x

Ketua KPU Hasyim Asy\x27ari saat mengikuti Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pemilu 2024 atas gugatan Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 di Gedung Mahkamah Kontitusi, Jakarta, Rabu 27 Maret 2024. TEMPO/Subekti

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Minggu, 31 Maret 2024 07:49 WIB

Peringatan Keras Terakhir untuk Ketua KPU, Mau Berapa Kali?

Ketika seorang terhukum/tersanksi pelanggar kode etik telah dijatuhi peringatan keras terakhir sekali saja, menurut nalar publik sanksi berikutnya mestinya lebih berat lagi dan tuntas. Alias harus dipecat. Lantas mengapa DKPP masih terus saja menjatuhi sanksi “peringatan keras terakhir”? Kapan akhir dari yang terakhir-nya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekira sepuluh hari lalu (20 Maret 2024), Ketua KPU RI kembali disanksi dengan peringatan keras oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Isu ini agak sepi dari pemberitaan dan percakapan. Boleh jadi hal ini disebabkan oleh karena perhatian publik saat ini sedang tertuju pada proses PHPU di Mahkamah Konstitusi (MK). Atau, bisa juga karena bosan dengan putusan “tak berguna” yang terus berulang ini.

Pelanggaran kode etik oleh Ketua KPU, Hasyim Asy’ari dan beberapa komisioner lainnya ini memang sudah yang kesekian kali terjadi dan diputuskan oleh DKPP. Khusus untuk Hasyim Asy’ari selaku Ketua KPU kartu kuning ini sudah kali yang kelima.

Pertama kali diberi peringatan keras terakhir saat terbukti melanggar etik karena melakukan perjalanan pribadi dari Jakarta ke Yogyakarta bersama Hasnaeni atau dikenal sebagai wanita emas, Ketua Umum Partai Republik Satu. Kedua, peringatan keras kembali dijatuhkan DKPP karena salah hitung kuota minimal 30 persen perempuan calon anggota DPR dan DPRD.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, peringatan keras terakhir karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka tanpa mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19/2023, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang kontroversial hingga saat ini. Keempat, mendapat sanksi peringatan karena mencoret calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara periode 2023-2028 atas nama Linda Hepy Kharisda Gea.

Dan Kelima atau (sementara) yang terakhir adalah peringatan keras kembali karena kasus pencoretan nama Irman Gusman, Calon Anggota DPD Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat yang diputuskan 20 Maret lalu. Kenapa “sementara”, karena saat ini masih ada satu lagi perkara dugaan pelanggaran kode etik yang masih dalam proses persidangan di DKPP, yakni terkait kebocoran data DPT Pemilu 2024.

Sejak peringatan keras terakhir karena kasus pendaftaran Gibran sebagai Cawapres dijatuhkan DKPP, deretan kasus pelanggaran kode etik ini sebetulnya telah menimbulkan pertanyaan di berbagai kalangan masyarakat khususnya pegiat dan pemerhati Pemilu serta masyarakat sipil pada umumnya.

Mengapa hanya peringatan dan terus peringatan saja, padahal diantara sanksi untuk Hasyim itu ada yang dengan eksplisit berbunyi “peringatan keras terakhir”. Lantas, “terakhirnya” itu kapan? Apakah DKPP memiliki aturan legal sendiri tentang diksi “peringatan keras terakhir” itu?

 

Kewenangan DKPP

Bersama-sama dengan KPU dan Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan satu kesatuan fungsi sebagai penyelenggara Pemilu, yang misinya adalah menjaga dan menegakan martabat serta kehormatan penyelenggara Pemilu. Di dalam Pasal 1 angka 24 dan Pasal 457 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, bahwa tugas DKPP menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.

Kemudian di Pasal 458 UU 7 Tahun 2017 yang sama dijelaskan, bahwa DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut, mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi, serta mempertimbangkan bukti lainnya (ayat 10). Putusan mana bisa berupa sanksi atau rehabilitasi.

Jika putusan tersebut berupa sanksi, didalam ayat (12) dijelaskan sanksi itu secara opsional dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap untuk Penyelenggara Pemilu. Dan pada ayat (13) ditegaskan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat.

Perihal sanksi terhadap penyelenggara Pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik diatur lebih detail di dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Di dalam Pasal 21 Peraturan DKPP ini disebutkan, bahwa DKPP berwenang menjatuhkan sanksi terhadap Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Sanksi sebagaimana dimaksud didalam Pasal 21 tersebut secara opisonal bisa berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap (Pasal 22 ayat 1). Kemudian pada ayat 2 Pasal 21 ini disebutkan bahwa teguran tertulis itu berupa peringatan atau peringatan keras. Dan pada ayat 3-nya dinyatakan bahwa sanksi pemberhentian bisa berupa pemberhentian dari jabatan Ketua atau pemberhentian tetap sebagai anggota (komisioner) KPU.

Dari beberapa norma ketentuan tersebut dapat disimpulkan. Pertama sanksi berupa teguran tertulis hanya ada dua kategori, yakni peringatan dan peringatan keras. Entah bagaimana pertimbangannya DKPP kemudian mengintrodusir dan memberlakukan  kategori teguran yang ketiga, yakni “peringatan keras terakhir”.

Terkait hal itu, baik di UU Pemilu maupun didalam Peraturan DKPP memang tidak ditemukan norma tertulis dan penjelasannya mengenai frasa “peringatan keras terakhir” ini. Apa maksudnya dan bagaimana konsekuensi dari sanksi teguran kategori ketiga ini. Misalnya jika yang bersangkutan telah menerima teguran “peringatan keras terakhir” lebih dari satu kali apa konsekuensi atau implikasi hukum selanjutnya.

Tetapi jika menggunakan logika, setidaknya common sense (akal sehat) publik, pelanggar kode etik yang telah lebih dari satu kali mendapatkan sanksi teguran berupa “peringatan keras terakhir”, mestinya berlanjut ke level sanksi yang lebih berat yakni pemberhentian (baik dari jabatan Ketua atau status sebagai anggota KPU). Bukan malah dijatuhi lagi sanksi yang sama, yaitu “peringatan keras terakhir” lagi.     

Kedua, bahwa DKPP memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian, termasuk pemberhentian tetap sebagai anggota KPU. Sekali lagi, dalam nalar sehat publik, ketika seorang terhukum/tersanksi pelanggar kode etik telah dijatuhi peringatan keras terakhir sekali saja, maka tahapan sanksi berikutnya mestinya lebih berat lagi level atau kualifikasinya dan tuntas. Dan itu tidak ada opsi lain kecuali pemberhentian.

Pada titik inilah maka kemudian, sekali lagi publik pantas mempertanyakan, mengapa DKPP masih terus saja menjatuhi sanksi “peringatan keras terakhir”? Bukan pemberhentian. Lantas, “akhir dari yang terakhir” itu kapan dan bagaimana?

 

Spekulasi Politis

Dampak dari lima “kartu kuning” untuk Ketua KPU RI ini, yang sekali lagi jika menggunakan nalar sehat publik mestinya sudah sampai pada level sanksi yang lebih berat namun faktanya (sangat mungkin) masih akan terus berlanjut dengan “peringatan keras terakhir” untuk kesekian kalinya nanti, spekulasi politik kemudian berkembang.

Spekulasi yang pertama, seperti dialami elit-elit partai politik, pimpinan DKPP mungkin juga “tersandera” oleh kekuasaan. Bukan karena dugaan kasus korupsi dan yang sejenisnya. Melainkan “tersandera” oleh jasa yang harus dibalas ketika mereka terpilih dulu, baik kepada partai politik maupun Presiden.

Spekulasi yang kedua DKPP terlampau “peduli” dengan dinamika politik elektoral yang masih panas. Dalam konteks ini mereka boleh jadi berpikir bahwa terlalu riskan untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Ketua KPU dalam situasi perhelatan Pemilu masih berlangsung dan tengah memasuki fase sangat krusial.

Padahal mestinya DKPP tegak lurus saja dengan norma dan mekanisme yang tersedia terkait implikasi misalnya Ketua KPU dijatuhi sanksi pemberhentian. Pemberhentian ini, apalagi hanya satu orang komisioner mestinya tidak perlu menggangu jalannya Pemilu.

UU Pemilu sudah menyediakan norma dan mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota KPU. Dan satu dari tujuh calon anggota PAW (waiting list) saya kira dalam posisi siaga setiap waktu untuk memenuhi panggilan tugas negara dan tugas demokrasi. Kedua aspek ini yang akan memastikan bahwa tahapan Pemilu tidak akan terganggu.

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB