Kemerdekaan Semu, Penjajahan Baru

Jumat, 9 Agustus 2024 19:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content1
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia telah merdeka sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, apakah negeri ini sudah benar-benar merdeka?

Setiap Agustus bangsa Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya dengan gegap gempita, seolah negeri ini baru merdeka kemarin sore. Ada upacara bendera, karnaval, aneka lomba, dan sejumlah kemeriahan lainnya. Namun, sudahkah bangsa ini benar-benar merdeka? Apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya?

Suatu negara disebut merdeka apabila memiliki kedaulatan untuk mengatur urusan dalam negeri dan luar negerinya tanpa campur tangan atau kontrol dari kekuatan atau negara asing. Kedaulatan itu mencakup berbagai bidang seperti politik, ekonomi, pertahanan, budaya, dan hak-hak warga negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Negara disebut merdeka apabila secara politik memiliki wewenang untuk membuat dan menjalankan undang-undang serta kebijakan yang dianggap terbaik untuk warganya. Secara pertahanan-keamanan memiliki kontrol penuh atas wilayahnya dan dapat melindungi batas-batasnya dari ancaman eksternal, termasuk memiliki kemampuan untuk membangun dan memelihara angkatan bersenjata sendiri.

Negara disebut merdeka apabila secara ekonomi mampu mengelola sumber daya alam, produksi, dan distribusi tanpa ketergantungan berlebihan pada negara lain. Dan secara budaya memiliki kebebasan untuk mengembangkan, melestarikan, dan mempromosikan budaya, bahasa, dan tradisi tanpa intervensi dari luar.

Selain itu, negara disebut merdeka apabila hak-hak sipil dan kebebasan warga negara juga dihargai, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, beragama, dan hak untuk memilih pemimpin mereka melalui proses demokratis.

 

Realitas

Secara formal Indonesia telah merdeka sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka, bisa dilihat dari beberapa aspek yang lebih luas dan mendalam.

Di bidang politik Indonesia telah memiliki pemerintahan yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Namun, tantangan seperti korupsi, nepotisme, dan pengaruh kekuatan politik tertentu masih ada, yang dapat menghambat kedaulatan politik yang sejati.

Di bidang ekonomi, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi masih ada ketergantungan pada investasi asing dan pinjaman luar negeri. Tantangan dalam hal distribusi kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi juga masih menjadi isu utama.

Di bidang pertahanan-kemanan, Indonesia telah mampu menjaga keamanannya sendiri. Namun, tantangan dari separatisme, terorisme, dan konflik internal masih ada dan perlu terus dikelola dengan baik.

Di bidang budaya, Indonesia kaya akan budaya, bahasa, dan tradisi yang beragam. Namun, pengaruh globalisasi dan budaya asing dapat menjadi tantangan dalam pelestarian identitas budaya lokal.

Di bidang hak-hak asasi manusia dan kebebasan sipil, Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan sejak era reformasi. Meskipun demikian, pelanggaran hak asasi manusia, kebebasan pers yang terancam, dan isu-isu hak minoritas masih memerlukan perhatian.

 

Ketimpangan

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, lebih awal dibanding beberapa negara lain di Asia Tenggara. Malaysia baru merdeka pada 31 Agustus 1957, Singapura pada 9 Agustus 1965, dan Brunei Darussalam merdeka pada 1 Januari 1984. Namun, jika dilihat tingkat kemakmuran dan kesejahteraan warganya, tampak Indonesia masih kedodoran. Ini artinya ada “masalah” di negeri ini.

Masalah utama di negeri ini –dan sekaligus menjadi pekerjaan rumah setiap pemerintahan— adalah belum terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan sila kelima dari Pancasila. Kue pembangunan masih belum terbagi secara adil dan cenderung menguntungkan sekelompok kecil masyarakat.

Data Global Wealth Report 2018 Credit Suisee, sebagaimana dikutip Jakarta News (11/10/2019), melaporkan bahwa distribusi kekayaan di Indonesia masih sangat timpang. Data itu melaporkan bahwa 1% penduduk Indonesia pada tahun 2018 memiliki kekayaan sebesar 47% dari total kekayaan Indonesia. Kalau diperlebar menjadi 10%, maka 10% penduduk Indonesia menguasai 75% kekayaan negeri ini. Sangat timpang.

Begitu juga laporan LSM asal Inggris Oxfam pada tahun 2017, dengan mengacu pada Global Wealth Databook, menyatakan bahwa harta milik empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin di Indonesia. Itu berarti 38,4% penduduk Indonesia.

Aset seperti tanah dan properti juga tidak terdistribusi secara merata. Sebagian besar lahan produktif dikuasai oleh segelintir perusahaan besar dan individu kaya, sementara banyak masyarakat pedesaan dan petani memiliki lahan yang sangat terbatas.

Terkait dengan penguasaan lahan, Ombudsman Republik Indonesia pada 2017 mengungkapkan, bahwa penguasaan dan kepemilikan lahan di Indonesia juga timpang, karena 0,2% penduduk (500.000 orang) ternyata menguasai dan memonopoli 74% luas lahan di negeri ini. Data-data ini tentu menunjukkan ketimpangan sekaligus ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.

 

Perilaku koruptif

Mengapa ketimpangan terjadi? Sebab pokoknya adalah masih maraknya perilaku koruptif di negeri ini. Perilaku korupsi masih mendominasi pengelolaan negeri ini. Tidak hanya dilakukan oleh pejabat negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, tapi juga didukung kalangan swasta.

Ketika Komisi Pemberatan Korupsi (KPK) masih bertaji, sering terdengar berita pejabat negara ditangkap karena korupsi, baik itu bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, jaksa, polisi, bahkan hakim. Tapi, kini berita semacam itu nyaris tak terdengar.

Bukan karena korupsinya tidak ada, tapi karena lembaga KPK telah dilemahkan sedemikian rupa. UU baru KPK yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR telah menjadikan KPK kehilangan banyak wewenang, sehigga seperti macan ompong, sosoknya menakutkan tapi tidak bertaji.

Wujud perilaku koruptif bisa bermacam-macam. Perilaku koruptif yang dilakukan oleh penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) bisa berupa memberi keuntungan kepada pihak yang menyuap, sehingga kebenaran menjadi milik orang yang membayar, bukan milik orang yang punya hak dan kebenaran.

Di masyarakat koruptif, hukum menjadi komoditi yang bisa dijual dan dibeli. Makelar kasus adalah biasa. Dan dalam kondisi seperti itu, keadilan dan kebenaran hanya sebuah ilusi bagi orang-orang yang tidak berduit.

Perilaku korupsi yang dilakukan pejabat bisa berupa menggarong uang negara, bisa juga dengan memberi fasilitas tidak sewajarnya kepada mereka yang dianggap dekat atau memberi dukungan politik kepadanya saat pencalonan. Lalu sebagai imbalan, pejabat itu membagi-bagi jabatan atau proyek kepada pihak-pihak yang telah membantunya.

Akhirnya, pejabat ini tidak bertindak sebagai pelayan masyarakat, tapi lebih mengabdi pada kepentingan orang-orang yang telah menyokongnya. Yang lebih berbahaya adalah bila para penyokong di balik kekuasaan itu adalah para taipan.

Di negeri yang dikuasai taipan, dengan uangnya mereka bisa membeli segalanya. Mereka bisa membeli orang dan pejabat, membeli perkara, membeli hukum, membeli proyek, bahkan membeli peraturan dan undang-undang. Tokoh agama pun bisa dibeli.

Ketika pimpinan partai dibeli, anggota legislatif dibeli, pejabat pemerintah dibeli, penegak hukum dibeli, tokoh agama dibeli, maka hasilnya pada akhirnya adalah paduan suara yang menguntungkan kepentingan taipan, bukan rakyat kebanyakan.

Di negeri yang dikuasai para taipan, para pejabat hanyalah boneka. Mereka membuat keputusan bukan untuk kepentingan negara dan rakyatnya, tapi untuk kepentingan taipan yang telah membelinya. Di tangan pejabat korup, negara bisa-bisa dijual secara perlahan kepada sekelompok kecil masyarakat yang berduit tak terbatas.

Bagi orang yang sadar dan mengerti, keadaan seperti ini bisa menjadi pertanda datangnya prahara dan kehancuran. Allah Swt berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Isra ayat 19:

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, sehingga sepantasnya berlaku ketentuan (Kami) terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.***

Lamongan, 8 Agustus 2024.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Salim Syukran

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Kemerdekaan Semu, Penjajahan Baru

Jumat, 9 Agustus 2024 19:02 WIB
img-content

Keunggulan Pendidikan di Pondok Pesantren

Senin, 5 Agustus 2024 22:13 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler