x

Megawati

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 1 Desember 2023 06:42 WIB

Pesan Moral di Balik Amarah Megawati

Kemarahan Megawati sesungguhnya menyimpan sejumlah pesan moral, bukan saja untuk para pihak yang disinggung tetapi juga bagi dirinya sendiri. Para bijak bestari mengingatkan kepada kita, bahwa saat anda menasihati orang sambil menunjuk-nunjuk dengan satu jari telunjuk, sesungguhnya ada 3 jari lainnya mengarah kepada diri anda sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Amarah Megawati akhirnya tumpah. Kemarahan ini nampaknya merupakan akumulasi dari rasa kecewanya yang selama ini coba dipendam. Di hadapan peserta rapat koordinasi nasional relawan Ganjar-Mahfud di JIExpo Jakarta (Senin, 27/11/2023), Presiden ke-5 Republik Indonesia itu mengungkapkan dengan artikulasi kemarahan yang lugas dan gestur yang sarat emosi.

Meski tak menyebut satupun nama dalam amarahnya, publik pastinya sudah tahu siapa yang menjadi sasaran amarahnya itu. Karena dalam bagian pidatonya yang emosional itu Megawati menggunakan frasa “kalian yang baru berkuasa…”. Di samping ini, semua orang saya kira juga sudah tahu, sejak putusan MK Nomor 90 yang telah memberi jalan bagi Gibran menjadi Cawapres Prabowo, hubungan Megawati dengan istana (atau lebih tepatnya dengan Presiden Jokowi) merenggang.

Marah. Dalam situasi apapun merupakan sikap yang tidak elok. Tapi marah juga manusiawi belaka. Bahkan seorang dengan kelas nabi pun dalam hidupnya pernah marah. Yang berbeda berangkali hanya dalam soal pilihan ekspresinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam beberapa hadits diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah beberapa kali marah kepada para sahabatnya. Hanya saja kemarahan Kangjeng Nabi selalu dalam konteks syar’iyah. Nabi beberapa kali marah karena di antara para sahabat ada yang melanggar ketentuan hukum, dengan sadar dan sengaja atau karena belum tahu status hukumunya suatu urusan.

Tentu saja tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyetarakan peristiwa marah Megawati dengan Nabi Muhammad. Kecuali sekedar i’tibar kecil, semacam “jembatan penyebrangan” yang berusaha menjembatani kita untuk sampai pada pemahaman ada makna apa di balik suatu peristiwa terjadi. Dalam hal ini adalah peristiwa kemarahan Megawati kemarin itu.

 Bangkitnya lagi Orde Baru

Lantas, apa saja makna atau pesan penting yang bisa dijadikan i’tibar atau ibroh (pembelajaran) di balik kemarahan Megawati?

Dalam pidatonya Megawati dengan lugas mengukapkan bahwa situasi saat ini menunjukkan indikasi penguasa seperti sedang berusaha mengembalikan masa kelam Orde Baru. Ia mengingatkan bahwa Indonesia yang ada saat ini merupkana hasil perjuangan panjang dan berdarah-darah. Dan ia tidak ingin Indonesi kembali ke masa kelam itu.

Dengan nada retorik, Megawati menyatakan, "Mestinya Ibu nggak boleh ngomong gitu, tapi Ibu jengkel, karena republik ini penuh pengorbanan, tahu tidak. Kenapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?"

Orde Baru. Sebagaimana semua orang sudah tahu, terlepas dari sisi kelebihannya kala itu, adalah rezim yang terbiasa memanipulasi hukum dan menabrak prinsip-prinsip demokrasi, serta menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memenuhi ambisi dan syahwat kepentingan segelintir elit. Dan ini, kerap dilakukannya juga dengan cara menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap menjadi penghalang.

Megawati adalah salah satu aktor yang pernah menjadi korban banalitas politik orde baru. Ia dihambat, dipersulit bahkan dijegal dengan kasar sebelum akhirnya berhasil menempatkan dirinya dalam konstelasi perubahan politik nasional sebagai salah satu ikon perlawanan terhadap rezim kala itu.

I’tibar pentingnya, jangan pernah menganggap remeh dengan potensi bangkitnya kembali cara-cara lama orde baru, saat ini maupun nenti pasca Pemilu 2024 mendatang. Terkait potensi ini berbagai studi juga telah mengingatkan kita.

Studi Guillermo O’Donnell dkk (1986) yang populer itu misalnya, yang mengungkapkan bahwa transisi demokrasi dari rezim otoriter ke pemerintahan demokratis selalu menyimpan peluang surutnya kembali proses demokratisasi ke bentuk otoritarianisme baru (new-otoritarianism) yang disebutnya dengan fenomena Democraduras dan Dictablandas.

Gejala Democraduras disematkan Guillermo pada rezim yang dihasilkan melalui proses Pemilu sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi namun dengan menciptakan alienasi publik dari kekuasaan. Sedangkan Dictablandas adalah rezim yang dibentuk melalui proses Pemilu yang diselenggarakan dengan pelbagai pembatasan politik, kecurangan-kecurangan terstruktur dan sistematis serta cacat prosedur di berbagai sisi.

 

Politik Nir-Adab

Pada bagian lain pidatonya Megawati juga menyinggung perihal dirinya yang sudah tidak dihormati lagi. Seperti dikutip Republik.id, dengan lugas Megawati mengungkapkan kekesalannya bahwa ada orang yang seakan tak menghormatinya. "Bayangkan, kok saya tidak seperti dihormati ya, lho kenapa? Lho saya jelek-jelek pernah presiden lho dan masih diakui dengan nama Presiden ke-5 Republik Indonesia," ujar Megawati.

Siapa orang yang dimaksud dalam narasi itu saya kira publik sudah mafhum. Ungkapan kekesalan itu pastilah ditujukan secara khusus kepada Presiden Jokowi, orang yang telah “difasilitasinya” secara politik, sejak menjadi Walikota, naik level ke Gubernur dan akhirnya sampai di puncak karir sebagai Presiden.

Kekesalan dan perasaan seperti tidak dihormati itu sebagaimana sudah sering diperbincangkan banyak pihak, nampaknya berkenaan dengan langkah politik elektoral Jokowi yang memberikan dukungan kepada Prabowo dan meninggalkan PDIP dalam kontestasi Pilpres. Padahal sebelumnya sudah sangat gambling, PDIP memutuskan Ganjar sebagai calon Presiden.

Pesan penting sekaligus i’tibar yang dapat diserap dari narasi kekecewaan Megawati ini dalam konteks ini adalah soal adab dalam berpolitik. Di balik potongan kalimat, “kok saya tidak seperti dihormati ya”, Megawati seakan mengingatkan kepada para pihak terkait khususnya, dan mari kita terima sebagai “pelajaran berharga” dari seorang tokoh bangsa, bahwa adab itu, etika dan akhlak itu, penting dalam berpolitik.

 

Kearifan jari tangan

Satu lagi sisi menarik dari pidato Megawati, dalam rangkaian cerita pengalamannya di era orde baru yang telah mendzoliminya, Megawati menyebut kata ganti jamak “bapak-bapak” dalam narasi berikut. “Kalau inget itu, eh sekarang mulai lagi, selagi saya masih hidup loh, udah berhenti deh bapak-bapak yang saya sindir, insyaf, berapa sih jumlahnya dibandingin sama rakyat, saya gak manas-manasin loh, ini realitas. Sudahlah gak usah pakai kekerasan”.

Saya yakin, penggunaan sebutan “bapak-bapak” dipilih dengan sadar oleh Megawati. Lantas siapa yang dimaksud “bapak-bapak” yang disindirnya itu ? Tentu saja bukan Surya Paloh, Ahmad Syaikhu dan Cak Imin, meski ketiga tokoh ini juga berada di kubu yang berbeda secara politik. Lantas siapa ?

Dugaan saya, siapa lagi jika bukan tokoh-tokoh di poros Koalisi Indonesia Maju (KIM). Di sini, selain ada Bapak Prabowo sebagai figur sentralnya, ada Bapak Jokowi sebagai king maker, ada Bapak SBY yang bakal turun gunung membantu Prabowo, ada Bapak Airlangga Hartato Ketua Golkar sebagai parpol dengan pengalaman paling panjang, dan ada Bapak Zulhas Ketua partai bertabur artis, dan beberapa bapak lannya.

Pesan penting dari bagian narasi pidatonya ini adalah, bahwa Megawati seakan hendak mengingatkan kepada bapak-bapak itu untuk tidak main-main dengan masakini dan masadepan negara-bangsa. Seperti sudah dijelaskan di atas tadi, Megawati melihat ada kecenderungan bahwa kekuasaan saat ini seperti hendak menghadirkan kembali tradisi otoritarianisme Orde Baru. “…udah berhenti deh bapak-bapak yang saya sindir, insyaf”, ujar Megawati tanpa tedeng aling-aling.

Tetapi, last but not least, ketika Megawati mengumbar kejengkelannya itu, tangan kanannya separuh terkepal dengan jari telunjuk menunjuk-nunjuk ke arah audiens. Saya membayangkan di posisi audiens itu bapak-bapak yang disindir tadi berada, di posisi itu pula publik yang menyimak dan ingin mengambil “hikmah dari amarah” itu duduk khidmat berdere-deret.

Lantas apa gerangan pesan penting dari urusan jari tangan ini? Para bijak bestari mengingatkan kepada kita, bahwa saat anda menasihati orang sambil menunjuk-nunjuk dengan satu jari telunjuk itu, sesungguhnya ada tiga jari lainnya mengarah kepada diri anda sendiri. Semoga jadi i’tibar bersama.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler