x

Epos Ramayana. Gambar oleh Sasint dari Pixabay.com

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 8 Januari 2024 16:42 WIB

Bagaimana Para Tokoh Berpihak

Di setiap pertarungan, apalagi pemilihan umum dan pemilihan presiden, pasti ada tokoh yang tiba-tiba loncat dukungan ke tokoh lain dengan berbagai alasan. Mari bercermin dari ephos besar Mahabharata dan Ramayana, bagaimana para kesatria itu berpihak dan apa alasan pemihakannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya

PEMILIHAN umum serentak tinggal sebulan lagi dan kini memasuki masa riuh. Ada dua pemilihan yang diserentakkan, yakni pemilihan legislatif yang memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, ditambah memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah, lembaga yang perannya tak begitu jelas. Lalu ada pemilihan presiden (pilpres) dengan tiga pasangan calon presiden wakil presiden. Nah, pilpres ini yang riuh. Ada pun pemilu legislatif, sepi dari kampanye. Yang ada hanya pemeran baliho dan itu pun diacuhkan orang.

Tentu beda dengan pemilu di masa lalu. Dulu kampanye partai begitu menonjol. Para calon legislatif (caleg) acap kali mengumpulkan massa di lapangan, berpidato obral janji dan puncaknya pawai motor berkeliling. Ini digemari orang, terutama karena dapat uang saku, nasi bungkus, baju kaos. Sekarang hanya capres dan cawapres saja yang berkeliling.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun yang tidak berubah adalah main loncat para tokoh. Dulu loncat antarpartai, sekarang loncat antar paslon (pasangan calon) presiden dan wakil presiden. Alasannya bermacam-macam. Apa pun alasan itu intinya adalah kekuasaan. Di mana kursi kekuasaan itu peluangnya terbuka, ke sanalah para tokoh berlabuh. Keberpihakan mereka nyaris bukan soal ide dan memperjuangkan gagasan, tapi semata soal kursi.

Pemilihan presiden memang bisa dianalogikan dengan perang. Para kesatria harus memilih ke mana berpiihak. Amien Rais, tokoh populer di masa reformasi, bahkan pernah menyebutkan pilpres itu ibarat “Perang Badar”. Tapi itu dikatakan jelang pilpres sepuluh tahun lalu, 2014. Dan analogi itu banyak dikecam. Terlalu serem.

Sepertinya menarik kalau kita membaca kisah-kisah masa lalu jika terjadi perang. Bagaimanakah para kesatria itu berpihak? Dan apa motifasi mereka berpihak? Bagaimana kalau saya bercerita tentang keberpihakan para tokoh di era Mahabharata atau sebelumnya lagi di era Ramayana? Dua ephos besar ini memang oleh banyak orang (terutama di India) diyakini sebagai “karya sejarah” karena itu disebut Kitab Ithiasa. Keduanya menjadi sesuluh untuk dijadikan cermin kehidupan, yang baik diteladani dan yang buruk dibuang. Mahabharata adalah kisah tentang semua manusia pasti ada salah dan benarnya. sedang Ramayana adalah tentang membela kebenaran. Kita bisa bercermin pada setiap tokoh.

Di Mahabharata kita misalnya bercermin pada tokoh Karna dan Bhisma. Karna lahir dari rahim Kunti, ibu para Pandawa. Kunti sebelumnya mendapat ilmu dari seorang maharsi, kelak jika sedang bercinta (berhubungan intim dengan lelaki), berdoalah pada dewa sesuai sifat anak yang diinginkan. Saat Kunti bercinta dengan “pacarnya”, ia membayangkan Dewa Surya. Lahir kemudian seorang bayi tampan sebelum Kunti menikah. (Dalam versi lain, Kunti itu benar-benar dikawini oleh Dewa Surya). Karena Kunti sudah punya calon suami dan akan segera menikah dengan Pandu, maka bayi lelaki itu dibuang ke Sungai Gangga. Namun Kunti mengawasi anaknya sampai ada orang memungutnya. Di telinga anak itu dipasang anting-anting sebagai tanda. Bayi itulah kelak disebut Karna, artinya telinga.

Ada kusir dokar bernama Atiratha yang memungut bayi itu. Bayi itu diberi nama Radheya. Istri Atiratha, seorang perajut benang bernama Radha, mengasuh sang bayi dengan telaten karena dia tak punya anak. Syahdan, Radheya remaja tumbuh dengan kekar. Tapi dia ditolak belajar di padepokan Bhagawan Drona karena anak seorang kusir. Radheya tak putus asa, ia mencari guru lain, Bhagawan Bargawa.

Ada pun Kunti menikah dengan Pandu melahirkan tiga putra. Putra pertama karena ia memuja Dewa Dharma saat bercinta lahir Yudistira. Putra kedua dia memuja Dewa Bayu lahir Bima. Putra bungsu Kunti memuja Dewa Indra lahir Arjuna. Istri Pandu yang kedua, Madri, oleh Kunti diajari memuja Dewa Asmin, lahirlah anak kembar: Nakula dan Sahadewa. Ketika Pandu meninggal dunia, Madri yang memilih ritual satya (menceburkan diri pada api yang membakar Pandu). Imbalannya Kunti harus mengasuh ke lima anak lelaki itu tanpa pilih kasih. Kelima anak ini kemudian disebut Panca Pandawa.

Ketika Radheya menginjak dewasa dan tahu asal-usulnya bahwa dia anak Kunti yang pertama, dia menuntut haknya. Kelima Pandawa menolak karena mereka tak pernah mendengar ibunya punya anak lain. Kunti memang tetap pegang rahasia, meski dia mengakui Radheya anaknya, terbukti dari anting-anting yang dibawanya. Radheya kesal dan sejak itu ia memakai nama Karna untuk meyakinkan orang bahwa ia benar anak Kunti. (Barangkali seperti Gibran Rakabuming Raka, kesal disebut-sebut Samsul – dari asam sulfat – akhirnya sekalian saja pakai nama itu saat main bola di Cirebon).

Kekesalan Radheya, eh, Karna didengar pihak Kurawa. Duryodana membujuk Karna agar bergabung ke Kurawa dengan jabatan Adipati. Karna setuju dan siap berlaga dalam perang Bharatayudha dengan tandingannya Arjuna. Pada hari ke 17 Bharatayudha, Adipati Karna dinobatkan sebagai “Senopati Perang” dengan kusir Prabu Salya melawan Arjuna yang dikusiri Krishna. Jadi, keberpihakan Karna dalam perang semata-mata untuk membalas sakit hati kepada Pandawa dan memamerkan kedudukannya yang tinggi di Korawa. (Mohon jangan dihubung-hubungkan dengan Gibran).

Bagaimana dengan Bhisma? Tokoh yang bersumpah tidak kawin ini adalah seorang Rsi, bukan lagi kesatria. Seorang Rsi adalah brahmana dan tidak boleh ke medan laga karena sudah purna tugas. Bahkan Krishna sendiri mengatakan, berperang adalah tugas kesatria, bukan tugas brahmana. Namun, pemimpin Kurawa yakni Duryodana terus-menerus menekan Bhisma agar terlibat dalam peperangan.

Setiap orang, dewasa atau anak-anak, harus ikut berperang. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Rsi Bhisma pun ikut dalam kancah Bharatayudha. Jadi, keberpihakan Rsi Bhisma dalam perang di pihak Korawa melawan Pandawa bisa disebutkan karena keterpaksaan sampai meninggalkan sesana kebrahmanaannya. Bahasa sekarang Rsi Bhisma “turun gunung” ke kawasan perang.

 Itu contoh dua tokoh di ephos Mahabharata. Bagaimana dengan tokoh di ephos Ramayana? Mari kita misalkan bercermin ke Kumbakarna, tokoh sakti mandraguna, adik Rahwana. Kumbakarna tak setuju dengan kakaknya, Rahwana, yang menculik Dewi Sinta. Menurut Kumbakarna, Alengka menjadi morat-marit dan tercela gara-gara sifat kakaknya yang sombong dan doyan cewek. Tapi Kumbakarna cuek dan malas menasehati kakaknya dan dia memilih “lebih baik tidur saja”.

Namun tatkala tentara Ayodya pimpinan Rama datang menyerbu Alengka, Kumbakarna dibangunkan untuk berperang. Kumbakarna pun siap bertempur. Apa alasannya? “Saya bertempur tidak membela kakak saya, tidak membela pemimpin yang congkak, tetapi saya membela tanah air saya. Saya tak ingin ada musuh yang menyerang tanah air saya,” katanya. Jadi, Kumbakarna ingin negerinya aman dan damai, rakyat tidak menderita karena dijajah oleh musuh, dan untuk itu dia siap berperang. Kumbakarna bukan berperang untuk membela pemimpin kerajaan, yaitu kakaknya sendiri.

Kita semua tahu, termasuk penggemar wayang Jawa yang memakai kitab ini sebagai babon.  Karna, Rsi Bhisma, dan Kumbakarna, gugur dalam peperangan. Ketiganya tewas dengan kesedihan dari kedua belah pihak yang berperang. Karna ditangisi oleh ibu biologisnya, Kunti. Kelima Pandawa juga ikut menangis karena baru yakin Karna itu saudaranya. Rsi Bhisma bahkan sebelum ajal, pada saat panah masih menyangga tubuhnya, ditangisi oleh kubu Pandawa dan Korawa. Kumbakarna pun ditangisi rakyatnya, membela negara mati-matian tapi tak mau menasehati kakaknya.

Bercermin pada perang dalam Kitab Ithiasa ini, maka di saat keriuhan pilpres sekarang, kita harusnya bisa menggunakan akal sehat. Apakah kita berpihak karena sakit hati kepada pemimpin di kubu lain, atau kita “turun gunung” karena dipaksa harus berpihak? Harusnya kita cermat mempertimbangkan sosok pemimpin. Orang bijak seperti Bhisma dan Kumbakarna harusnya sejak awal berani bersuara, jangan diam sehingga orang jahat yang berkuasa. (*)

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu