x

Percakapan

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Jumat, 8 Maret 2024 10:21 WIB

Esensi Sebuah Dialog

Manusia bercakap-cakap adalah sebuah kelaziman. Mungkin sekadar untuk berkenalan dengan orang lain. Tetapi yang mengejutkan adalah dalam pengenalan pada orang lain itu seringkali kita menemukan diri kita sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Diskusi diawali dengan sebuah adab: Biarlah rapuhnya pikiranku bertemu dengan pikiranmu yang sama rapuhnya dalam suatu perjumpaan yang menggembirakan. Percakapan tidak pernah dimulai dengan, "Akulah yang benar. Inilah kebenaranku.", tetapi dengan kerendahhatian untuk berkata, "Apa yang kurang dari pendapatku. Semoga engkau menampakkan kelebihannya. Apa yang lebih dari pendapatku, akan kukatakan. Sehingga kau bersedia menutup kekurangannya." 

Terlebih lagi, kebenaran bukanlah milik kita. Ia milik Tuhan yang sama-sama kita berupaya mendapatkannya. Sehingga tidak mungkin kita telah lebih dulu membawanya, dalam pikiran juga dalam argumen-argumen kita. Ia adalah tujuan yang hendak namun belum tercapai. Sebab, jika masing-masing dari kita merasa telah memiliki kebenaran, mengapa pula kita masih perlu bercakap-cakap?

Manusia adalah makhluk yang dhaif. Tubuhnya lemah, indranya terbatas, begitu juga pikirannya. Semakin kita renungkan, semakin banyak kekurangan yang kita dapati. Pikiran yang selalu merasa benar sendiri adalah salah satunya. Dengan bercakap-cakap, kita sadar bahwa ada kebenaran lain. Ada ribuan pendapat yang berbeda tentang satu hal. Jutaan lagi tentang lain hal. Di dunia ini, ada terlalu banyak yang tidak kita mengerti. Maka hati berkata kepada kepala : Aku ini terbatas. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, mengapa manusia yang terbatas itu dijadikan sempurna oleh Tuhan karena akalnya? Saya rasa karena pintu pertama kesempurnaan pikiran adalah ketika ia menyadari kekurangannya sendiri.

Tujuan percakapan pada mulanya adalah agar kita saling mengerti. Bukan sebatas memperkenalkan diri. Mengerti tentang perasaan, pengalaman dan pikiran orang lain. Dengan mengerti orang lain, kita akan lebih mengenali diri kita sendiri. Orang yang mengerti istri, ia akan lebih baik sebagai seorang suami. Orang yang memahami perasaan orang tua, ia akan lebih sopan sebagai anak. Orang yang mengenali raja, ia akan lebih sadar posisinya sebagai hamba.

Percakapan yang baik akan melahirkan bahasa berpikir yang baru. Bahasa pikiran melahirkan sastra kehidupan. Dan sastra melahirkan apa yang sekarang kita sebut sebagai peradaban. Sudah sering kita dengar bahwa bahasa yang luhur menandakan adanya peradaban yang tinggi. Bahasa semacam itu hanya mungkin dibentuk dari percakapan yang arif. Tanpa tujuan tersembunyi, tanpa ego pribadi.

Jangan salah diartikan, yang dimaksud tanpa ego dalam berpendapat bukan berarti kita akan diam, selalu mengalah, atau malah tidak jelas maunya apa. Tidak. Justru pendapat harus diungkapkan secara vokal. Sejelas-jelasnya. Lantang tapi sopan. Keras tapi merdu. Penuh percaya diri tapi rendah hati. Dengan sebuah kesadaran bahwa semua itu semata-mata agar orang lain tidak salah memahami. Dan jika salah dapat segera dikoreksi.

Manusia membutuhkan percakapan karena api pikiran yang menyala selalu bergetar jika dihadapkan dengan sapuan angin realitas kehidupan. Dan kita tidak ingin nyala itu redup. Maka kita menimbang baik dan buruk, lalu meletakkan keduanya dalam ukuran yang pas. Agar angin tidak membuat nyala api itu melahap hutan dan tidak pula menjadikannya padam. Dalam angin itu kita hidup. Dengan nyala itu kita pelan-pelan berjalan.

Atau manusia pada dasarnya adalah makhluk yang kesepian. Sehingga Adam perlu meminta Hawa untuk dijadikannya teman. Mungkin alasannya karena percakapan dengan diri sendiri tidaklah cukup. Harus ada orang lain yang membenarkan atau membantah agar pikiran dapat berkembang. Pikiran hanya dapat diuji dengan pikiran. Pikiran hanya disebut pikiran ketika ia dipertengkarkan. Saling bunyi dan bergesekan. Pikiran yang sendirian tak ubahnya seperti mimpi di tengah malam. Kebenarannya terasa nyata, namun sebenarnya tidak. Tanpa orang lain, dalam mencari kebenaran, kita hanyalah seorang pemimpi yang dalam nyenyak tidurnya, tidak ada yang membangunkan.

Maka kita bersua dengan manusia lain untuk menjadi diri manusia yang seutuhnya. Kita coba bangun rasa pengertian antar sesama. Kita isi kekosongan kebutuhan kita akan teman. Dengan perbincangan, kadang perdebatan, melalui sebuah percakapan.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu