x

Sumber: https://i0.wp.com/www.arahjuang.com/wp-content/uploads/2017/01/Widji-Thukul.jpg?w\x3d1360\x26ssl\x3d1

Iklan

Harsa Permata

Alumni Filsafat UGM, Dosen Di berbagai perguruan tinggi Di Yogyakarta
Bergabung Sejak: 4 Oktober 2023

Senin, 11 Desember 2023 06:26 WIB

Pelajaran Penting dari Puisi dan Sikap Wiji Thukul

Sebuah renungan atas perjalanan hidup Wiji Thukul sebagai penyair, seniman, dan aktivis politik penentang Rezim Orde Baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa

Karya: Wiji Thukul

Aku bukan artis pembuat berita

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa

Puisiku bukan puisi

Tapi kata-kata gelap

Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan

Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti

Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah

Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati

telah kubayar yang dia minta

umur-tenaga-luka

Kata-kata itu selalu menagih

Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup

Aku memang masih utuh

dan kata-kata belum binasa

(18 juni 1997)

Itulah salah satu puisi yang ditulis oleh penyair legendaris, Wiji Thukul, sebelum ia hilang, di akhir kekuasaan rezim Orde Baru. Dari puisi ini, sangat terlihat, bagaimana kualitas Thukul sebagai seorang penyair dan seniman.

Di dua baris awal, Thukul menegaskan, bahwa ia bukan artis yang hanya mencari ketenaran, untuk kepentingan pribadi belaka. Ia melawan penguasa, bukan untuk mengkampanyekan calon penguasa lain yang dipujanya. Ia melawan Orde Baru, karena keadaan hidupnya, yang memang memaksa dirinya untuk melawan.  Kemiskinan hidup, marjinalisasi, yang dialami oleh dirinya, dan sebagian besar rakyat Indonesia, adalah hal yang melatarbelakangi kepenyairan dan kesenimanannya.

Sayang sekali, Thukul keburu hilang, sebelum sempat mendominasi jagat seni dan sastra Indonesia. Dunia seni dan sastra Indonesia, biasanya kerap dipenuhi oleh karya-karya penyair dan sastrawan yang maknanya membingungkan, dan mungkin hanya diketahui oleh dirinya sendiri, atau seniman, penyair dan sastrawan pemuja dan pendukung penguasa, seperti Butet Kartaredjasa misalnya.

Butet, sebagaimana yang sudah kita ketahui, adalah pendukung capres yang diusung oleh partai penguasa, yaitu PDIP, Ganjar Pranowo. Walaupun tidak pernah terbuka sebagai anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Butet hadir dalam acara Rakernas PDIP dan Puncak Perayaan Bulan Bung Karno di Stadion GBK (Gelora Bung Karno), oleh PDIP, pada Juni lalu.

Butet< Mega, dan PDIP

Akhir-akhir ini kita juga  melihat bagaimana Butet mengaku bahwa ada “intimidasi” terhadapnya, yaitu berupa permintaan dari aparat kepadanya agar menandatangani surat pernyataan yang berisikan pernyataan bahwa dirinya tidak melakukan kampanye politik dalam pertunjukan kesenian di Taman Ismail Marzuki, yang diselenggarakannya pada 1 Desember 2023.

Pihak Kepolisian sendiri, sudah membantah klaim Butet tersebut, dan meminta Butet untuk langsung melaporkan ke Propam Polri, apabila ada oknum Kepolisian yang bertindak tidak sesuai ketentuan. Pihak Kepolisian, yang diwakili oleh Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, juga menegaskan bahwa Polri netral dalam Pemilu 2024 (Dikutip dari artikel berita “Butet dan Agus Noor Diduga Diintimidasi Polisi, PDIP Khawatir Terwujudnya Neo Orba”, oleh Nanda Perdana Putra, liputan6.com, diakses 10 Desember 2023).

Saran saya, supaya Butet Kartaredjasa belajar dari Wiji Thukul, jika memang merasa bahwa kekuasaan sudah membatasi ekspresinya. Thukul secara terbuka terlibat dalam aktivitas politik Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang diburu oleh Rezim Orde Baru pasca peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) 1996. Thukul. Sejarahnya adalah ketua organisasi seniman yang berafiliasi secara politik dan organisasi kepada PRD (Underbouw PRD), yaitu Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) (Sumber: tulisan Petrus Hariyanto, 21 Mei 2018, “Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)”, historia.id, diakses 10 Desember 2023. Dalam puisi-puisinya, Thukul secara lugas menyatakan perlawanan terhadap penguasa saat itu, yaitu Rezim Orde Baru. Walaupun ditindas dan diburu kekuasaan, Thukul tidak meminta belas kasihan kepada siapapun, tidak curhat kalau dirinya diintimidasi penguasa.

Thukul bergabung dan berlawan bersama PRD, bukan karena ia mendukung Budiman Sudjatmiko, yang saat itu adalah Ketua Umum PRD, tapi karena secara ideologi dan politik, ia sadar dan paham bahwa hanya dengan PRD, ia bisa melawan Orde Baru yang meminggirkan, menindas dirinya dan sebagian besar rakyat Indonesia. Saat itu, memang praktis hanya PRD, partai politik, yang berani menentang kekuasaan Rezim Orde Baru secara frontal.

Tiga baris terakhir puisi Thukul, yang berjudul “Tujuan Kita Satu Ibu”, bisa memperlihatkan bagaimana konsistensi Wiji Thukul dalam melawan penguasa yang menindas rakyat.

Kepada penindas

Tidak pernah aku membungkuk

Aku selalu tegak

Inilah kemudian yang seharusnya dijadikan contoh oleh para seniman kritis pro rakyat, yaitu sikap politik, yang berani melawan kekuasaan yang korup dan tidak pro rakyat, atau menindas rakyat. Dalam puisi “Aku Masih Utuh Kata-Kata Belum Binasa”, Thukul juga menegaskan bahwa perlawanannya lewat kata-kata dalam puisinya, tidak akan padam, walaupun harus kehilangan bola matanya dan terpisah dari keluarga yang disayanginya.

Puisiku bukan puisi

Tapi kata-kata gelap

Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan

Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti

Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah

Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati

Kembali ke Mas Butet Kartaredjasa, saran saya, jika Panjenengan memang seniman kritis dan pro rakyat, yang merasa bahwa kekuasaan sudah bertindak sewenang-wenang membatasi kebebasan berekspresi Jenengan, maka satu-satunya pilihan bagi Jenengan, adalah melawan secara konsisten. Jangan mundur, jika Jenengan yakin dengan sikap politik Jenengan. Belajarlah pada Thukul yang tidak mau mundur sejengkal pun dalam melawan kekuasaan yang menindas. Seniman memang harus berpihak secara politik, saya apresiasi sikap Jenengan yang mendukung salah satu capres secara terbuka, tidak masalah, walaupun capres yang Jenengan dukung, adalah capres yang diusung oleh partai penguasa.

Kurang satu saja, yang harus dilakukan Jenengan, yaitu terbuka mengaku sebagai anggota PDIP, dan mendirikan organisasi seniman, yang berafiliasi secara politik dan organisasi kepada PDIP (underbouw PDIP). Jangan hanya sekedar menjadi artis pembuat berita, jadilah kabar buruk penguasa, seperti dua baris pertama puisi Wiji Thukul, di awal tadi. Saya yakin, jika Jenengan berani mengikuti jejak perlawanan Thukul, maka Jenengan akan selalu dikenang rakyat, sebagai seniman tulen yang pro rakyat.

Ikuti tulisan menarik Harsa Permata lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu