Revisi UU TNI: Ketika Militer Merangsek Meja Sipil dengan Restu Negara

Kamis, 13 Maret 2025 19:28 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pasukan TNI Penjaga Perdamaian PBB
Iklan

Dwifungsi TNI kembali lagi? Revisi UU TNI buka jalan militer kuasai birokrasi & bisnis—demokrasi dalam bahaya.

Pembahasan revisi UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digulirkan DPR dan pemerintah bukan sekadar wacana teknis, melainkan pertarungan ideologis yang mengancam fondasi demokrasi Indonesia. Usulan perubahan ini, yang diklaim sebagai “penyesuaian kebutuhan zaman”, justru mencerminkan nostalgia akan kekuasaan otoriter masa lalu. Di balik retorika modernisasi, terdapat upaya sistematis untuk mengembalikan militer ke panggung politik dan birokrasi sipil—sebuah langkah yang berpotensi mengikis capaian Reformasi 1998 dan mengubur prinsip kedaulatan rakyat.

Poin pertama yang patut dikritik adalah perluasan jabatan sipil untuk prajurit aktif. Dalam draft revisi, frasa “kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif” menjadi pintu masuk bagi militer untuk merangsek ke ranah birokrasi. Fakta bahwa 2.569 prajurit aktif telah menduduki posisi sipil pada 2023—29 di antaranya di luar ketentuan UU TNI—menunjukkan betapa proses infiltrasi ini telah lama berjalan secara sistematis. Logika di balik perluasan ini bukanlah efisiensi atau kebutuhan kompetensi, melainkan upaya mempertahankan hegemoni melalui kontrol struktural. Ketika tentara mengisi jabatan sipil, terjadi peleburan antara fungsi pertahanan dan administrasi publik yang melahirkan paradoks: negara justru mengokohkan ketergantungan pada institusi bersenjata untuk mengurus urusan sipil, padahal demokrasi sehat mensyaratkan pemisahan tegas antara keduanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Praktik ini mengingatkan pada teori hubungan sipil-militer yang menekankan pentingnya “kendali objektif”, di mana militer harus tetap berada di bawah otoritas sipil yang demokratis. Namun, ketika tentara aktif menjadi bagian dari birokrasi, batas antara pengawas dan yang diawasi menjadi kabur. Militer tidak lagi menjadi alat negara, melainkan aktor yang mengkooptasi negara. Implikasinya, kebijakan publik berisiko direduksi menjadi kepentingan keamanan sempit, sementara hak-hak sipil dikorbankan atas nama stabilitas. Lebih berbahaya lagi, pola ini mereproduksi struktur kekuasaan feodalistik di mana karier birokrasi tidak lagi berdasarkan meritokrasi, melainkan kedekatan dengan institusi bersenjata.

Usulan penghapusan larangan bisnis bagi TNI adalah bentuk pengkhianatan terhadap janji reformasi. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan prajurit melalui anggaran negara yang transparan, negara justru melemparkan tanggung jawabnya ke pasar. Logika neoliberal ini berbahaya karena mengubah tentara menjadi entrepreneur berseragam yang rentan terlibat dalam praktik rente dan konflik kepentingan. Sejarah membuktikan, ketika militer terjun ke bisnis—seperti masa Orde Baru—yang muncul bukan kesejahteraan prajurit, melainkan konglomerasi kekuatan ekonomi-politik yang korup. Di tingkat makro, hal ini akan memperdalam ketimpangan karena militer memiliki akses istimewa ke sumber daya negara, sementara di tingkat mikro, prajurit di lapangan justru teralienasi dari tugas utamanya.

Persoalan yurisdiksi hukum semakin memperjelas watak regresif revisi ini. Dengan mempertahankan wewenang peradilan militer atas tindak pidana umum, negara secara terang-terangan menciptakan kasta hukum baru. Prajurit yang menjadi pejabat sipil akan kebal dari proses peradilan umum, padahal pelanggaran yang dilakukan mungkin terkait langsung dengan jabatan sipilnya. Sistem ini bukan hanya inkonstitusional—karena melanggar prinsip equality before the law—tetapi juga menjadi alat untuk melanggengkan impunitas. Dalam konteks ini, revisi UU TNI bukan sekadar kebijakan hukum, melainkan bentuk legalisasi kekebalan bagi aparatus kekerasan negara.

Lalu, mengapa upaya revisi ini muncul sekarang? Jawabannya terletak pada dinamika kekuasaan pasca-2024, di terjadi konsolidasi kekuatan oligarki lama dan baru. Militer, sebagai institusi dengan jaringan teritorial paling masif, menjadi mitra strategis untuk mengamankan proyek-proyek ekonomi dan politik elit. Revisi UU TNI adalah legalisasi atas hubungan simbiosis ini: militer mendapat perluasan mandat dan akses ekonomi, sementara kekuatan politik mendapat mesin mobilisasi yang efektif. Dalam kerangka ini, demokrasi elektoral hanya menjadi kedok bagi relasi kuasa yang patrimonial.

Yang tragis, revisi ini mengabaikan pelajaran sejarah. Dwifungsi TNI era Orba bukan hanya menghasilkan represi, tetapi juga degradasi profesionalisme militer itu sendiri. Ketika tentara sibuk mengurus politik praktis dan bisnis, kemampuan pertahanan justru terbengkalai—seperti terlihat dalam kasus lepasnya Sipadan-Ligitan atau minimnya alutsista. Ironisnya, revisi UU TNI justru mengulangi kesalahan yang sama dengan mengalihkan fokus militer dari tugas utamanya.

Masyarakat sipil harus menolak revisi ini bukan hanya karena bertentangan dengan konstitusi, tetapi karena ia merepresentasikan kemunduran cara berpikir. Alih-alih menjadi garda terdepan reformasi, DPR justru menjadi kepanjangan tangan eksekutif yang anti-kritik. Jika revisi ini diteruskan, Indonesia akan kembali ke zaman ketika seragam lebih berkuasa daripada surat suara, ketika hukum tunduk pada pangkat, dan ketika kedaulatan rakyat dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjadi pelayan publik. Saatnya mengubur revisi jumud ini dan menuntaskan agenda reformasi yang tertunda: membubarkan struktur teritorial, merevisi peradilan militer, dan mengembalikan TNI ke baraknya. Demokrasi terlalu mahal untuk dikorbankan demi ambisi segelintir orang.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler