitu anaknya sendiri. Barangkali sang hakim-anak memiliki pendapat lain.

Sang hakim-anak dengan seksama menggali informasi dari kedua ibu tersebut. Setelah mendengar penuturan dari keduanya, secara hukum, argumen dan bukti dari si ibu tua memang jauh lebih kuat sekaligus meyakinkan. Jadi secara hukum, sang hakim-bapak telah memutuskan perkara dengan tepat. 

Tetapi sang hakim-anak juga merasakan apa yang dirasakan ayahnya. Perasaan tidak enak bahwa argumen dan bukti dari si ibu muda kalah kuat hanya karena si ibu muda tidak fasih bernarasi. Akhirnya ia mempunyai sebuah ide. Sang hakim-anak memanggil seorang algojo. Pertama-tama hakim-anak menerangkan barangsiapa yang berbohong di muka pengadilan, ia akan akan dihukum mati. Kedua, ia memutuskan bahwa bayi tersebut akan dibelah menjadi dua supaya adil.

Ketika algojo menghunuskan pedangnya tepat 5 cm di atas kepala bayi tersebut, si ibu muda menjerit dengan suara yang bergema ke seluruh ruang sidang: "Hentikan, jangan bunuh anak itu. Aku mengaku telah berbohong dalam persidangan ini. Aku bukan ibunya. Berikan anak ini kepada si ibu tua, dialah ibunya. Anakku telah mati dimakan serigala."

Secara yuridis formal, pengadilan mana pun pasti akan menghukum si ibu muda karena berbohong di muka pengadilan dan mengalahkannya dalam perkara perebutan hak asuh si bayi karena ia sendiri telah mengakui kalau ia bukanlah ibunya. Juga mengakui kalau selama ini ia berbohong.

Namun apa yang terjadi sungguh di luar nalar hukum yang pernah ada di peradaban mana pun. Kedua hakim itu tersenyum. Sang hakim-anak menggendong bayi itu dan menyerahkannya kepada si ibu muda. Ya, anda tidak salah baca, SI IBU MUDA, sambil berkata: "Ambillah, karena ini adalah anakmu. Semua argumentasi dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan ini oleh si ibu tua gugur karena kami melihat bahwa seorang ibu yang asli pasti rela dicap pembohong dan bersedia dihukum mati demi keselamatan nyawa anaknya. Yang kami saksikan baru saja adalah fakta mutlak yang tak terbantahkan."

Lalu hakim-anak itu berkata kepada si ibu tua: "Semoga tuhan mengampunimu. Tidak ada hukuman mati untukmu. Cukuplah rasa sedihmu sendiri yang akan menghukummu." 

Nama dari kedua hakim tersebut adalah Daud dan Sulaiman.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan