Penulis Partikelir, Menikmati hidup dengan Ngaji, Ngopi dan Literasi
Ngabuburit, dari Semula Kegiatan Keagamaan jadi Budaya Konsumtif
Minggu, 9 Maret 2025 08:07 WIB
Ngabuburit bukan sekadar kebiasaan menunggu azan magrib, tapi juga bagian dari budaya Ramadan. Simak kisahnya dari masa ke masa.
Bulan Ramadan selalu membawa kebiasaan khas yang hanya muncul setahun sekali. Salah satunya adalah ngabuburit. Kata ini begitu akrab di telinga, tetapi pernahkah kita bertanya-tanya dari mana istilah ini berasal dan bagaimana sejarahnya?
Apakah ngabuburit hanya sekadar menunggu waktu berbuka atau ada makna lebih dalam di baliknya? Mari kita telusuri sejarah dan perkembangan istilah ngabuburit dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Asal-Usul Istilah Ngabuburit
Ngabuburit berasal dari bahasa Sunda, yang awalnya merupakan bentuk dari kata dasar burit, yang berarti "sore" atau "menjelang senja". Kata ini kemudian mendapat imbuhan nga- yang dalam bahasa Sunda berfungsi untuk membentuk kata kerja. Secara harfiah, ngabuburit berarti "menghabiskan waktu di sore hari". Namun, dalam konteks Ramadan, istilah ini merujuk pada kegiatan menunggu waktu berbuka puasa dengan berbagai aktivitas.
Istilah ngabuburit kemudian meluas ke berbagai daerah di Indonesia dan menjadi bagian dari kosakata nasional yang digunakan oleh banyak orang, bahkan di luar komunitas berbahasa Sunda. Fenomena ini menunjukkan betapa bahasa daerah bisa memengaruhi budaya yang lebih luas, terutama jika istilah tersebut memiliki relevansi dengan kebiasaan masyarakat secara umum.
Sejarah Ngabuburit di Indonesia
Tradisi ngabuburit sudah ada sejak lama, terutama di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Di masa lalu, ngabuburit lebih sering dikaitkan dengan kegiatan keagamaan seperti membaca Al-Qur'an, mengikuti pengajian, atau membantu menyiapkan makanan berbuka di masjid dan rumah. Namun, seiring perkembangan zaman, cara masyarakat mengisi waktu ngabuburit semakin beragam.
Di era 80-an dan 90-an, ngabuburit banyak diisi dengan permainan tradisional bagi anak-anak, seperti layangan, petak umpet, atau gobak sodor. Sementara bagi orang dewasa, kegiatan ngabuburit lebih sering berupa jalan-jalan sore, ngobrol santai di warung kopi, atau mendengarkan siaran radio yang membahas tema Ramadan.
Ketika teknologi semakin berkembang, terutama dengan hadirnya media sosial, ngabuburit pun mengalami transformasi. Kini, banyak orang ngabuburit dengan scrolling media sosial, menonton video pendek, atau mengikuti siaran langsung kajian daring. Bahkan, banyak konten kreator yang secara khusus membuat konten ngabuburit untuk menemani para pengikutnya menjelang berbuka.
Ngabuburit: Antara Budaya dan Konsumerisme
Meskipun ngabuburit awalnya lebih banyak diisi dengan kegiatan sederhana, kini banyak yang menjadikannya ajang konsumtif. Masyarakat ramai-ramai mengunjungi pusat perbelanjaan, berburu jajanan takjil, atau sekadar nongkrong di kafe sambil menunggu waktu berbuka. Tidak jarang, ngabuburit justru berubah menjadi ajang berbelanja impulsif atau sekadar menghabiskan waktu tanpa manfaat yang jelas.
Di sisi lain, ada juga yang tetap menjaga esensi ngabuburit dengan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti berbagi takjil, membaca buku, atau melakukan kegiatan sosial. Ini menunjukkan bahwa meskipun ngabuburit telah berkembang menjadi fenomena budaya yang luas, setiap orang tetap memiliki pilihan untuk mengisi waktunya dengan cara yang lebih berfaedah.
Ngabuburit di Berbagai Daerah
Meskipun istilah ngabuburit berasal dari Sunda, setiap daerah memiliki tradisi sendiri dalam menunggu waktu berbuka. Di Yogyakarta, misalnya, ngabuburit sering dilakukan di kawasan Malioboro, di mana orang-orang berjalan santai sambil menikmati suasana senja. Di Jakarta, banyak yang memilih ngabuburit di taman kota atau kawasan kuliner seperti Pasar Benhil yang terkenal dengan jajanan takjilnya. Sementara di daerah pesisir, ngabuburit sering dilakukan di tepi pantai sambil menikmati pemandangan matahari terbenam.
Selain di Indonesia, tradisi menunggu waktu berbuka juga ada di berbagai negara Muslim. Di Timur Tengah, misalnya, banyak orang menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama keluarga atau membaca Al-Qur’an di masjid. Sementara di Turki, ngabuburit versi mereka sering diisi dengan pertunjukan seni budaya seperti musik Sufi dan tari darwis.
Ngabuburit yang Lebih Bermakna
Melihat perkembangan ngabuburit yang semakin beragam, pertanyaannya adalah: bagaimana agar ngabuburit kita lebih bermakna? Berikut beberapa ide ngabuburit yang tidak hanya menyenangkan tetapi juga bermanfaat:
- Membaca Buku atau Kajian Islami – Mengisi waktu dengan membaca atau mendengarkan kajian bisa menambah wawasan dan memperdalam pemahaman agama.
- Olahraga Ringan – Jalan santai atau bersepeda bisa menjadi pilihan ngabuburit sehat.
- Berbagi dengan Sesama – Membagikan takjil atau membantu orang lain adalah cara ngabuburit yang berpahala.
- Menulis atau Berkarya – Jika suka menulis, ini bisa menjadi waktu produktif untuk menuangkan ide.
- Bersama Keluarga – Momen Ramadan adalah saat yang tepat untuk mempererat hubungan keluarga melalui aktivitas sederhana seperti memasak bersama atau berbincang santai.
Kesimpulan
Ngabuburit bukan sekadar kebiasaan menunggu azan magrib, tetapi juga bagian dari budaya Ramadan yang terus berkembang. Dari asal-usulnya sebagai istilah Sunda hingga menjadi fenomena nasional, ngabuburit telah mengalami banyak perubahan, dari yang sederhana hingga yang sarat dengan unsur konsumtif. Namun, pada akhirnya, setiap orang memiliki pilihan untuk menjadikan ngabuburit sebagai kegiatan yang lebih bermakna.
Jadi, bagaimana ngabuburit versimu tahun ini? Apakah hanya sekadar jalan-jalan tanpa tujuan, atau justru diisi dengan kegiatan yang lebih berfaedah? Ramadan hanya datang sekali dalam setahun, dan setiap detiknya berharga. Yuk, manfaatkan ngabuburit dengan cara yang lebih positif dan berkesan!

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Sambutan Ramah nan Hangat di Hari Pertama Anak Masuk Sekolah
Rabu, 16 Juli 2025 17:04 WIB
Menjadi Budi Utomo Baru, Membayangkan dr Soetomo Aktif di Instagram
Rabu, 21 Mei 2025 13:20 WIBArtikel Terpopuler