Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.
Rambo: First Blood Part II – Kekerasan, Propaganda, dan Maskulinitas
Selasa, 18 Maret 2025 08:48 WIB
Rambo: First Blood Part II menyajikan aksi brutal, propaganda Perang Dingin, dan kritik sosial lewat ketegangan politik dan kekerasan
Pada tahun 1985, Rambo: First Blood Part II dirilis sebagai kelanjutan dari First Blood (1982), dan dengan cepat sekuel ini menjadi fenomena film aksi yang tak terlupakan. Mengambil latar belakang pasca-perang Vietnam, film ini menampilkan Sylvester Stallone sebagai John Rambo, seorang veteran perang yang mencoba untuk menebus masa lalunya dan memperbaiki hubungan dengan negaranya. Meskipun dipenuhi dengan aksi yang spektakuler, film ini juga mengandung lapisan-lapisan pesan politik dan sosial yang perlu dianalisis dengan cermat.
Plot dan Alur Cerita
Rambo, yang sebelumnya dipenjara karena membunuh seorang polisi, direkrut oleh Kolonel Trautman untuk melaksanakan misi khusus yang diinisiasi oleh Marshall Murdock, seorang birokrat militer.
Tugas Rambo adalah mencari bukti visual tentang keberadaan tahanan perang Amerika yang masih hidup di Vietnam, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menekan pemerintah Vietnam dalam perundingan pembebasan mereka.
Meskipun begitu, Rambo segera menyadari bahwa Murdock memiliki niat lain: menghalangi Rambo agar tidak berhasil dalam misinya. Ketika Rambo melanggar perintah dan berusaha menyelamatkan tahanan-tahanan tersebut, Murdock menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk meninggalkan Rambo di belakang garis musuh.
Analisis Kritik Sosial dan Politik
Rambo: First Blood Part II tidak hanya menyajikan aksi yang penuh ledakan dan kekerasan, tetapi juga menyentuh isu-isu besar dalam konteks geopolitik dan perang. Secara eksplisit, film ini melibatkan teori mengenai tentara Amerika yang hilang dalam perang Vietnam, yang masih hidup dan ditahan oleh pemerintah Vietnam.
Meskipun pada waktu itu hubungan dengan Vietnam belum sepenuhnya normal, ide ini terasa kurang realistis, terutama mengingat tidak ada keuntungan jelas bagi pemerintah Vietnam untuk mempertahankan para tahanan tersebut.
Di tengah alur cerita yang penuh dengan ketegangan, film ini juga memuat sejumlah referensi dan simbolisme yang jelas-jelas bersifat pro-Amerika. Mulai dari karakter-karakter yang digambarkan secara karikatural, seperti Lt. Col. Podovsky yang dimainkan oleh Steven Berkoff dengan aksen Rusia yang sangat tegas, hingga gambaran tentang Amerika yang selalu tampak benar dan unggul.
Pesan Sosial dan Kontroversi
Film ini secara tidak langsung menggambarkan pahlawan seperti Rambo sebagai simbol ketangguhan dan kekuatan maskulinitas yang tidak dapat dihentikan. Rambo digambarkan sebagai sosok yang tak terhentikan, melawan musuh yang lebih kecil dan lebih lemah.
Sementara itu, karakter perempuan, seperti Co Bao (Julia Nickson), digambarkan dalam stereotipe klasik sebagai wanita Asia yang tertarik pada pria kulit putih dan berusaha untuk melarikan diri ke “kebebasan Amerika.” Penggambaran ini jelas tidak hanya memperlihatkan pandangan yang sempit tentang ras, tetapi juga mempertegas ketidaksetaraan gender dalam narasi film tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa, meskipun ada nuansa patriotisme dan kedalaman dalam karakter Rambo, film ini juga menyuguhkan kegilaan kekerasan yang tidak terkontrol. Hal ini menciptakan ketegangan antara pesan moral tentang dukungan terhadap para veteran perang dan gaya hidup yang dipromosikan oleh Rambo yang sangat kejam dan tidak pandang bulu.
Berbeda dengan First Blood yang lebih bersifat perenungan dan mengedepankan harga nyawa manusia daripada kekerasan, First Blood Part II mengangkat tema dehumanisasi, di mana korban perang tidak dilihat sebagai individu yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, melainkan sebagai alat untuk mendorong kemenangan dan kebanggaan nasional.
Keberhasilan dan Kegagalan Dunia Film Aksi
Selain dampak sosial dan politik yang mendalam, Rambo: First Blood Part II juga merepresentasikan kebangkitan genre film aksi pada dekade 1980-an, dengan segala karakteristiknya yang dramatis dan berlebihan.
Film ini mendapat sambutan hangat di kalangan penonton, yang menginginkan tontonan penuh ledakan dan aksi cepat. Namun, film ini juga menciptakan persaingan ketat dengan film sejenis seperti Missing in Action yang dibintangi Chuck Norris, yang juga terinspirasi dari ide yang sama tentang tentara yang hilang di Vietnam.
Keberhasilan film ini tidak hanya terletak pada aksi yang intens, tetapi juga pada cara Stallone dan sutradara George Cosmatos berhasil memanfaatkan elemen-elemen simbolis, meskipun terkadang berlebihan dan kontroversial. Kendati film ini sangat menghibur, ia juga memunculkan banyak pertanyaan tentang cara pandang terhadap perang, kekerasan, dan politik luar negeri yang dikemas dalam gaya yang cukup membingungkan.
Kesimpulan: Film yang Lebih dari Sekadar Aksi
Rambo: First Blood Part II lebih dari sekadar film aksi biasa. Ia adalah simbol dari era yang penuh dengan ketegangan Perang Dingin dan ambiguitas moralitas, yang diceritakan melalui sebuah narasi yang penuh dengan kekerasan dan stereotipe.
Walaupun secara teknis menjadi salah satu film ikonik di dunia perfilman action, film ini juga mengundang kritik atas bagaimana film ini menangani tema-tema sosial dan politik yang berpotensi memengaruhi pandangan penonton tentang perang dan hubungan internasional. Film ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap ledakan dan adu tembak, tetap terdapat nilai-nilai yang lebih dalam tentang kemanusiaan, kebebasan, dan perjuangan.

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...
2 Pengikut

Teori Hegemoni Gramsci: antara Koersi, Konsensus, dan Kesadaran
Selasa, 19 Agustus 2025 14:15 WIB
Negara Integral dan Perang Posisi dalam Teori Hegemoni Gramsci
Minggu, 17 Agustus 2025 16:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler