x

Ilustrasi Pembungkaman Kebebasan Berpendapat, (Foto Pixabay).

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 29 Desember 2023 20:10 WIB

Odious Power 2023, Kaleidoskop Kuasa Najis di Indonesia

Tahun 2023 kita lalui penuh dengan drama penggunaan kekuasaan yang najis. Mata publik terbuka bahwa para keluarga pejabat pemilik kuasa najis mengidap pola pikir dan tindakan korup luar biasa. Mereka selalu punya beking jabatan ayahnya, suami, paman dan anggota keluarga lain yang busuk. Busuk!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh : Pdt Victor Rembeth

Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”, Lord Acton

              Tahun 2023 yang kita lalui penuh dengan kisah drama penggunaan kekuasaan yang najis. Seperti pernyataan Lord Acton yang sangat terkenal di atas, maka itulah kondisi yang berulang dalam kehidupan kekuasaan dimanapun di muka bumi. Sejatinya, Lord Acton (1834-1902) menulis kepada Uskup Creighton dalam serangkaian surat mengenai masalah moral penulisan sejarah tentang Inkuisisi. Acton percaya bahwa standar moral yang sama harus diterapkan kepada semua orang, termasuk pemimpin politik dan agama, dan ia percaya “kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

              Walaupun pernyataan itu telah diungkapkan lebih dari satu abad yang lalu di negeri yang berbeda, Indonesia tidak berbeda dalam praktik kekuasaan yang najis  atau korup tersebut. Hari hari di tahun 2023 ini kita disuguhkan dengan berbagai drama penggunaan kekuasaan yang menyakitkan khalayak. Dimulai dengan mengingat lagi kasus sang Jenderal Polisi Sambo yang dengan kuasanya tega menghabiskan ajudannya. Di awal tahun ini putusan harus dijatuhkan kepada para anak buahnya yang hanya mengikuti kuasa sang majikan yang menikmati kuasa tanpa batas.

              Rangkaian kasus hamba wet lain juga terjadi dengan contoh praktik kekuasaan bahkan melakukan sindikasi narkoba oleh seorang jendral lain, Teddy Minahasa. Kekuasaannya yang tak terbatas bisa melakukan perbuatan tercela yang mencoreng sumpah jabatannya, namun itupun menunjukkan kekuasaan yang hampir tak terbatasi. Vonis memang sudah dijatuhkan kepada para jendral, namun itu menunjukkan praktik kekuasaan yang bisa saja terjadi kepada siapa saja dalam tubuh organisasi hamba wet kita yang kerap dilihat sebagai penguasa hukum tanpa batas.

              Di lain arena, kita juga melihat bagaimana pejabat negara aras madya bisa juga melakukan kuasa najis dengan memeras target operasi pajak yang rentan kongkalikong pengaturan yang menguntungkan wajib pajak busuk dan sekaligus memperkaya sang petugas pajak. Perilaku dalam melakukan kekuasaan najis dalam menilep penghasilan negara yang harusnya diberikan kepada kesejahteraan rakyat bukan hanya dilakukan Rafael Alun di Direktorat Jendral Pajak. Ada juga pejabat Bea Cukai, Andhi Pramono yang memaksa gratifikasi untuk memperkaya diri dengan menggunakan kuasa najisnya untuk memeras ijin keluar masuk barang.

Mata publik akhirnya terbuka bahwa para keluarga pejabat pemilik kuasa najis ini memiliki pola pikir dan tindakan yang korup luar biasa. Selalu ada beking dari jabatan ayahnya, suami, paman dan anggota keluarga yang busuk ini. Mulai dari para istri yang tanpa malu apalagi merasa berdosa dengan pamer kekayaan hasil jarahan uang rakyat. Hedonisme dengan flexing para anggota keluarga ini jelas berhubungan erat dengan keyakinan bahwa dengan kuasa busuk yang dimiliki tidak akan bisa mereka disentuh oleh kasus hukum, karena semua bisa diatur.

              Mario Dandy adalah cerita betapa buruknya para maestro permilik kuasa najis menurunkan Pendidikan karakter merusak masa depan bangsa. Sang anak merasa bahwa dengan beking atau “ordal” yang dimiliki, ia akan leluasa melakukan tindakan apapun yang melawan hukum. Penganiayaan terhadap David Ozora yang dengan mudah menghindar dari jerat hukum pasti bukan pertama yang ia lakukan untuk mendapat beking sang ayah. Terbukti dengan pamer harta mobil dan motor mewah bodong yang merupakan pengajaran indoktrinasi hukum bisa diatur dengan kuasa najis adalah lumrah.

              Bangsa ini kemudian disuguhkan lagi terus menerus dengan berbagai  peragaan para pemilik kuasa najis. Ada yang bisa dijerat hukum seperti Menkominfo, Johny Plate, tetapi masih ada beberapa nama lain yang hilang dari daftar tersangka kendati memiliki indikasi kuat sebagai pelaku praktik yang serupa. Mereka “diselamatkan” oleh tangan tangan busuk pemilik kuasa najis dalam berbagai deal yang saling menguntungkan. Bahkan, walaupun sudah diendus cukup lama, seorang ketua KPKpun harus menerima nasibya. Ia hamba hukum yang memimpin lembaga rasuah, namun melakukan tindakan pidana pemerasan menggunakan kuasa najis.

              Di triwulan terakhir tahun ini, kembali publik dikejutkan oleh peristiwa yang menempati peringkat teratas pemilik kuasa najis. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang pernuh polemik dengan bau busuk menyengat perihal batas umur CAWAPRES, menunjukkan bahwa lembaga penjaga konstitusipun rentan dijebol oleh pemilik kuasa najis. Para pemilik Nurani dikagetkan betapa Keputusan yang jelas melanggar etika hukum dan kewarganegaraan bisa terus dilanjutkan tanpa merasa bersalah. Mahkamah yang kerap diplesetkan menjadi “mahkamah keluarga” itu menjadi potret pamungkas betapa berkuasanya para pemilik kuasa najis.

              Semua kisah diatas adalah drama merusak negeri yang gemah ripah loh jinawi ini dengan praktik kekuasaan yang sudah diingatkan Lord Acton ratusan tahun lalu. Semua visi dan nilai kebangsaan yang dibangun oleh para bapa bangsa dengan mudah ditendang keluar demi kenikmatan kekuasaan. Masa depan bangsa dipertaruhkan dengan perilaku destruktif yang memberikan teladan nilai yang  melawan semua kearifan bangsa dan keyakinan agama apapun.  Orang orang mudapun diberikan “karpet merah” untuk nepotisme akut para pemilik kuasa najis yang mana menghilangkan mimpi perjuanga anak anak muda lain untuk sebuah persaingan sehat merengkuh cita cita mereka.

              Pernyataan Lord Acton diatas dengan mudah dianulir dengan ungkapan baru “tenang aku ada disini”. Ketika kekuasaan najis ada “disini” maka semuanya bisa dicapai dengan menghalalkan segala cara. Sebuah ironi mengakhiri tahun, ketika berbagai pencapaian telah didapat, namun bangsa ini harus menerima kenyataan para penikmat kekuasaan Najis bisa terus berpesta menikmati tindakan mereka yang nir-nilai. Kisah bangsa ini sedang ditulis ulang dengan nilai nilai yang meengajarkan bahwa semua bisa diatur dengan kekuasaan Najis.

              Layaknya sebuah kaleidoskop, paparan kronologis kisah kisah sepanjang tahun akanlah membuat kita ingat dan belajar. Belajar untuk bisa memperbaiki yang salah untuk mereka yang memiliki Nurani, dan ingat untuk dilupakan bagi mereka yang ndableg. Kalau Gramsci mengatakan ada war of position dalam sebuah kontestasi nilai, maka tahun ini kita melihat posisi baik dan benar masih kerap dikalahkan oleh mereka yang buruk dan Najis. Masih ada perjuangan tak bertepi untuk membangkitkan asa bahwa Indonesia bisa dikembalikan kepada posisi luhur para pendiri bangsa.

              Mengakhiri tahun 2023 dengan gonjang ganjing para pemilik kuasa najis yang  bagaikan gunung es, dari pusat sampai ke daerah dan desa,  ada ditengah bangsa ini, maka kita masih punya harapan. Kendati proses demokrasi kita masih bertumpu pada proses elektoral belaka dan belum melangkah jauh kepada substansi, kita masih ada harapan untuk perbaikan Indonesia. Masih banyak orang Indonesia yang baik, para pemilik Nurani. Ya masih banyak anak bangsa yang tidak silau karena tawaran harta, tahta dan kuasa bisa memberikan pilihan kepada orang orang baik dan benar.

              Selamat tinggal 2023, dan selamat datang 2024, biarkan keprihatinan kita terhadap para pemilik kuasa najis menjadi enerji positif untuk melahirkan perbaikan dan perubahan menuju Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur, sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Tetap berharap dan berkeyakinan memilih yang terbaik ketika kita diberi kesempatan. Mari lahirkan demokrasi yang "Vox Populi Est Supreme Lex”. Tuhan sayang semua

 

Victor Rembeth, Pendeta dan Aktifis Kemanusiaan

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu