x

source: https://www.google.co.id/url?sa\x3di\x26url\x3dhttps\x253A\x252F\x252Fwww.matamatapolitik.com\x252Fopini-ng-eng-hen-biaya-konflik-di-laut-china-selatan-terlalu-tinggi\x252F\x26psig\x3dAOvVaw3L8cS0U3M94j9GqMttIPKp\x26ust\x3d1612610854702000\x26source\x3dimages\x26cd\x3dvfe\x26ved\x3d0CAIQjRxqFwoTCIii39zR0u4CFQAAAAAdAAAAABAD

Iklan

Dickry R Nurdiansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Maret 2024

Rabu, 13 Maret 2024 12:02 WIB

Analisa Konflik Sengketa Laut Cina Selatan dalam Kepentingan Nasional Indonesia

Analisa terhadap sengketa konflik di Laut Cina Selatan, dengan memfokuskan pada perspektif dan kepentingan nasional dan kedaulatan Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Dr. Dickry Rizanny Nurdiansyah, PSC(J), MMDS

 

Konflik Laut Cina Selatan adalah salah satu diskusi paling serius dan paling melibatkan klaim maritim di kawasan ini. Tahun lalu, Pemerintah Filipina mendukung Vietnam dalam tenggelamnya kapal penangkap ikan Vietnam yang ditembak oleh kapal China di Reed Bank. International juga menyerukan keprihatinan mendalam atas hal itu dan meminta China untuk tetap intensif dalam "berhenti mengeksploitasi gangguan atau kerentanan negara-negara lain untuk memperluas klaimnya yang melanggar hukum di Laut China Selatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nine-Dash Line telah menolak karena hanya didasarkan pada daerah penangkapan ikan tradisional, dan majelis arbitrase 2016 tidak mengakui ketika UNCLOS mulai berlaku setelah diratifikasi. Daerah ini juga diperdebatkan dengan sengit karena sumber daya alamnya yang layak, tempat transit jalur pelayaran penting dan daerah penangkapan ikan. Terlepas dari alasan ekonomi untuk bersaing, kedudukan historis, politik dan hukum juga mendorong para penggugat.

Analisa ini menggunakan metode analisis kualitatif didukung dengan tool analysis untuk mengeksplorasi tiga tujuan. Pertama, adalah mendalami pendekatan historis, filsafat dan hukum dalam membahas latar belakang konflik. Kedua, menganalisis sikap dan perspektif posisi strategis Indonesia di Laut Cina Selatan. Ketiga, adalah mengusulkan beberapa kemungkinan rekomendasi yang diperlukan Indonesia untuk menyelesaikan konflik LCS dengan peran dan tindakan yang diperlukan untuk tujuan internasional dan regional.

Indonesia, sebagai non-claimant state, memiliki peran diplomasi sebagai mediator, perantara yang jujur, dan pembangun kepercayaan dalam penanganan konflik Laut Cina Selatan.Selain itu, artikel ini juga akan mengusulkan beberapa kemungkinan rekomendasi yang diperlukan Indonesia untuk menyelesaikan konflik LCS dengan peran dan tindakan yang diperlukan untuk tujuan internasional dan regional dalam rangka mendukung kepentingan nasional.

Ada banyak perspektif dan konteks yang muncul di antara negara-negara penggugat atau non-penggugat, seperti Indonesia dan AS. Beberapa kesepakatan dan pembicaraan telah dilakukan untuk meredakan dan menyelesaikan konflik secara damai. Dalam artikel ini, penulis mencoba mencari tahu perspektif dan konteks dari sisi Indonesia. Pada akhirnya, beberapa rekomendasi diusulkan untuk membantu meningkatkan peran Indonesia di bidang diplomasi di kawasan untuk kepentingan nasional.  Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana konflik sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan terhadap kepentingan nasional Indonesia?” 

Penulisan ini mempunyai nilai guna untuk menambah pengetahuan pembaca secara umum tentang pengaruh konflik sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan terhadap kepentingan nasional Indonesia.  Penulisan esai ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang pengaruh konflik sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan terhadap kepentingan nasional Indonesia. Sedangkan tujuan dari penulisan esai ini adalah sebagai bahan pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat dan masukan dalam solusi alternatif dalam menghadapi dampak konflik sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan terhadap kepentingan nasional Indonesia di masa yang akan datang.

Untuk dapat melakukan suatu pembahasan yang komperhensif dan mengarah serta tidak melebar maka ruang lingkup pembahasan dari esai ini meliputi Pendahuluan, pembahasan dan penutup dengan pembahasan materi dibatasi pada konflik sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan terhadap kepentingan nasional Indonesia. 

 

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Secara keseluruhan, negara-negara di kawasan regional mengakui bahwa Laut Cina Selatan memiliki kepentingan strategis, baik dari segi geopolitik maupun geoekonomi. Konflik di LCS menjadi sangat kompleks tidak hanya karena melibatkan banyak negara, tetapi juga karena berbagai isu dan kepentingan dari berbagai pihak, menjadikannya bukan hanya masalah wilayah atau sumber daya alam semata. Penyelesaian sengketa seringkali dipenuhi dengan naik-turunnya tensi ketegangan, dipicu oleh berbagai faktor, termasuk kehadiran fisik Amerika Serikat di Filipina.

 

Data dan Fakta.

Laut Cina Selatan (LCS) adalah perairan strategis di kawasan Asia Pasifik yang membentang antara daratan dan kepulauan Asia Timur-Selatan, menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik. Wilayah ini dimulai dari garis 3⁰ LS (Selat Karimata) hingga Selat Taiwan. Dengan posisi geografisnya, LCS telah menjadi gerbang pelayaran dunia di kawasan tersebut, dilalui oleh lebih dari setengah jumlah kapal tanker dunia. Selain sebagai jalur pelayaran utama, hasil survei geologi menunjukkan bahwa LCS kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak dan gas bumi, serta kekayaan laut lainnya, membuatnya bernilai strategis baik secara ekonomi maupun politik.

Perairan LCS merupakan laut semi tertutup yang dikelilingi oleh beberapa negara pantai, langsung terhubung dengan laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai dengan UNCLOS 1982. Area ini juga mencakup gugus kepulauan Spratly dan Paracel, yang sebagian besar tidak berpenghuni, namun memiliki potensi besar dalam sumber daya alam LCS. Negara-negara yang berbatasan dengan LCS meliputi RRC, Taiwan, Filipina, Brunei, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Vietnam. Kekayaan alam dan strategisnya menjadikan LCS sebagai fokus konflik sengketa kepemilikan saat ini, dengan dinamika geopolitik global dan regional yang semakin kompleks.

Pada awalnya, isu Laut Cina Selatan (LCS) tidak menarik banyak perhatian dunia. Namun, ketika krisis minyak global meletus pada tahun 1973, berbagai masalah mulai muncul dari LCS. Negara-negara di sekitarnya saling bersaing untuk mengklaim wilayah LCS dengan berbagai alasan. RRC, Vietnam, dan Taiwan dengan dalih sejarah mengakui hampir seluruh wilayah LCS, sementara Malaysia dan Filipina mengakui sebagian wilayah laut dan beberapa pulau di Kepulauan Spratly. Di sisi lain, Indonesia dan Brunei mengakui sebagian wilayah laut sesuai dengan UNCLOS 1982.

Tumpang tindih klaim wilayah ini telah memicu konflik bilateral yang meningkatkan ketegangan di kawasan. Bentrokan fisik bersenjata, dengan korban jiwa, tidak dapat dihindari. Contohnya, pada tahun 1974, terjadi konflik antara China dan Vietnam di Kepulauan Paracel yang menyebabkan kematian 18 personel militer. Pada tahun 1988, Angkatan Laut China dan Vietnam terlibat dalam pertempuran di Jhonson Reef, Kepulauan Spratly, yang juga menimbulkan korban jiwa. Pada April 2012, konflik kembali mencuat antara RRC dan Filipina, meskipun tidak ada korban jiwa.

Sikap China dalam LCS tidak hanya menimbulkan konflik dengan negara-negara tetangganya, tetapi juga mendapat perhatian Amerika Serikat. AS merasa memiliki kepentingan di kawasan Asia Pasifik dan ingin berperan aktif dalam penyelesaian konflik LCS. Namun, respons AS ini mendapat kritikan dari China (RRC), yang menginginkan penyelesaian konflik LCS dilakukan secara bilateral tanpa campur tangan pihak lain.

Latar Belakang Sejarah Konflik.

Laut sangat penting bagi kehidupan manusia dan laut berfungsi sebagai jalur transportasi, informasi, dan perdagangan. Fungsi laut yang begitu luas menjadikan laut sebagai elemen yang memiliki fungsi signifikan yang sama dalam membangun kerja sama internasional sekaligus menjadi sumber sengketa internasional. Tiga perempat populasi dunia tinggal di daerah pesisir. Demikian juga 80% kota-kota besar dan hampir semua pusat perdagangan internasional dan pusat kekuatan militer berada di pesisir pantai (Till, 2009: 226231). Laut merupakan sumber sumber daya alam yang berguna bagi manusia, seperti minyak, gas, ikan, mineral, dan lain-lain. Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya strategis dalam perekonomian dan industri suatu negara. Peningkatan industri telah mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum. Sektor industri paling banyak menggunakan energi dari segala bentuk sumber daya, baik minyak bumi, gas alam, maupun batu bara yang digunakan sebagai penghasil listrik untuk menggerakkan peralatan industri.

Laut Cina Selatan adalah area diskusi serius yang luas akhir-akhir ini. Secara historis, sebelum terbentuknya negara-bangsa di kawasan Asia Tenggara, bentrokan LCS telah terjadi berlarut-larut. Kerajaan lokal pada waktu itu tampaknya telah memetakan dan melihat potensi besar di SCS. Dorongan politik secara bertahap muncul dari entitas untuk menguasai wilayah LCS, yang pada saat itu telah menampilkan kerumunan kapal dagang. Meningkatnya kebutuhan China akan minyak dan sumber energi lainnya telah mendorong negara itu untuk mengendalikan jalur sutra, Laut China Selatan (LCS). Dinasti Han, misalnya, adalah salah satu poros perdagangan yang melihat potensi ini, terutama jalur pelayaran barang dan jasa. Intensitas Dinasti Han juga tampaknya memicu aktor-aktor lokal di sekitar LCS untuk terlibat aktif dalam perjuangan sumber daya dan potensi LCS. Misalnya, Kerajaan Funan, Kerajaan Angkor, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Ayutthaya, Kerajaan Champa, dan Kesultanan Melaka (Tonnesson, 2001).

Dalam perjalanannya, aktor-aktor lokal ini bergantian mengendalikan SCS untuk mengambil keuntungan maksimal dari arus perdagangan yang tinggi melalui wilayah tersebut. Pada abad ke-8 hingga abad ke-12, kerajaan-kerajaan ini secara keseluruhan mempengaruhi LCS dan daerah sekitarnya lainnya. Namun, dari abad ke-12 hingga ke-15, armada China yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho mendominasi LCS. Laksamana Cheng Ho, yang adalah seorang Muslim, pada akhirnya, membantu menghidupkan simbol-simbol Islam di Nusantara dan sekitarnya. Situasi mulai berubah ketika para pedagang Barat mulai berdatangan, seperti yang berasal dari Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, Prancis, didukung oleh kemampuan militer yang semakin dominan di LCS yang sebelumnya dikuasai oleh pedagang Arab. Pada abad ke-17, Belanda adalah yang paling umum di wilayah LCS. Memasuki abad ke-18 dan ke-19, dominasi penjajah Eropa tampak semakin menurun. Namun demikian, Inggris dan Prancis masih bertahan di LCS sampai, akhirnya, beberapa koloni mereka memperoleh kemerdekaan (Tonnesson, 2001).

Dalam Pasca Perang Dunia Kedua, terjadi kekosongan kekuasaan sehingga tidak ada dokumen internasional yang memberikan kejelasan kedaulatan di Laut Cina Selatan. Beberapa klaim yang saat ini muncul lebih karena politik ekonomi, geostrategis, dan domestik. Cina, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam adalah negara-negara yang mengklaim wilayah ini. Klaim ini diangkat lagi dan menjadi lebih berpengaruh pada akhir 2008 ketika China menyatakan kedaulatan atas seluruh wilayah LCS, baik perairan maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Klaim ini tentunya akan menutup peluang bagi negara-negara lain yang juga bersengketa untuk mendapatkan puncak wilayah strategis. Klaim China membuat sulit untuk menyelesaikan ketegangan di kawasan itu, terutama karena China tidak mau terlibat dalam negosiasi regional. Konflik teritorial LCS sangat kompleks karena banyaknya pihak yang mengajukan klaim, termasuk pihak luar yang terlibat dalam sengketa, seperti Amerika Serikat (AS), yang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam lingkaran konflik LCS. AS berpendapat bahwa keterlibatannya bertujuan untuk menjalankan salah satu perannya sebagai negara adidaya yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dunia.

Ketika China menunjukkan ketegasan di wilayah yang disengketakan, AS adalah negara yang bereaksi paling cepat. Pada tahun 1999, AS segera menempatkan dua kapal induk di wilayah LCS ketika China menunjukkan klaim yang kuat. Pada saat itu, ketegangan antara Beijing dan Taiwan sedang memanas, yang menyebabkan peningkatan kekuatan kemampuan dua negara. Klaim China mendapat tanggapan negatif. Isu yang banyak beredar tentang klaim dan sikap China adalah keinginan negara tersebut untuk menguasai seluruh LCS (Smith, 1994: 274-294). China dianggap sebagai partai yang rakus dan ingin memperebutkan wilayah nasional LCS untuk mendapatkan akses penuh terhadap energi, yaitu minyak dan gas di wilayah tersebut (Dobson dan Fravel,1997). Dalam kebijakan luar negerinya, China secara terbuka menyatakan bahwa energi dan bahan baku merupakan sumber penting untuk dapat menjalankan perekonomian (Zweig dan Bi, 2005: 25-38).

 

 

Sumber: The Wall Street Journal Online (diedit)

 

Peta di atas menunjukkan beberapa persimpangan dan daerah tumpang tindih antara enam negara di Laut Cina Selatan. Garis-garis ini adalah garis yang ditarik oleh masing-masing negara dengan kebijakan negara masing-masing. China telah mengeluarkan peta 9-garis putus-putus untuk kepemilikan historis pada tahun 1947. Taiwan menduduki Pulau Itu Aba pada tahun 1956. Kemudian, Vietnam mendirikan ZEE menjadi SCS pada tahun 1977, Filipina mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Spratly pada tahun 1978, Malaysia menetapkan Landas Kontinen hingga SCS pada tahun 1979 dan Brunei Darussalam menetapkan ZEE menjadi SCS pada tahun 1988 (Qi, 2019).

Pendapat lain mengatakan bahwa keinginan untuk mengambil kembali wilayah nasional adalah bagian dari komitmen para pemimpin China. Pendapat ini berangkat dari asumsi bahwa menguasai wilayah LCS berarti akan memperkuat posisi tawar yang dapat digunakan pada waktu-waktu tertentu, misalnya dalam proses negosiasi (Hyer, 2006: 34-54). Klaim Cina juga sebagai upaya untuk mendapatkan akses penangkapan ikan, seperti di wilayah Hainan (Zha, 2001: 575-58). Konflik LCS telah melibatkan beberapa proses diplomasi internasional. Upaya negosiasi dan alternatif kerja sama juga menjadi usulan sebagai proses penyelesaian. Hingga pertengahan 2016, tidak ada tanda-tanda bahwa konflik di wilayah tersebut akan berakhir; Bahkan kondisinya semakin panas.

Pada Juni 2011, Vietnam menuduh China memotong rute eksplorasi minyak dan gasnya. Menurut Vietnam, ini adalah kedua kalinya China melakukan hal yang sama (Wines, 2011). Akibat perseteruan tersebut, tindakan masing-masing pihak mengundang tanggapan pihak lain. Vietnam membeli kapal selam Rusia, menanggapi dengan meningkatkan kegiatan pelatihan militernya. China juga menyatakan bahwa jumlah pasukan yang ditempatkan di wilayah LCS akan terus meningkat hingga 2020. Tak hanya dengan Vietnam, ketegangan antara China dan Filipina juga meningkat. Sejak tahun 1992, kerja sama militer di antara Filipina dan A.S. semakin baik, terutama untuk tujuan kontraterorisme dan keamanan maritim. Dalam agenda kebijakan keamanannya, AS juga menyebutkan bahwa salah satu tujuan kebijakan negara itu adalah meningkatkan aliansi dengan Filipina. Alasan utamanya adalah untuk stabilitas (Lunn, 2016). Ketegangan di LCS meningkat menyusul meningkatnya kerja sama A.S. dan Filipina, terutama latihan militer intensif di antara kedua negara. Kerja sama ini merupakan upaya memberikan keamanan bagi eksplorasi minyak di LCS. Latihan bersama ini memicu kekhawatiran dan reaksi China, yang akhirnya menyebabkan ketegangan di LCS menjadi lebih buruk (Alexander dan Mogato, 2012).

Potensi sumber daya alam yang besar tidak diragukan lagi telah memicu persaingan di antara negara-negara di LCS untuk mendominasi wilayah tersebut. Sebagian besar negara penuntut di LCS memiliki klaim atas berbagai tindakan. Rangkaian pulau yang berjumlah lebih dari 30.000 pulau, termasuk gugusan karang, tidak hanya kaya akan potensi sumber daya alam, tetapi posisi strategis LCS juga menjadi incaran banyak negara untuk memanfaatkannya sebagai sistem pertahanan. Akibatnya, eskalasi konflik tampaknya menjadi ancaman berat di LCS. Secara khusus, beberapa negara secara resmi mengklaim LCS. Misalnya, Kepulauan Paracel diklaim oleh tiga negara, yaitu China, Taiwan, dan Vietnam.

Pada saat yang sama, Kepulauan Spratly menjadi perjuangan antara Cina, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Berdekatan dengan Kepulauan Spratly, terdapat gugusan karang yang menjadi sengketa antara Filipina, China, dan Taiwan, yang dikenal dengan nama Scarborough Shoal. Sumber utama konflik LCS terkait dengan kawasan "sembilan garis putus-putus", yang paling memicu ketegangan regional, termasuk melibatkan Amerika Serikat (AS) kecuali Singapura (Lunn, 2016).

Adanya berbagai klaim tersebut niscaya dapat berdampak pada eskalasi konflik dalam skala yang lebih besar. Bahkan banyak ketegangan muncul dari aktivitas saling klaim di SCS. Dalam konteks ini, posisi AS menarik. Selain menjadi pesaing serius China di LCS, A.S. ternyata sangat tertarik dengan kawasan ini. A.S. memiliki dua kepentingan utama, yaitu akses ke pengiriman dan stabilitas politik serta keamanan LCS. Untuk AS, sangat penting untuk dapat menggunakan akses pengiriman SCS secara bebas. Selain itu, menjaga stabilitas LCS juga berarti menjaga stabilitas Asia Tenggara, yang sangat penting bagi AS (Fravel, 2012). Dalam pandangan Menteri Luar Negeri A.S. Hillary Clinton, A.S. memiliki "kepentingan nasional" di LCS dan mengharapkan semua negara, termasuk China, untuk menghormati hukum internasional. AS sendiri menolak untuk meratifikasi hukum laut internasional atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) (Yujuico, 2015).

 

Analisis di atas menunjukkan bahwa konflik LCS sangat kompleks dan beragam. Potensi sumber daya alam, terutama migas dan posisinya yang strategis sebagai jalur perdagangan internasional, tampaknya menjadi pemicu utama konflik LCS. Sikap tegas China terhadap LCS tentu mengkhawatirkan semua pihak, seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dan militer di kawasan tersebut. Tentu saja, tindakan ini segera memicu ketegangan dari beberapa negara dan bahkan bisa mengancam stabilitas keamanan Asia Tenggara dan sekitarnya.

 

Sikap Dan Upaya Indonesia Terkait Klaim China.

Klaim historis yang dibuat oleh China telah membuat masalah di LCS seperti api di sekam. Masalah ini akhirnya juga mempengaruhi negara-negara yang bukan negara penuntut dan negara-negara lain yang memiliki kepentingan strategis di kawasan Laut Cina Selatan. Misalnya, secara tidak langsung, Indonesia juga memiliki kepedulian untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan China. Indonesia melihat peta yang dikeluarkan oleh China, yaitu nine-dash line, yang memiliki persimpangan dengan teritorial Indonesia, dan ini menjadi masalah antara Indonesia dan China. Di tingkat internasional, nine-dash-line yang melihat LCS sebagai daerah penangkapan ikan ditolak karena dalam UNCLOS 1982, yang menyatakan bahwa negara-negara membentuk laut teritorial (12 mil), landas kontinen (200 mil), dan ZEE (200 mil) dari garis terluar. Kemudian, Pengadilan Arbitrase Antar Negara 201, sembilan garis putus-putus tidak mematuhi hukum internasional, dan hak historis tidak berlaku ketika UNCLOS mulai berlaku setelah ratifikasi.

Untuk memahami konflik LCS, Indonesia juga harus memahami inti masalah dan masalah utamanya. Selain potensi, hal yang paling mendasar dalam LCS adalah masalah kedaulatan negara. Jika tidak, klaim China tidak memiliki dasar hukum. Keberatan Indonesia yang terus berlanjut terhadap klaim China telah menjadi keberatan yang terus-menerus. China tidak memiliki klaim teritorial dengan Indonesia tetapi memiliki klaim maritim dengan ZEEI. Terjadinya apa yang disebut sebagai garis wilayah perbatasan yang tumpang tindih yang diklaim terlibat dalam pulau-pulau di LCS adalah inti dari masalah ini. Salah satu kesulitan kita adalah bahwa kita tidak dapat membedakan antara kedaulatan, hak berdaulat, dan apa kebebasan laut lepas. Banyak yang mengatakan bahwa ZEE adalah wilayah kami, dan kedaulatan kamilah yang harus kami kuasai, pelihara, dan duduki sepenuhnya. Namun, konvensi hukum laut berbicara berbeda. Ketika kita berbicara tentang kedaulatan, kita memiliki tiga elemen, yaitu kekuatan untuk menentukan hukum, kekuatan untuk menegakkan hukum, dan kekuatan untuk mengadili hukum. Ketika Indonesia tidak dapat berbicara bahasa ini, kita tidak berbicara tentang kedaulatan.

Sehingga, empat poin sikap Indonesia terhadap klaim China di Laut Cina Selatan : (1) telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal China di kawasan ZEE Indonesia; (2) Wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional, yaitu melalui UNCLOS 1982; (3) China adalah salah satu (bagian) anggota UNCLOS 1982; oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi China untuk menghormati pelaksanaan UNCLOS 1982; dan (4) Indonesia tidak akan pernah mengakui 9-dash line, klaim sepihak yang dibuat oleh China yang tidak memiliki dasar hukum yang diakui oleh hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.

China terus membuat klaim dan praktik untuk menduduki dan mengelola kegiatan yang signifikan. Pemerintah China, pada tingkat resmi di bawah Menteri, menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki masalah teritorial. Pernyataan ini menghibur pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Luar Negeri Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia telah mengadakan dua protes ke PBB pada tahun 2010 dan 2020. Tentang masalah garis silang di wilayah ZEE, yang ditentukan oleh kedua negara. China seharusnya mengoreksi garis-garis yang menjadi irisan dengan wilayah Indonesia. Sikap ambigu Cina, karena alasan alasan historis. Alasan kedua adalah cuaca pada waktu tertentu di bagian utara LCS mengalami musim dingin, sehingga nelayan tidak dapat menangkap ikan, sehingga mereka bergeser ke selatan hingga memasuki wilayah ZEE yang bersentuhan dengan wilayah nasional Indonesia. Di situlah insiden itu terjadi; Institusi Indonesia menangkap kapal penangkap ikan China. China selalu mengatakan jika ada perselisihan, maka biarkan saja sampai dibawa ke forum resmi. Niat ini merupakan strategi politik yang dilakukan China.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa upaya sebagai strategi pertahanan. Sebagai negara non-claimant, posisi Indonesia dapat meningkatkan lobi untuk China, sehingga permasalahan kedua negara dapat diselesaikan secara memadai. Dari sudut pandang geopolitik, posisi LCS sangat strategis dalam pergerakan kekuatan kedua angkatan laut dan yang menghubungkan antar benua. Pada prinsipnya, ini sangat strategis; siapa pun yang menentukan geostrategis di SCS kemudian menentukan domain di sekitar SCS dan dunia. Dalam hal kedaulatan teritorial dan politik dalam negeri, penentuan ini akan mengakui kedaulatan legitimasi rezim yang berkuasa di negara masing-masing.

Selanjutnya, Indonesia adalah pendiri ASEAN. Eksistensi Indonesia di kawasan regional ini harus diperkuat. Indonesia dapat menjadi mediator, perantara yang jujur, atau pembangun kepercayaan yang mampu membawa negara-negara klaim ke meja perundingan. Indonesia mengutamakan lobi dan peran pendekatan diplomat dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Pendekatan ini berhasil dilakukan pada masa pemerintahan SBY; saat itu, Marty Natalegawa, selaku Menteri Luar Negeri, membawa masalah di meja perundingan yang menghasilkan beberapa komitmen, termasuk Kode Etik dari semua negara yang terlibat. Intinya adalah masalah SCS akan diselesaikan dengan damai.

Klaim Indonesia mengacu pada UNCLOS 1982 pasal 55, 56, dan 57. Klaim tersebut juga memiliki penyelesaian dengan Malaysia dan Vietnam di Landas Kontinen pada tahun 2004. Kemudian, pada tahun 2016, terjadi sengketa antara Filipina dan China, semua fitur maritim di LCS tidak berhak menentukan EEO karena semuanya tidak memenuhi persyaratan sebagai pulau. Sehingga di LCS, negara-negara ini hanya mengklaim selama 12 nm sebagai teritorial. Hak Penangkapan Ikan Tradisional tidak ada dalam definisi klaim teritorial, jadi pengakuan China ini bersifat sepihak. Namun, tidak semua negara-negara ASEAN mendukung Indonesia, karena beberapa negara adalah "teman" China. Oleh karena itu, tidak ada kompromi dan diskusi lebih lanjut antara Indonesia dan China karena tidak ada perbatasan.

 

Perspektif Indonesia Dan Prediksi Tentang Sengketa Di LCS.

Ada beberapa perspektif pemerintah Indonesia dalam memandang LCS sebagai wilayah yang sangat strategis.

Pertama, dalam hal politik, ada paradoks perebutan kekuasaan dan pengaruh. Daerah ini menjadi pertempuran antar kelas negara, mulai dari negara besar, menengah hingga negara. Perjuangan untuk pengaruh yang lebih signifikan terlihat dalam upaya penataan antara aktor-aktor negara yang saling menantang. Setiap negara akan mencari siapa yang paling unggul dalam perjuangan antara kelas-kelas ini. Kemudian, di sisi lain, hubungan kekuasaan yang jelas akan muncul. Di daerah ini, regionalisme, komunitas, dan aliansi akan terbentuk, dengan kepentingan dan tujuan strategis yang sama.

Kedua dalam hal keamanan, berkaitan dengan kepentingan politik negara-negara regional. Perlombaan senjata, perebutan pengaruh, dan keamanan wilayah menjadi agenda utama masing-masing negara, yang tak jarang menjadi sumbangsih perdebatan dalam hubungan internasional. Situasi seperti itu akan mengarah pada proses perebutan kekuasaan untuk menjadi "pemimpin" di wilayah ini. Ketidakseimbangan dalam ukuran anggaran belanja pertahanan juga merupakan pertimbangan tentang bagaimana mereka akan menemukan teman atau aliansi strategis, misalnya, menginformasikan komunitas pertahanan. Negara-negara yang memiliki kebijakan tegas yang didukung oleh kekuatan militer yang kuat akan menjadi pemimpin yang mengendalikan keamanan regional.

Ketiga, lalu lintas perdagangan dan cadangan sumber daya alam adalah komoditas utama di Laut Cina Selatan. Akses, eksplorasi, dan eksploitasi sumber daya alam di LCS ini menjadi motif utama dalam menyediakan negara-negara regional atau negara luar untuk menentukan langkah-langkah bijak, terutama di bidang ekonomi dan bisnis. Keempat, perspektif tentang wilayah ini juga dapat ditinjau dari segi faktor sosial budaya. Nilai, norma, bahasa, adat istiadat, dan kebiasaan juga sering dipertimbangkan oleh para pemimpin negara di kawasan.

 

Beberapa konteks diperlukan untuk memberikan pemahaman dan masukan dari pengambil keputusan dan kebijakan dalam menangani situasi ini. Pada saat ini muncul prediksi antara lain, di tingkat global, terjadi pertempuran antara negara-negara besar yang saling memberikan pengaruh dan kekuasaan, misalnya AS – China di Pasifik dan Laut China Selatan. Semakin pentingnya wilayah ini membuat siapa pun yang bermain di wilayah ini menjadi pertempuran kekuatan di tingkat global. AS sendiri mengubah arah kebijakannya terhadap Indo Pasifik, seperti halnya China, yang semakin menunjukkan kekuatan di Laut China Selatan. China mungkin bisa memimpin seperti yang telah dilakukan AS di seluruh penjuru dunia, meskipun kita tahu AS juga mengalami penurunan. China's Peaceful Rise, yang kemudian menjadi OBOR dan Belt and Road Initiative. Semakin banyak aktor negara besar mulai menunjukkan kepentingan dan kebijakan yang sama terhadap Laut Cina Selatan. Misalnya, India, yang juga mengubah kebijakannya dari Look East Policy to the East Policy Act, yang menunjukkan perwujudan dan implementasi kebijakan terhadap Samudera Hindia terhadap Laut Cina Selatan. Wilayah ini akan menjadi hubungan kekuasaan, perjuangan, dan persaingan bipolar dan multi-polar dalam strategi jangka panjang.

Di tingkat regional,  terutama di bidang ekonomi regional, sangat dipengaruhi oleh kegagalan agenda pembangunan ekonomi regional, yang telah mempengaruhi pergeseran perjanjian menuju perjanjian perdagangan bilateral atau regional. Masalahnya, peningkatan jumlah perjanjian perdagangan memberikan kompleksitas lain bagi Asia Pasifik, seperti pengalihan perdagangan. Peningkatan inilah yang kemudian menyebabkan munculnya era baru perjanjian regional perdagangan bebas yang lebih signifikan dan terkait dengan kawasan dengan distribusi utama perdagangan dunia, yang disebut Megar Regional Trade Agreements (MRTAs). Trans-Pacific Partnership (TPP), yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan China sebagai mekanisme utama, menjadi MRTA paling ambisius di Asia Pasifik. Dua isu dalam kedua perjanjian tersebut adalah, sebagai cara untuk mewujudkan integrasi kawasan Asia Pasifik dan perbedaan kepentingan ekonomi antara negara-negara besar.

Munculnya kedua MRTA tersebut menunjukkan adanya dinamika perekonomian di kawasan Asia Pasifik. Dua isu yang mewujudkan dinamika tersebut adalah, pertama, TPP dan RCEP adalah cara untuk mewujudkan integrasi Asia Pasifik karena potensi ekonomi signifikan yang mencapai 67 persen dari PDB global pada tahun 2015. Kedua, adanya perbedaan kepentingan ekonomi antara negara inisiator seperti Amerika Serikat di TPP dan China di RCEP menghadirkan tantangan lain bagi proses integrasi ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Munculnya China dalam persaingan hegemoni ekonomi melalui berbagai kebijakan reformasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan sektor pertaniannya, meningkatkan produktivitas dan membuka pasar yang sebelumnya tertutup terhadap persaingan yang kini bersaing dengan Amerika Serikat. Kondisi ini kemudian membuat Amerika Serikat menekankan politik pivot ke Asia Pasifik dengan TPP sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan hegemoni ekonominya.

 

Berbagai upaya integrasi akan menemui fakta rivalitas antara TPP AS dengan latar belakang Unilateral Hegemony dan RCEP China dengan Cooperative Hegemony. Dalam hal ini, Indonesia memprioritaskan perjanjian RCEP di atas TPP dengan alasan ekonomi dan non-ekonomi. Dikatakan bahwa China memenangkan RCEP atas TPP AS. Meskipun kekuatan ekonomi masih kalah dari AS, China mulai menang dalam kemenangan ekonomi di kawasan itu dan menjadi pemimpin ekonomi di kawasan itu.

Situasi Laut China Selatan akan selalu mempengaruhi lingkungan regional, yang menunjukkan prediksi akan terus memanas, seiring dengan aksi kampanye militer China di wilayah tersebut. Kondisi ini menyebabkan kedaulatan nasional Indonesia berpotensi terancam, terutama di wilayah perairan Laut Natuna Utara. Begitu juga dengan reaksi negara-negara lain yang berkontribusi signifikan terhadap proses analisis intelijen dan pembuat kebijakan tingkat nasional. Meski Indonesia bukan negara penggugat, keterlibatan negara lain, seperti AS, cukup menguras tenaga ketika negara-negara tersebut bermain di depan halaman depan rumah Indonesia. Sebagai contoh konkret bahwa A.S. baru-baru ini, secara tegas menolak semua klaim China dan menganggap Partai Komunis China (PKT) sebagai ancaman bagi India dan negara-negara Asia Tenggara. Menanggapi ancaman ini, negara yang dipimpin Donald Trump itu akan mengurangi jumlah pasukannya di Eropa. Nantinya, pasukan tersebut akan beroperasi di daerah lain yang berpotensi menjadi sasaran pemerintah China. Kondisi ini membuat Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara mengusung ASEAN Outlook on Indo Pacific, tujuannya untuk mendorong kerja sama, bukan persaingan. ASEAN Outlook on Indo Pacific merupakan penegasan posisi ASEAN dalam menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik, yang meliputi Asia Pasifik dan Samudra Hindia.

Dalam konteks nasional, ancaman komunisme juga menjadi wacana yang menonjol. China terus aktif dalam hegemoni militer, ekonomi, dan industri, menggunakan prinsip diplomasi lunak. Pemberontakan partai komunis pada tahun 1965 menjadi trauma bagi sebagian warga negara Indonesia. Gagasan bahwa perkembangan Cina di Laut Cina Selatan ke arah selatan dengan pemahaman komunisme jika dilihat dari sisi kedaulatan nasional Indonesia.

Kebijakan Indonesia untuk mengembangkan konteks lokal dalam menghadapi potensi ancaman dari Laut Cina Selatan menunjukkan kemajuan. Misalnya, pembangunan pulau-pulau terluar, yang merupakan perbatasan laut, yaitu Pulau Natuna. Pembentukan Kesatuan Militer Terpadu di Natuna tidak sejalan dengan pembangunan kesejahteraan dan keamanan masyarakat setempat. Perkembangan Pulau Natuna masih sangat minim; baik kesejahteraan masyarakat Natuna maupun pembangunan infrastruktur masih belum terlihat lebih komprehensif. Ketenagakerjaan TNI dan Polri merupakan bagian dari upaya percepatan pembangunan di Pulau Natuna.

 

Sikap Indonesia Dalam Strategi Pertahanan Untuk Kepentingan Nasional

Kondisi di darat juga bisa terjadi di laut. Ketika itu terjadi di darat, mungkin mudah untuk membuktikan, menyelidiki, dan melanjutkan. Namun, jika terjadi di laut, maka akan terlibat dan cenderung rumit. Kejadian ini karena objek target adalah entitas asing. Adegan akan menantang untuk direkonstruksi, misalnya, penangkapan ikan ilegal, perampokan, perdagangan manusia, dan banyak lagi. Isu kapal ikan asing di Indonesia masih tinggi, termasuk China menunjukkan angka yang masih relatif tinggi pasca keputusan internasional. Kemudian Vietnam, Filipina, dan Malaysia masih relatif tinggi, dengan Vietnam juga disertai benturan kapal penegak hukum di laut. Thailand, Singapura, PNG, Timor Leste, dan India masih sangat rendah, yang didominasi oleh kapal penangkap ikan. Semua insiden yang terjadi adalah aktivitas kapal penangkap ikan IUU yang berkembang menjadi isu antar negara.  Di LCS, peristiwa viral telah muncul dalam banyak analisis dan perdebatan. Sebagian besar tempat kejadian belum terjadi di batas laut. Ketika ada batas-batas yang tidak jelas, potensi peningkatan intensitas insiden menjadi masalah antar negara.

Di ZEE, hak suatu negara untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Di sana, hak negara untuk menegakkan hukum; Dalam hal ini, subjek kegiatan adalah kapal penangkap ikan, penjaga pantai, dan kapal perang. Konflik antara aparat penegak hukum dan nelayan, misalnya, meragukan apakah perintah disampaikan, bahasa yang berbeda, dan aparat penegak hukum dengan lembaga penegak hukum negara lainnya. Yang kedua biasanya diikuti dengan manuver berbahaya, benturan kapal, tindakan provokatif, dan lain-lain. Untuk mengatasi situasi ini, catatan diplomatik adalah satu-satunya pernyataan yang kuat. Banyak negara secara luas menerima UNCLOS karena bahasa yang digunakan secara umum. Dengan demikian, interpretasi dan pemahaman masing-masing negara dapat berbeda dan terkadang menimbulkan perdebatan dan perselisihan mengenai definisi tersebut. Kasus penangkapan ikan berisi pembebasan segera, tindakan sementara, dan penggunaan kekuatan. Oleh karena itu, penegakan hukum di laut sangat tidak mudah. Ketentuan denda tidak sesuai, maka kapal yang membawa bendera negaranya dapat membawa tantangan ke tingkat yang lebih tinggi (UNCLOS).

Dalam kasus Laut Natuna Utara, ZEE Indonesia bersentuhan dengan 9dash-line China seluas 83.000 km2, yang diklaim oleh China sebagai daerah penangkapan ikan tradisional sejak Dinasti Tang (618 M) dan tercatat dalam sejarah Dinasti Song (960 M) dan dinasti Han (25 M). Kapal penangkap ikan China sering beroperasi di Laut Natuna Utara, penangkapan oleh pihak keamanan Indonesia berdasarkan penangkapan ikan ilegal memicu kedatangan penjaga pantai China yang meminta pembebasan.

Oleh karena itu, di sektor strategi pertahanan, lima upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Pertama, pendekatan domestik menerapkan penguatan pangkalan militer yang dekat dengan daerah konflik. Meskipun pembangunan pangkalan militer bersama dan terintegrasi di Natuna terus berlanjut, saat ini, upaya tersebut tidak memiliki efek yang menakutkan bagi China.

Kedua, TNI melakukan latihan militer di sekitar LCS, namun pendekatan ini merupakan pendekatan alternatif atau pendekatan yang terakhir. TNI telah melakukan beberapa latihan militer di Laut Natuna Utara, yaitu TNI AL selama 12 hari latihan pada Juni 2016 dan The Air Force's War Training pada Oktober 2016. Selain itu, pemerintah Indonesia perlu mengambil beberapa langkah penegakan hukum dan pertahanan untuk menarik Kapal-kapal China, seperti mengusir kapal-kapal itu dari ZEE Indonesia, meningkatkan intensitas patroli di Laut Natuna, menunjukkan kehadiran Angkatan Laut dan Penjaga Pantai yang berkelanjutan, dikawal oleh pihak berwenang untuk nelayan Indonesia dan mewujudkan perkembangan pesat di pulau Natuna.

Ketiga, perubahan nama menjadi Laut Natuna Utara merupakan langkah brilian yang diambil Indonesia.

Keempat, Pertahanan berbasis titik nyala dalam Minimum Essential Force (MEF) untuk Tentara Nasional Indonesia (IAF) dengan mengalokasikan personel ke daerah-daerah yang berpotensi konflik, termasuk di sekitar Laut Cina Selatan. Sehingga posisi Indonesia diakui oleh negara-negara Asia Tenggara. Keberadaan Indonesia harus kembali ke perannya di ASEAN dengan meningkatkan anggaran IAF untuk mempercepat pencapaian MEF agar Indonesia memiliki kekuatan pertahanan yang diperhitungkan di kawasan, khususnya LCS.

Kelima, Pemerintah mengerahkan dan mengawal nelayan Indonesia yang beroperasi di Laut Cina Selatan. Keempat upaya ini dapat memberikan gambaran kepada China bahwa Indonesia akan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mempertahankan wilayah ZEE Indonesia.

 

Indonesia juga perlu menyiapkan strategi politik dalam menghadapi situasi di Laut Cina Selatan. Pertama adalah External institutional balancing melalui penggunaan lembaga-lembaga ASEAN untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dalam konflik LCS. Kedua adalah domestic institutional balancing dengan meningkatkan kemampuan keamanan dan institusi domestik untuk menciptakan efek jera. Ketiga adalah reframing sebagai isu perikanan, yaitu dengan melihat sengketa di ZEE sebagai kasus IUU fishing bilateral, bukan sebagai isu kedaulatan.

Indonesia telah berperan dalam Mekanisme Multilateral untuk menyelenggarakan Workshop in Managing Political Conflict in the South China Sea (1990) dan mengajukan "Donut Proposal," dan dalam mekanisme ASEAN menghasilkan Declaration in the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) dan memainkan peran penting dalam negosiasi penyusunan Code of Conduct (CoC)

 

Kendala. Mengatasi dampak konflik di Laut Cina Selatan (LCS) terhadap kepentingan nasional Indonesia melibatkan sejumlah kendala kompleks di berbagai bidang, seperti keamanan, ekonomi, diplomasi, dan sumber daya alam. Upaya untuk menghadapi dampak konflik ini juga memerlukan koordinasi dan kerja sama baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa kendala yang dihadapi mencakup:

Pertama, Tantangan Keamanan. Konflik di LCS dapat berpotensi mengakibatkan eskalasi militer, yang berpotensi membahayakan keamanan nasional Indonesia. Solusi untuk tantangan ini memerlukan upaya diplomasi intensif dan tindakan preventif untuk menghindari konflik berskala besar di kawasan tersebut.

Kedua, Implikasi Ekonomi. Konflik di LCS menciptakan ketidakpastian terkait dengan jalur pelayaran internasional, yang dapat berdampak negatif pada ekonomi Indonesia.

Ketiga, Tantangan Diplomatik. Persaingan kepentingan antara negara-negara yang terlibat dalam konflik LCS dapat menyulitkan upaya diplomatik Indonesia untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.

Keempat, Dampak Lingkungan. Aktivitas konstruksi pulau buatan dan eksploitasi sumber daya alam di LCS dapat merusak ekosistem laut, menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan.

 

Upaya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala di atas antara lain:

Pertama, Diplomasi Aktif. Indonesia dapat terus berperan sebagai mediator dan fasilitator dialog antara negara-negara yang bersengketa di LCS. Diplomasi aktif di tingkat internasional dapat membantu membangun kesadaran akan pentingnya perdamaian dan kerjasama di kawasan.

Kedua, Penguatan Kemampuan Militer. Untuk menjaga kedaulatan maritim, Indonesia dapat memperkuat kemampuan militer dan pengawasan di wilayah perairannya. Peningkatan investasi dalam angkatan laut dan alat-alat pemantauan maritim menjadi esensial.

Ketiga, Kerjasama Regional. Indonesia dapat meningkatkan kerjasama regional dengan negara-negara tetangga dan mitra regional untuk memitigasi dampak konflik. ASEAN dapat menjadi platform penting untuk memperkuat solidaritas dan keseimbangan di kawasan.

Keempat, Pembangunan Ekonomi Wilayah. Untuk mengatasi dampak ekonomi, Indonesia dapat fokus pada pembangunan ekonomi di wilayah-wilayah terdekat LCS. Investasi dalam infrastruktur, pelatihan keterampilan, dan diversifikasi ekonomi dapat membantu mengurangi kerentanan terhadap ketidakpastian ekonomi.

 

 

Kesimpulan.

Indonesia tidak memiliki sengketa dengan China dan negara-negara penggugat lainnya mengenai masalah Laut China Selatan. Sengketa di Perairan Natuna Utara terjadi karena alasan ekonomi, geostrategi dan latar belakang politik. Sikap Indonesia terhadap China di LCS sangat bergantung pada pilihan perspektif Indonesia dan kepentingan Indonesia. Menjaga kedaulatan, Indonesia perlu mempertimbangkan kekuatan militer Indonesia dan dalam arti diplomasi serta peran mediator, perantara yang jujur, dan pembangun kepercayaan dalam penanganan konflik Laut Cina Selatan. Sebagai negara yang tidak terlibat langsung (non-claimant state) di LCS, Indonesia perlu menjaga kedaulatan, stabilitas regional, dan pembangunan nasional. Salah satunya adalah Indonesia untuk lebih memperhatikan daerah terluar, terdepan, dan tertinggal.

 

Saran.

Esai ini mengusulkan beberapa saran atau rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia. Pertama, memperjelas dan memperkuat mekanisme penjaga pantai di perairan Laut Cina Selatan pada khususnya. Indonesia dapat memiliki mekanisme kekuatan maksimal dengan memberikan mandat kepada TNI atau menggunakan mekanisme kekuatan minimum dengan memberikan mandat kepada penjaga pantai dan perairan khusus seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla) atau meningkatkan kerja sama antara kedua pihak dalam pelaksanaan keamanan maritim. Peningkatan anggaran pertahanan menjadi 130 triliun rupiah belum mampu mempersiapkan dan menjangkau MEF atau Kekuatan Pokok TNI baik secara kuantitas maupun kualitas. Peningkatan anggaran pertahanan dan keamanan laut juga tidak akan mampu mengejar perkembangan situasi dan perkembangan kekuatan daerah yang sangat dinamis. Indonesia tidak ingin kepulauan Sipadan dan Ligitan terulang kembali. Selain itu, Indonesia tidak ingin kehilangan satu inci pun negara kembali ke kepemilikan asing.

Kedua, memperkuat sanksi di kawasan ZEE Indonesia kepada negara-negara yang mengklaim zona konflik. Rekomendasi ini diperlukan karena sikap Pemerintah Indonesia cenderung pasif dan tidak pantas. Menyadari posisi tawar Indonesia dalam perekonomian sebagai pasar yang besar dan memiliki hubungan baik dengan China di sektor ekonomi dan investasi, seharusnya dapat menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran di kawasan ZEE Indonesia sebagaimana dapat dilakukan tanpa khawatir kehilangan hubungan ekonomi. Konflik harus dibawa ke meja perundingan, baik melalui diplomasi jalur pertama maupun jalur kedua.

Ketiga adalah melakukan diplomasi preventif dalam penanganan IUU Fishing di Laut Natuna Utara. Upaya diplomasi preventif untuk mencegah praktik IUU Fishing, termasuk melalui perundingan bilateral untuk mengakui hukum UNCLOS atau forum multilateral seperti ADMM secara timbal balik. Upaya untuk membantu memobilisasi nelayan Indonesia ini tidak secara langsung mencakup sumber daya perikanan, baik secara kuantitas maupun kualitas, dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Keempat adalah meningkatkan kepemimpinan di ASEAN dalam negosiasi Code of Conduct regional. Indonesia harus sekali lagi memegang kursi kepemimpinan dan membentuk langkah-langkah membangun kepercayaan untuk menciptakan rasa saling percaya sehingga negosiasi tentang Kode Etik dapat diselesaikan dengan benar dan tepat waktu.

Kelima adalah meningkatkan kerja sama keamanan dengan negara-negara pasifik. Peningkatan kerja sama dengan negara-negara Pasifik, terutama di bidang keamanan, dapat menghasilkan efek penyeimbangan pada perilaku China di kawasan ini. Konsep komunitas Indo Pasifik dapat meningkatkan solidaritas negara-negara di Asia Tenggara dan Pasifik dalam menghadapi perilaku agresif China di LCS.

Keenam, menggunakan keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 untuk membawa isu stabilitas di kawasan Asia Pasifik menjadi perhatian internasional. Stabilitas kawasan ini sangat krusial karena merupakan kawasan strategis bagi jalur perdagangan dan distribusi dunia. Jika perlu, Indonesia mengusulkan untuk mendesain ulang UNCLOS, termasuk mengundang China untuk berpartisipasi dalam perumusan pasal-pasal di UNCLOS.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agus Setiadji (2012), http://agussetiadji.blogspot.com/2012/06/teori-trinitasangkatan-laut.html, last accessed 30 Juni 2020

Dispenal (2006), Diplomasi Pertahanan Indonesia-AS.

Dobson, Willian J. dan M. Taylor Fravel. "Red Herring Hegemon: China in the South China Sea." Current History (September 1997).

Fravel, T. M. (2012). The U.S. and China in Regional Security: Implication for Asia and Europe Paper presented at the Berlin Conference on Asian Security 2012, Berlin.

Gupta, M. (2010) Indian Ocean Region: Maritime Regimes for Regional Cooperation, London: Springer. P: 52

Hadi Tjahjanto (2017), https://mediaindonesia.com/read/detail/135355-marsekalhadi-wilayah-laut-indonesia-rawan

Hyer, Eric. "The South China Sea Disputes: Implications of China's Earlier Territorial Settlements." Pacific Affairs, Vol. 68, No. 1 (Spring 1995), page. 34-54

Kompas Nasional. December 26, 2019. Diakses di https://nasional.kompas.com/read/2019/12/26/11302961/15-tahun-lalu-jusuf-kalla-tsunami-aceh-dan-perdamaian-di-serambi-mekkah?page=all

The South China Sea dispute: January 2016 update. Briefing Paper No. 7481, January 28, 2016. London: House of Commons Library.

Muhtazam Arifin (2014), Diplomasi Pertahanan, http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/135850-T+28012-Diplomasi+pertahanan-Pendahuluan.pdf.

Nurdiansyah, Dickry (2018), Strategi dan Pertahanan Maritim Nusantara. Yogya : Diandra Press.

Nurdiansyah, Dickry (2020), Recalling Indonesia’s Maritime Path. Makassar : Nas Media Pustaka.

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gajah Mada (2016), https://pssat.ugm.ac.id/id/indonesia-second-track-diplomacy-penyelesaian-sengketa-laut-China-selatan-2015/

Qi, Huaigao. Joint Development in the South China Sea: China's incentives and policy choices. Journal of Contemporary East Asia Studies, 8:2, 220-239, DOI: 10.1080/24761028.2019.1685427

Simatupang, Goldy Evy Grace (2020), https://www.fkpmar.org/diplomasi-pertahanan-asean-dalam-rangka-stabilitas-kawasan/

Siwi Sukma Adji (2019), https://mediaindonesia.com/read/detail/274335-ksal-usulkan-kerja-sama-angkatan-laut-asean 

Smith, Esmond D., Jr. "China's Aspirations in the Spratly Islands." Contemporary Southeast Asia, Vol. 16, No. 3 (Desember, 1994), page. 274-294.

Till, Geoffrey. Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. New York: Routledge, 2009.

Tonnesson, S. (2001) An International History of the Dispute in the South China Sea. EAI Working Paper No. 71.

Wines, Michael. "Dispute Between Vietnam and China Escalates Over Competing Claims in the South China Sea." New York Times. http://www.nytimes.com/2011/06/11/world/asia/11vietnam.html?_r=1

Yujuico, E. (2015) The real story behind the South China Sea dispute. Situation Analysis. London: London School of Economics and Political Science.

Zha, Daojiong. "Localizing the South China Sea Problem: The Case of China's Hainan." Pacific Review, Vol. 14, No. 4 (2001), page. 575- 598.

Zweig, David dan Bi Jianhai. "China's Global Hunt for Energy." Foreign Affairs, Vol. 84, No. 5 (September-Oktober 2005), page. 25-38

 

 

Ikuti tulisan menarik Dickry R Nurdiansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler