x

Iblis Tidak Pernah Mati

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 29 Februari 2024 06:44 WIB

Iblis Tidak Pernah Mati

Kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma yang menggambarkan masa akhir Orde Baru dan kerusuhan Mei 1998.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Iblis Tak Pernah Mati

Penulis: Seno Gumira Ajidarma

Tahun Terbit: 1999

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Galang Press

Tebal: 178

ISBN: 979-95690-2-8

 

 

Jika kita berhenti membaca sampai bagian “Ketika,” maka kita akan menemukan sebuah kejadian yang seakan-akan sudah ditakdirkan. Padahal Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen-cerpennya tidak sekaligus. Tidak pula back date.

Lihatlah daftar cerpen di halaman 164 tersebut. Cerpen-cerpen ini muncul di media masa sesuai waktunya. “Kematian Paman Gober” yang dirindukan semua orang itu ditulisnya tahun 1994. Cerpen tersebut terbut di saat Orde Baru masing sangat kuat.

Dongeng sebelum tidur muncul di Kompas tahun 1995. Saat masyarakat belum berani mengatai para pemimpin rejim. Sedangkan “Sembilan Semar” muncul di tahun 1996 yang disusul dengan “Pada Suatu Hari Minggu” (Januari 1998), “Taksi Blues” (di bulan April 1998), dan “Jakarta Suatu Ketika” di bu;an Juni, atau 1 bulan setelah kerusuhan…dan puncaknya adalah di cerpen “Clara atawa Wanita yang Diperkosa.”

Urutan cerpen mulai dari “Kematian Paman Gober” sampai “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” itu seperti mercusuar yang memandu masa akhir Orde Baru. Saya sangat kagum kepada Seno Gumira Ajidarma karena keberaniannya menulis cerpen-cerpen yang cukup vulgar mengkritik Orde Baru, khususnya Suharto. Kisah tentang kematian Pamar Gober yang dirindukan oleh semua rakyat bebek adalah sebuah kritik yang sangat tajam. Apalagi verpen tersebut terbit tahun 1994, dimana Suharto masih sangat kuat. Entah apa akibat yang diterima oleh Seno karena cerpennya tersebut.

Cerpen “Sembilan Semar” secara eksplisit menggambarkan berbagai komponen masyarakat yang sudah mulai gelisah dan sudah mulai berani untuk bersuara. Cerpen ini muncul 2 tahun sebelum Suharto lengser. Menarik sekali bahwa tokoh militer yang ada di cerpen ini justru tidak sepenuhnya menjalankan tugasnya mengamankan rejim. Apakah Seno sudah tahu bahwa tantara sudah tidak setia? Walahualam.

Cerpen “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” muncul Bulan Juni 1998. Artinya novel ini hanya berselang dari kejadiannya di Bulan Mei 1998. Bulan Juni 1998 perkosaan terhadap para perempuan Tionghoa masih menjadi perdebatan publik. Pihak negara dan pihak tantara masih menyangkal telah terjadi kebiadaban yang menimpa para perempuan Tionghoa tersebut. Baru di Bulan Juli 1998 Pemerintah Habibie secara resmi membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.

“Clara atawa Wanita yang Diperkosa” adalah karya sastra pertama yang menyuarakan kejadian yang mengerikan tersebut. Wajarlah kalua Seno menggambarkan investigator meragukan perempuan yang menyatakan dirinya diperkosa tersebut.

Tapi di sisi lain, Seno menyatakan bahwa kengerian dan penderitaan yang dialami oleh perempuan yang diperkosa itu tak bisa dijelaskan oleh bahasa apapun. Tak ada bahasa di bumi yang bisa menggambarkan betapa dalam penderitaan mereka yang diperkosa tersebut.

Masih ada dua bagian lagi cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam buku ini. Kedua bagian itu adalah bagia “Sesudah” dan bagian “Selamanya.” Bagian “Sesudah” memuat tujuh cerpen. Sedangkan bagian “Selamanya” hanya memuat cerpen yang dijuduli “Karnaval.”

Saya tidak menangkap pesan sekuat bagian “Sebelum” dan “Ketika.” Mungkin karena Seno memang tidak menulis cerpennya untuk menggambarkan ada yang terjadi sesudah peristiwa 1998. Atau saya yang tak mampu menangkap pesan Seno pada bagian ini?

Pada cerpen penutup yang berjudul “Karnaval,” saya menangkap bahwa ada kegembiraan setelah Orde Baru tumbang dan Indonesia memasuki era Reformasi. Seno menunjukkan betapa meriahnya pesta karnaval tersebut. Namun ia juga menyampaikan bahwa para gajah mengikuti karnaval dengan sedih, sedangkan ular bermata sayu. Masih banyak kesedihan yang harus dihapus, meski kegembiraan sudah datang. Namun upaya menghapus kesedihan itu sepertinya harus dikerjakan “selamanya.”

Kumpulan cerpen ini diberi judul “Iblis Tidak Pernah Mati.” Judul ini diambil dari dialog yang termuat dalam cerpen berjudul “Patung.” Cerpen yang menggambarkan seorang perempuan yang menunggu kekasihnya kembali dari membunuh Iblis. Padahal Iblis tidak pernah mati. Kesetiaan sang perempuan itu begitu hebat sampai ia menjadi patung.

Saya sebenarnya lebih suka jika buku kumpulan cerpen ini diberi judul “Clara atawa Wanita yang Diperkosa.” Sebab bagi saya, cerpen tersebutlah yang menjadi puncak dari 15 cerpen yang dikumpulkan dalam buku ini. 821

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler