Bahaya Perfeksionisme Ketika Berguna Menjadi Beban

Minggu, 26 Mei 2024 19:08 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Orang perfeksionis sering kali membenarkan tindakan dan keyakinan mereka dalam hal manfaat praktis. Mereka membayangkan utopia dan memperjuangkan cita-cita, namun jarang menikmati aktivitas demi kepentingan sendiri.

Wawasan Utama

  • Bermanfaat tidak sama dengan benar-benar membantu.
  • Kebaikan kronis bisa berasal dari sikap egois.
  • Obsesi untuk menjadi baik sering kali menghalangi fleksibilitas.
  • Berjuang untuk kebaikan kadang-kadang harus menjadi imbalan tersendiri.

Ilusi Utilitas dalam Perfeksionisme

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam upaya peningkatan diri dan kontribusi masyarakat, mantra “selalu berguna” bisa menjadi pedang bermata dua. Buku Arnold Schwarzenegger yang berjudul "Be Useful" (Jadilah Berguna), yang terinspirasi oleh ungkapan ayahnya, melambangkan pola pikir ini. Sebagai seorang yang memproklamirkan diri perfeksionis, Schwarzenegger membingkai hidupnya berdasarkan kemajuan dan kegunaan, selalu fokus pada pencapaian masa depan. Namun, perspektif ini mengungkapkan ketidakmampuan kronis untuk menikmati momen saat ini, sebagaimana tercermin dalam tulisan dan dokumenternya.

Orang yang perfeksionis sering kali membenarkan tindakan dan keyakinan mereka dalam hal manfaat praktis, baik untuk kesuksesan mereka sendiri atau komunitas mereka. Mereka membayangkan utopia dan memperjuangkan cita-cita, namun jarang menikmati aktivitas demi kepentingan mereka sendiri. Upaya yang signifikan akan menghasilkan ekspektasi yang tinggi, dan jika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, hal ini akan menimbulkan kepahitan dan ketidakpuasan.

Sifat Kebaikan yang Kompleks

Apa yang dimaksud dengan menjadi baik semata-mata demi kebaikannya sendiri? Bagi orang yang perfeksionis, menjadi berguna bukan hanya sebuah tujuan, melainkan sebuah harapan yang mereka proyeksikan kepada orang lain. Ketika ditanya tentang tujuan intrinsik dari kebaikan, mereka sering kesulitan untuk menjawabnya, karena mereka sudah menginternalisasikan kebutuhan untuk mewujudkannya tanpa pemahaman yang jelas tentang alasannya. Keasyikan untuk menjadi baik ini menjadi perilaku refleksif, sebuah standar kaku yang mereka terapkan pada diri mereka sendiri dan orang lain.

Ketika upaya mereka tidak dibalas, orang yang perfeksionis akan merasakan ketidakadilan yang mendalam. Tindakan mereka, didorong oleh keinginan untuk mengendalikan dunia melalui kebaikan dan kegunaan, sering kali terasa hampa jika tidak dihargai. Kenyataan pahit bahwa melakukan hal yang benar tidak selalu membawa hasil positif memperburuk rasa frustrasi mereka.

Perjuangan Hubungan Perfeksionis

Bertentangan dengan asumsi bahwa berusaha menjadi pasangan atau teman yang baik akan menghasilkan hubungan yang sehat, orang yang perfeksionis sering kali menghadapi tantangan interpersonal yang signifikan. Pemikiran mereka yang kaku dan ketergantungan pada strategi yang sudah terbukti menghambat hubungan yang sejati. Pasangan dan teman mungkin merasa seolah-olah mereka ditenangkan daripada dilibatkan secara otentik, sehingga mempertanyakan motif sebenarnya dari orang yang perfeksionis.

Bagi orang yang perfeksionis, hidup adalah sebuah jalur linier dengan hasil yang dapat diprediksi: "Jika saya melakukan ini, itu akan terjadi." Pola pikir ini menyamakan kegunaan dengan prediktabilitas, namun dalam praktiknya, sering kali menjadi bumerang. Ketika sebuah metode yang dipelajari dalam terapi gagal memperbaiki suatu hubungan, atau ketika pencapaian pribadi tidak menghasilkan imbalan yang nyata, rasa berguna dari orang yang perfeksionis akan hancur.

Merangkul Fleksibilitas dan Keaslian

Pertumbuhan sejati terkadang membutuhkan pelepasan kebutuhan akan kemajuan terus-menerus dan merangkul saat-saat hening. Dalam terapi, perfeksionis berjuang dengan sesi yang tampaknya tidak memberikan hasil langsung. Namun, sesi seperti ini dapat mendorong pertumbuhan dengan menantang orang yang perfeksionis untuk menoleransi ambiguitas dan ketidaksempurnaan.

Apa yang bermanfaat belum tentu bermanfaat. Keingintahuan yang tulus dan spontanitas dalam interaksi sering kali menghasilkan hubungan yang lebih bermakna daripada berpegang teguh pada naskah. Ketika pasangan mempertanyakan ketulusan di balik kebaikan seorang perfeksionis, menjadi jelas bahwa keaslian, bukan kegunaan, harus menjadi fokus.

Mendefinisikan Ulang Harapan dan Motivasi

Perfeksionisme moral, yang didorong oleh keinginan akan rasa aman dan kendali, sering kali menghalangi keintiman sejati. Dengan menyadari bahwa kebaikan murni adalah cita-cita yang tidak mungkin tercapai, para perfeksionis dapat mulai melepaskan obsesi mereka terhadap hal tersebut. Refleksi diri dapat mengungkapkan bagaimana kebaikan yang kronis dapat menghambat hubungan yang lebih dalam dan menyebabkan kebencian ketika kebaikan tidak dibalas.

Utilitas dan moralitas ada tempatnya, namun harus seimbang. Hubungan tidak boleh sepenuhnya bersifat transaksional. Perbuatan baik dan bermanfaat terkadang harus dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Imbalan diam-diam dari menjadi baik demi kebaikan bisa sangat memuaskan.

Kesimpulan

Pengejaran kesempurnaan yang tiada henti oleh perfeksionisme sering kali menciptakan hambatan terhadap hubungan sejati dan kepuasan pribadi. Dengan memahami dan memitigasi kelemahan pola pikir ini, individu dapat belajar menghargai momen karena nilai bawaannya, menerima fleksibilitas, dan memupuk hubungan yang lebih autentik. Pada akhirnya, menjadi orang baik dapat dan harus menjadi ganjarannya sendiri, memperkaya kehidupan dengan cara yang tidak dapat dilakukan hanya dengan cara yang bermanfaat.

***

Solo, Minggu, 26 Mei 2024. 10:10 am

Suko Waspodo

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler