x

Wanita dan AI

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Senin, 8 Januari 2024 16:24 WIB

Ihwal Filosofi AI, Begini Pandangan Descartes dan Turing

Evolusi persepsi filsafat modern tentang kecerdasan buatan dikaji dengan pendapat saling bertentangan. Jika ponsel Anda mengalahkan Anda dalam permainan catur, mungkin Anda berpikir kecerdasan buatan sedang bersiap mengambil alih dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat ini, tidak mudah untuk menemukan topik yang lebih relevan dan berkembang pesat daripada filosofi kecerdasan buatan. Para filsuf telah ada lebih lama daripada komputer, dan mencoba untuk memecahkan beberapa pertanyaan tentang AI yang muncul akhir-akhir ini.

Bagaimana cara kerja pikiran? Mungkinkah mesin bertindak secara cerdas seperti manusia. Manakala iya, apakah mereka memiliki pikiran yang nyata dan "sadar"? Apa implikasi etis dari mesin yang cerdas? Apakah mungkin menciptakan kecerdasan buatan yang sesungguhnya?

AI

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari Descartes hingga Turing, evolusi persepsi filsafat modern tentang kecerdasan buatan  dikaji dengan pendapat dan pandangan yang saling bertentangan. Jika ponsel Anda mengalahkan Anda dalam permainan catur, mungkin Anda akan berpikir bahwa kecerdasan buatan sedang bersiap untuk mengambil alih dunia.

Namun, apa sebenarnya AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan itu? Jenis-jenis AI apa saja yang ada? Lalu, bagaimana perkembangan terbaru di bidang ini? Haruskah kita takut atau berharap akan masa depan dengan AI?

Kecerdasan buatan adalah kemampuan komputer digital dan robot yang dikendalikan olehnya untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya merupakan hak prerogatif manusia. Proyek modern untuk pengembangan sistem kecerdasan buatan mereplikasi proses intelektual yang menjadi ciri khas pemikiran manusia, seperti penalaran, generalisasi, pengalaman, dan analisis data.

Kecerdasan buatan di dunia kontemporer adalah berbagai macam algoritme dan alat pembelajaran mekanis yang memungkinkan Anda mendapatkan data, mengidentifikasi pola, dan mengoptimalkan proses dengan cepat.

Istilah AI diciptakan pada tahun 1956 oleh John McCarthy pada konferensi AI pertama di Dartmouth College. Sistem AI bekerja dengan menggunakan data dalam jumlah besar yang dianalisis untuk mencari pola dan korelasinya, lalu digunakan untuk memprediksi kejadian.

Pemrograman AI berfokus pada tiga keterampilan inti: pembelajaran, penalaran, dan koreksi diri. Sistem AI dapat digunakan untuk membuat chatbot yang menghasilkan teks, serta pengenalan gambar dan suara, visi mesin, pemrosesan bahasa alami, robotika, dan mobil tanpa pengemudi.

Asal Mula AI 

Ide dasar kecerdasan buatan (AI) sudah ada sejak zaman kuno, tetapi baru pada tahun 1950-an AI mendapatkan namanya. AI adalah mesin cerdas yang dapat bertindak dan berpikir seperti manusia, atau bahkan lebih baik dari manusia. Dalam beberapa dekade sejak itu, AI menjadi semakin kuat karena berbagai metode telah dikembangkan untuk meningkatkan efektivitasnya.

Pada tahun 1950-an, sekelompok ilmuwan di Dartmouth College di New Hampshire memutuskan untuk mengeksplorasi kemungkinan AI. Mereka mengembangkan bahasa pemrograman LISP, yang memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam pembelajaran mesin, yaitu menciptakan kemampuan komputer untuk belajar dari "pengalaman" dan data.

Ini adalah langkah penting untuk membangun mesin dengan sesuatu yang menyerupai kecerdasan yang sebenarnya. Mereka mampu membuat mesin mereka "belajar" dengan memberi penghargaan ketika mereka mendapatkan jawaban yang benar dan menghukum mereka ketika mereka mendapatkan jawaban yang salah.

Kemajuan yang signifikan dicapai selama dekade berikutnya, dan pada tahun 1961. Ilmuwan Inggris Joseph Weizenbaum menulis Eliza, program komputer percakapan pertama. Kemudian, program-program berikutnya meletakkan dasar-dasar teknologi modern.

Ini termasuk program permainan, seperti mesin permainan catur, yang dapat bermain pada tingkat grandmaster. Selain itu, para ilmuwan menciptakan sistem berdasarkan penglihatan, pemrosesan bahasa alami, dan sistem robotik yang dirancang untuk meniru perilaku manusia dalam lingkungan fisik (misalnya, di pabrik).

Pada tahun 1970-an, kemajuan yang lebih signifikan telah dicapai. Sistem pakar telah dikembangkan yang dapat membuat keputusan di bidang yang kompleks seperti diagnostik medis atau sengketa hukum. Selain itu, jaringan syaraf juga muncul. Bagian-bagian otak yang disimulasikan dalam bentuk perangkat lunak dan digunakan untuk membuat algoritme canggih yang dirancang khusus untuk aplikasi robotik seperti mobil tanpa awak atau kendaraan udara tanpa awak (drone).

Tahun 1980-an, 1990-an dan seterusnya menyaksikan ledakan teknologi yang menghasilkan banyak sekali aplikasi AI baru, mulai dari agen virtual yang dapat berkomunikasi dengan pelanggan melalui telepon atau obrolan online dan perdagangan saham otomatis hingga produk seperti Siri dari Apple, yang memahami permintaan pengguna dalam bahasa alami menggunakan perintah suara.

Saat ini, kecerdasan buatan semakin banyak digunakan di berbagai bidang-mulai dari kesehatan, di mana ia membuat diagnosis berdasarkan ribuan gambar dan catatan medis, hingga keuangan, di mana bank menggunakan analisis prediktif dan bahkan membantu pedagang/investor membuat keputusan yang lebih baik dengan lebih cepat daripada sebelumnya. Namun, apa hubungan filsafat dengan perkembangan kecerdasan buatan?

Pembenaran Filosofis René Descartes terhadap AI

René Descartes, salah satu filsuf paling berpengaruh di era modern, telah dikreditkan dengan kontribusi terobosan dalam pemikiran filosofis, termasuk pandangannya tentang kecerdasan buatan. Dalam karyanya yang terkenal, Meditations on First Philosophy, Descartes meletakkan dasar bagi kemungkinan adanya mesin yang bertindak seolah-olah memiliki pikiran dan kesadaran seperti manusia.

Descartes memulai dengan menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua substansi yang berbeda-tubuh fisik dan pikiran (atau jiwa) yang tidak material. Dia berpendapat bahwa sementara tubuh fisik dapat diperiksa secara objektif, pikiran dan kondisi mental hanya dapat diketahui melalui introspeksi. Gagasan ini sering diringkas sebagai cogito ergo sum atau "Saya berpikir maka saya ada."

Dikutip dari thecollector.com, dia lebih lanjut berpendapat bahwa karena berpikir adalah hal yang esensial bagi eksistensi seseorang, maka haruslah mungkin bagi makhluk untuk berpikir tanpa memiliki tubuh fisik. Hal ini membuatnya percaya pada kemungkinan menciptakan mesin berpikir yang dapat beroperasi seperti manusia.

Bagi Descartes, faktor kunci dalam menentukan apakah sesuatu mampu berpikir adalah pemrosesan bahasa. Dia percaya bahwa jika kita dapat menciptakan mesin yang mampu memahami dan menggunakan bahasa dengan lancar, maka mesin tersebut akan menunjukkan bukti kecerdasan yang sebenarnya.

Dengan kata lain, ia melihat pemrosesan bahasa sebagai penanda penting untuk kesadaran, dengan alasan bahwa pasti ada semacam kapasitas batin di dalam mesin seperti itu yang menyimpan konsep dan pemikiran melalui bahasa seperti kita manusia. Kontribusi dan pembenaran Descartes membentuk fondasi konseptual yang penting untuk kecerdasan buatan.

Mampukah Mesin Berpikir?

Dapatkah mesin berpikir? Pertanyaan penting ini diajukan pada tahun 1950 oleh ahli matematika dan logika Inggris, Alan Turing. Dia menekankan bahwa pendekatan tradisional terhadap masalah ini adalah pertama-tama mendefinisikan konsep "mesin" dan "kecerdasan".

Namun, Turing mengambil jalan yang berbeda. Sebagai gantinya, dia mengganti pertanyaan asli (yang menurutnya hampir tidak mungkin dijawab) dengan pertanyaan lain "yang terkait erat dengan pertanyaan asli dan relatif tidak ambigu."

Pada dasarnya, dia mengusulkan untuk mengganti pertanyaan "Dapatkah mesin berpikir?" dengan pertanyaan yang lebih sederhana "Dapatkah mesin melakukan apa yang kita (sebagai makhluk berpikir) dapat lakukan?"

Sebuah komputer dapat dianggap cerdas jika ia dapat membuat kita percaya bahwa kita tidak berurusan dengan sebuah mesin, tetapi dengan seseorang. Keuntungan dari pertanyaan baru ini, menurut Turing, adalah bahwa pertanyaan ini menarik garis yang jelas antara kemampuan fisik dan intelektual seseorang, dan untuk itu Turing menawarkan sebuah tes empiris.

Inti dari tes Turing yang sebenarnya dan praktis adalah sebagai berikut. Seorang juri, seorang manusia, dan sebuah mesin ditempatkan di ruangan yang berbeda. Juri melakukan korespondensi dengan manusia dan mesin, tanpa mengetahui sebelumnya yang mana lawan bicaranya adalah manusia dan yang mana mesin.

Waktu respons terhadap sebuah pertanyaan ditetapkan sehingga juri tidak dapat menentukan mesin dengan fitur ini (pada masa Turing, mesin lebih lambat daripada manusia. Akan tetapi, sekarang mereka bereaksi lebih cepat dan batas ini tidak penting lagi).

Jika juri tidak dapat menentukan lawan bicaranya adalah mesin, maka mesin tersebut telah lulus tes Turing dan dapat dianggap berpikir. Selain itu, mesin tidak hanya akan menjadi kemiripan dari pikiran manusia-ia akan dianggap sebagai pikiran. Kita tidak akan bisa membedakan perilakunya dengan perilaku manusia. Interpretasi kecerdasan buatan sebagai padanan penuh dari kecerdasan alami manusia telah disebut "AI yang kuat."

Mari kita perhatikan fakta bahwa tes Turing sama sekali tidak berarti bahwa mesin harus "memahami" esensi kata dan ekspresi yang digunakannya. Mesin hanya perlu berhasil meniru respons yang bermakna untuk dianggap benar-benar cerdas.

Kritik terhadap Tes Turing: Eksperimen Ruang Cina Searle

Pada tahun 1980, John Rogers Searle, seorang filsuf Amerika, mengajukan sebuah eksperimen pemikiran yang mengkritik tes Turing dan gagasan bahwa pikiran yang cerdas dapat ada tanpa pemahaman. Inti dari eksperimen ruang Cina adalah sebagai berikut. Seorang ilmuwan menempatkan seorang pria di sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat keranjang-keranjang penuh dengan aksara Cina.

Pria tersebut diberikan sebuah buku teks, dalam bahasa Inggris, yang memberikan aturan untuk menggabungkan karakter-karakter Tiongkok. Pria tersebut dapat dengan mudah menerapkan aturan-aturan ini, meskipun ia tidak bisa berbahasa Mandarin; ia dapat mengandalkan bentuk simbol-simbol yang dijelaskan dalam buku teks tanpa memahami arti dari simbol-simbol tersebut.

Searle membayangkan bahwa orang-orang di luar ruangan yang mengerti bahasa Mandarin mengirimkan rangkaian karakter ke dalam ruangan dan, sebagai tanggapannya, orang di dalam ruangan tersebut membuka buku pelajaran, memanipulasi karakter sesuai dengan aturan, dan mengirimkan kembali rangkaian karakter melalui pintu.

Dengan demikian, pria di dalam ruangan tersebut lulus semacam tes Turing untuk pengetahuan bahasa Mandarin, yang sebenarnya tidak ia ketahui. Searle menunjukkan bahwa tes Turing sama sekali bukan kriteria untuk keberadaan kesadaran, tetapi hanya kriteria untuk kemampuan untuk berhasil memanipulasi simbol.

Inti dari posisi Searle tentang masalah kecerdasan buatan adalah sebagai berikut: pikiran beroperasi dengan konten semantik (semantik) atau makna, sementara program komputer sepenuhnya ditentukan oleh struktur sintaksisnya (bentuk simbol-simbol yang digunakan). Oleh karena itu, lulus tes Turing tidak menyiratkan adanya pikiran.

Pandangan Modern tentang Filosofi AI

Persepsi filosofis modern tentang kecerdasan buatan telah berkembang secara signifikan sejak Descartes dan Turing. Saat ini, banyak filsuf mengakui bahwa mesin dapat mensimulasikan aspek kognisi dan pengambilan keputusan manusia, tetapi mereka kurang yakin bahwa mesin benar-benar sadar atau memiliki pikiran dalam arti yang sama dengan manusia.

Salah satu aspek penting dari filosofi kontemporer yang berkaitan dengan AI adalah ketergantungannya pada ilmu kognitif. Ilmuwan kognitif memandang pikiran sebagai sistem komputasi dan oleh karena itu mereka berusaha memahami bagaimana algoritma dan program dapat meniru fungsi pikiran manusia.

Namun, mereka cenderung berhati-hati tentang sejauh mana sistem buatan dapat benar-benar "memahami" makna atau benar-benar "bernalar" tentang informasi seperti halnya manusia.

Ada juga area dalam filsafat yang disebut filsafat pikiran yang membahas pertanyaan tentang kesadaran dan apakah itu muncul dari proses komputasi. Beberapa filsuf berpendapat bahwa kesadaran muncul dari komputasi yang kompleks, sementara yang lain mengklaim bahwa kesadaran tidak dapat dimekanisasi sama sekali.

Pendekatan lain terhadap AI dalam filsafat berasal dari etika. Para filsuf tertarik untuk mengeksplorasi isu-isu etika yang muncul ketika mengembangkan teknologi AI, seperti di mana tanggung jawab atas tindakan mesin berada (siapa yang harus disalahkan jika terjadi kesalahan) atau tanggung jawab atas perilaku mesin dibandingkan dengan perilaku manusia.

Meskipun skeptisisme tetap ada sampai batas tertentu seputar kecerdasan sejati yang dimungkinkan melalui mekanika komputasi saja, sebagian besar filsuf mengakui bahwa sistem AI dapat mencapai prestasi yang luar biasa, terutama ketika para ahli membangunnya dengan komponen pengambilan keputusan yang kompleks yang menyerupai proses penalaran manusia. ***

 

 

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

9 jam lalu

Terpopuler