Pada tahun 2020 yang lalu, saya pernah diminta oleh Ketua DPD sebuah partai muda di Buleleng untuk bergabung. Perkenalan kami terjadi karena saya terus berpikir bagaimana cara melawan gerombolan mafia tanah yang mengaku telah menjaminkan SHM saya pada sebuah BPR di Buleleng. Sementara hasil penyelidikan saya dari Kantor BPN mengungkapkan bahwa SHM saya itu berada di seorang notaris dan hampir dibalik nama ke atas nama adik si developer alias kepala gerombolan mafia tanah.
Tawaran itu saya tolak dengan halus. Saya beralasan bahwa saya pendatang baru dan sama sekali tidak mengenal proses adat Bali yang terkenal dengan kepatuhannya melaksanakan ritual budaya. Meski dia cukup gigih, saya lebih bersemangat untuk menghindar.
“Saya tidak memiliki jiwa berpolitik”. Cukuplah saya mengalami politik sehari-hari.
“Kalau ibu ingin perubahan terjadi, caranya ya lewat berpolitik”, lanjutnya lagi.
“Tidak harus lewat politik pak”, tegas saya.
Bagi saya, perpolitikan dan menjadi anggota DPR adalah tugas mulia. Tetapi saya belum melihat dampak yang dijanjikan dan performa oknum anggota dewan sering mengecewakan. Saya menjatuhkan surat kepada Ketua DPRD setempat dengan harapan mendapat waktu hearing untuk menyampaikan temuan-temuan yang mana tupoksi dari kantor merekalah bisa menyelesaikannya dengan tuntas.
Misalnya tentang oknum notaris/PPAT yang bermain curang dan bekerjasama dengan mafia tanah ternyata mestinya berada dalam pengawasan Komisi III yang memiliki ruang lingkup tugas di bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan dengan mitra kerja sebagai berikut:
- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
- Kejaksaan Agung
- Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Komisi Pemberantasan Korupsi
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
- Mahkamah Agung
- Mahkamah Konstitusi
- Komisi Yudisial
- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
- Badan Narkotika Nasional
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
- Setjen MPR
- Setjen DPD
Saya tidak menerima respon apapun. Padahal tupoksi mitra kerja Komisi III dari urutan 1-10 menurut daftar diatas bersinergi erat dalam proses pemberantasan dan pencegahan kegiatan mafia tanah. Notaris sendiri diangkat langsung oleh KeMenKumHAM, mitra Komisi III yang menempati daftar urutan pertama!
Mengapa notaris/PPAT memegang peranan penting dalam pencegahan terjadinya praktik mafia tanah? Karena salah satu tugas penting notaris/PPAT saat melaksanakan pengikatan Akta Jual Beli (AJB) adalah harus memastikan kehadiran sertifikat asli yang ditunjukkan dihadapan kedua belah pihak (Penjual dan Pembeli).
Pada kasus saya, si notaris/PPAT keukeuh mengatakan bahwa sertifikat peruntukan saya masih dalam proses pemecahan oleh si developer. Bahwa AJB bisa dilakukan tanpa sertifikat tanah dan ini adalah prosedural dan pembeli-pembeli lain juga melewati proses yang sama. Saya mengira bahwa kehadiran notaris/PPAT sudah membentengi dari serangan kejahatan. Ternyata si notaris/PPAT itu sendiri yang melanggar sumpah jabatannya.
Inilah dasar saya untuk meminta hearing kepada DPRD agar kasus mafia tanah ini diselesaikan tuntas. Jangan ada lagi kerugian dalam masyarakat oleh “oknum”.
Pada pemantauan saya lewat medsos sepanjang umur dewasa saya ini, DPR seperti menjadi suatu lapangan kerja yang muncul setiap lima tahun. Persyaratan pendidikan minimum untuk melamar sebagai anggota DPR hanya SMA. Saya tidak mengatakan SMA tidak berkompeten. Bapak saya berjuang menamatkan STM dari Balige dengan biaya sendiri. Tetapi beliau menguasai bidang pekerjaan mengalahkan para insinihur yang ada di perusahaan ladang gas lepas pantai tempat Bapak saya bekerja pada suatu kondisi genting ketika diperlukan tindakan tepat untuk me-maintenance suatu equipment. Karena mereka tidak yakin dengan tindakan yang disarankan oleh Bapak saya dan mereka sendiri tidak memberikan saran apapun, maka mereka berkoordinasi langsung dengan GE (General Electric) di Amerika sebagai pembuat equipment itu, mereka merespon, “What Mr. Pandiangan suggested is correct”.
DPR menyangkut tentang bagaimana negri ini dikelola dengan benar, adil dan merata yang diukur kesuksesannya lewat Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Pondasi dari pembangunan negeri ini adalah Pancasila. Rasionalitas pembangunan negri ini diukur lewat prinsip-prinsip yang dirumuskan dalam Pancasila. Mengapa demikian penting si DPR ini?
Mengacu pada UUD1945
- Pasal 11:2 yang berbunyi: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
- Pasal 20A:1 yang berbunyi: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
DPR menyaring rencana-rencana dan mengawasi kegiatan-kegiatan pembangunan serta melindungi legalitas pembangunan. Inilah yang membuat DPR sangat penting. Karena Indonesia mengaplikasikan sistem kenegaraan Trias Politica sehingga atas nama demokrasi DPR dianggap sebagai terwujudnya keterwakilan rakyat. Secara geografis mungkin benar. Tetapi apakah seorang anggota DPR mewakili daerah dan mengerti persis apa yang dibutuhkan oleh daerah itu, nanti dulu.
Sudah perlu kita berkeseriusan tingkat maksimum dalam me-review proses perekruitan DPR. Adalah baik untuk memasukkan pemuka adat, tokoh masyarakat yang kredibel. Bukan abal-abal yang tetiba diangkat menjadi tokoh masyarakat tanpa tolak ukur serta pencapaian yang teruji hasilnya.
Untuk kelompok ini bahkan mungkin tidak perlu lulusan SMA. Tapi mereka adalah pribadi yang mengerti bagaimana membela hak masyarakatnya dengan benar tanpa mengabaikan kewajiban sebagaimana mestinya. Misalnya para tokoh adat di Papua, Badui, Rempang-Galang, atau Kalimantan yang tanah-tanah adat mereka yang bernilai sociologically sensitive banyak dirampas atas nama pembangunan dan berlindung dibalik suatu pasal. Tokoh masyarakat Adat dari Sabang sampai Merauke, semestinya wajib masuk sebagai anggota DPR tanpa lewat proses pemilihan. Ini salah satu tindakan rasionalitas-instrumental mengingat Indonesia adalah kumpulan dari masyarakat adat yang kaya akan moralitas-intelektualitas.
Saya yakin bukan saya saja yang bertanya-tanya tentang dimana semua kayu-kayu yang ditebang gundul untuk food estate (perkebunan untuk menghasilkan makanan) yang diserahkan pengerjaannya kepada Menteri Pertahanan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan ketahanan pangan (food security). Ketahanan pangan (food security) dan kementrian pertahanan (ministry of defense) apalagi pertanahan (land) adalah tiga hal yang sangat berbeda. Bukan demikian?
Pertanyaan saya diatas valid. Mengacu pada Pasal 33:1 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal pintar ini seolah hanya mendukung-melindungi pemerintah, tetapi sebetulnya adalah untuk melindungi rakyat. Karena “sebesar-besar kemakmuran rakyat” ini memerlukan tolak ukur, data serta bukti kemanfaatannya terhadap rakyat sebagai subjek pembangunan negara yang objeknya adalah kekayaan alam wilayah kedaulatan Republik Indonesia ini. Manusia Indonesia dan kekayaan alam negri, tidak bisa dipisahkan dalam proses kegiatan-kegiatan pembangunan negara.
Etis adalah ketika proses penebangan kayu-kayu alam umur mungkin ratusan tahun, lebih lama dari berdirinya negri ini sendiri, dilaporkan ke publik sebagai bentuk transparansi demi menghadirkan integritas dan akuntabilitas para pelaksana negri ini yang dipercaya oleh rakyat lewat Pemilu. Dimana tupoksi DPR sebagai pengawas pada tindakan food estate ini. Jangan sampai ada yang menyebutnya sebagai illegal logging. Bolehkah?
Dari berbagai sumber, DPR tercatat memiliki anggota-anggota yang menjadi koruptor.
Partai |
Nama |
Jabatan |
Kasus |
Golkar |
Setya Novanto |
Ketua DPR RI |
e-KTP |
Bowo Sidik Pangarso |
Anggota Komisi VI |
Terdakwa kasus suap pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik dan PT HTK |
|
Fayakhun Andriadi |
Anggota Komisi I |
Terpidana kasus proyek Bakamla
|
|
Markus Nari |
Komisi VII |
Terdakwa kasus korupsi e-KTP |
|
Eni Maulani Saragih |
Wakil Ketua Komisi VII |
Terpidana korupsi proyek PLTU Riau 1 |
|
Budi Supriyanto |
Anggota Komisi V |
Terpidana suap proyek dari program dana aspirasi rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di Maluku. |
|
Zulfadhli |
Anggota Komisi X |
Terpidana korupsi dana bantuan sosial APBD Pemprov Kalbar |
|
Aziz Syamsuddin |
Wakil Ketua DPR RI |
(KPK) menetapkan Azis sebagai tersangka kasus pemberian hibah atau janji dalam penanganan perkara Dana Alokasi Khusus di Lampung Tengah, |
|
PDIP |
Damayanti Wisnu Putranti |
Anggota Komisi V |
Terpidana kasus suap proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) |
Adriansyah |
Anggota Komisi IV |
Terpidana izin usaha pertambangan (IUP) di Tanah Laut, Kalsel |
|
I Nyoman Dhamantara |
Anggota Komisi VI |
Tersangka suap impor bawang putih |
|
Demokrat |
Sutan Bhatoegana (alm) |
Anggota Komisi VII |
Terpidana suap SKK Migas |
Amin Santono |
Anggota Komisi XI |
Terpidana kasus dugaan suap usulan dana perimbangan daerah dalam RAPBN-P 2018 |
|
I Putu Sudiartana |
Anggota Komisi III |
Terpidana suap DAK sarana dan prasarana penunjang Provinsi Sumatera Barat APBN-P 2016 |
|
1. Andi M. Mallarangeng Jabatan: Bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Kasus: Proyek Hambalang Vonis: 4 tahun (Kasasi MA 9/4/2015). Bebas
2. Anas Urbaningrum Jabatan: Bekas Ketua Umum Partai Demokrat Kasus: Korupsi Hambalang Vonis: 14 tahun (Kasasi MA 8/6/2015)
3. Hartati Murdaya Jabatan: Bekas anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Kasus: Korupsi Buol Vonis: 2 tahun 8 bulan (4/2/2013)
4. Jero Wacik Jabatan: Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Kasus: Korupsi Dana Operasional Menteri ESDM Vonis: 4 tahun (9/2/2016)
5. Sutan Bhatoegana Jabatan: Ketua DPP Partai Demokrat Kasus: Korupsi ESDM Vonis: 10 tahun (19/8/2015)
6. Muhammad Nazaruddin Jabatan: Bekas Bendahara Umum Kasus: Pencucian Uang dan Korupsi Wisma Atlet Vonis: 7 tahun (Kasasi MA 23/1/2013)
7. Angelina Sondakh, mantan Wakil Sekjen Demokrat Kasus: Korupsi Wisma Atlet Vonis: 10 tahun, uang pengganti US$ 1,2 juta (Kasasi MA 30/12/2015)
8. Amin Santono, anggota Komisi XI DPR-RI Kasus: terima suap Rp 500 juta dari swasta Status: ditahan KPK
9. Amrun Daulay, mantan anggota DPR Kasus: Korupsi Pengadaan Mesin Jahit dan Sapi di Kementerian Sosial Vonis: 17 bulan (12/1/2012)
10. Sarjan Taher, anggota DPR Kasus: Korupsi Pelabuhan Tanjung Api-api Vonis: 4,5 tahun (2/2/2009)
11. As'ad Syam, mantan anggota DPR Kasus: Korupsi PLTD Muarojambi Vonis: 4 tahun (Kasasi MA 23/1/2009)
12. Agusrin M. Najamudin, Gubernur Bengkulu Kasus: Korupsi Dana PBB Vonis: 4 tahun (Kasasi MA 11/1/2012)
13. Djufri, anggota DPR Kasus: Korupsi Pembelian Tanah Wali Kota Bukittinggi Vonis: 4 tahun (6/12/2012)
14. Murman Effendi Jabatan: Bekas Bupati Seluma Kasus: Suap Anggota DPRD Vonis: 2 tahun (21/2/2012)
15. Abdul Fattah Jabatan: Bekas Bupati Batanghari Kasus: Korupsi Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran Vonis: 14 bulan (26/11/2013) |
|||
Hanura |
Dewie Yasin Limpo |
Anggota Komisi VII |
Terpidana suap pembahasan anggaran pembangunan proyek pembangkit listrik mikrohidro di Deiyai, Papua. |
Miryam S Haryani |
Anggota Komisi II |
Tersangka suap e-KTP, terdakwa keterangan palsu e-KTP |
|
PAN |
Andi Taufan Tiro |
Anggota Komisi V |
Tersangka suap di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat |
Sukiman |
Anggota Komisi XI |
Terpidana suap dana perimbangan pada APBN-P 2017 dan APBN 2018 untuk Kabupaten Pegunungan Arfak |
|
Taufik Kurniawan |
Anggota Wakil Ketua DPR |
Terdakwa DAK Kebumen pada APBN-P 2016 |
|
NasDem |
Patrice Rio Capella |
Anggota Komisi III |
Terpidana suap bansos di Kejaksaan Agung. Bebas pada Desember 2016 setelah menjalani hukuman penjara 1 tahun 2 bulan di Lapas Sukamiskin, Bandung. |
PKS |
Yudi Widiana |
Wakil Ketua Komisi V |
Terpidana korupsi proyek pembangunan jalan di Ambon |
PPP |
Romahurmuziy |
Anggota Komisi XI |
Terdakwa suap jual-beli jabatan di Kemenag |
Usman Jaffar (alm) |
Anggota Komisi VI |
Tersangka korupsi dana Bantuan Sosial tahun anggaran 2006-2008 |
|
PKB |
Musa Zainuddin |
Anggota Komisi V |
Terpidana proyek pembangunan Jalan Taniwel-Saleman |
Data diatas menyatakan bahwa hampir semua Komisi DPR pernah memiliki anggota yang menjadi koruptor dan mereka berasal dari hampir semua partai di negri ini. Bahkan jabatan sebagai Ketua dan Wakil Ketua tidak membuat mereka segan untuk berkorupsi.
Merujuk pada UUD45 Pasal 11:2 dan Pasal 20A:1, data diatas menunjukkan bahwa DPR gagal menjadi representatif dari masyarakat. Dengan membubarkan DPR, menyelamatkan negri ini dari penghamburan biaya operasional DPR yang tidak sesuai dengan hasil kinerja.
Apakah ada ide lebih baik untuk mereformasi DPR selain membubarkannya? Karena DPR sudah tidak bisa diselamatkan dan badan ini tidak perlu diselamatkan karena tugas mereka justru untuk menyelamatkan. Sehingga jika dewan ini too malfunctioning destructively, tidak ada lagi gunanya selain dibubarkan. Dan tolong, jangan justifikasi dengan menggunakan kata mainstream “oknum”.
Ikuti tulisan menarik Violeta Pandiangan lainnya di sini.