Kebebasan Pers di Indonesia: antara Ancaman, Perjuangan, dan Harapan
Rabu, 21 Mei 2025 08:28 WIB
Kebebasan pers di Indonesia masih terancam. Artikel ini menyoroti kekerasan, represi, dan upaya masyarakat memperjuangkan jurnalisme yang aman
Penulis : Ersan Ivanda Putra & Elisabet Lumban Tobing
Kebebasan media adalah dasar yang penting untuk demokrasi yang sehat. Di Indonesia, meskipun dilindungi oleh Konstitusi, kebebasan media di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan yang besar. Dalam beberapa tahun terakhir, jurnalis mengalami berbagai bentuk tekanan, mulai dari kekerasan fisik, serangan online, hingga tindakan kriminalisasi melalui penyalahgunaan undang-undang.
Laporan Indeks Keamanan Jurnalis (IKJ) 2024 yang disusun oleh AJI Indonesia dan LBH Pers menunjukkan bahwa ruang untuk berekspresi semakin menyusut. LBH Pers, sebagai lembaga bantuan hukum yang berfokus pada dukungan hukum bagi jurnalis dan media, mencatat bahwa pemerintah seringkali terlibat langsung atau membiarkan tindakan kekerasan terhadap jurnalis terjadi. Situasi ini tercermin dalam temuan IKJ 2024 yang menyoroti bahwa tekanan terhadap jurnalis terus berlanjut setiap tahunnya.
Berdasarkan IKJ 2024, jumlah kasus tercatat sebesar 63,72, lebih rendah dibandingkan 66,03 pada tahun 2022. Namun bentuk kekerasan yang terjadi semakin lama semakin mengkhawatirkan terutama dalam bentuk kekerasan digital dan non-fisik. Dalam kasus ini, pelaku dominan antara lain aktor anonim, aparat keamanan, dan individu yang memanfaatkan teknologi untuk serangan daring.
Budaya hukum yang lemah dan kurangnya perlindungan dari aparat hukum telah berkontribusi untuk memperburuk situasi ini. Salah satu masalah yang dihadapi wartawan perempuan adalah pelecehan seksual dan intimidasi berbasis gender. Tahun politik 2024 memperburuk situasi dengan meningkatnya polarisasi, serangan terhadap media independen, dan penggunaan media sosial sebagai alat propaganda.
IKJ 2024 mengusulkan sejumlah langkah strategis, diantaranya:
- penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan, perubahan terhadap UU ITE
- penguatan fungsi Dewan Pers, serta peningkatan keterampilan literasi digital dan keamanan siber bagi wartawan.
Survei IKJ melibatkan 760 wartawan aktif dengan sebagian besar responden berasal dari Pulau Jawa (48%). Penilaian dikelompokkan menjadi tiga komponen utama yaitu: individu wartawan (skor 56,48), pemangku kepentingan media (skor 73,32), dan peran pemerintah serta regulasi (skor 64,39). Temuan ini mengindikasikan bahwa pemangku kepentingan media memiliki peran penting dalam melindungi wartawan, namun masih ada kebutuhan akan perbaikan yang signifikan pada aspek individu dan regulasi pemerintah.
Dari grafik yang ditunjukkan, kita dapat menarik kesimpulan bahwa peran para stakeholder media berfungsi sebagai kekuatan utama dalam melindungi keselamatan jurnalis. Di sisi lain, perlindungan terhadap aspek individu dan peraturan pemerintah masih membutuhkan perbaikan yang signifikan. Selain itu, diperlukan analisis mendalam untuk mengevaluasi apakah beberapa regulasi yang ada justru menghambat pelaksanaan tugas jurnalistik di lapangan.
Temuan ini menjadi dasar yang penting untuk memahami tantangan kebebasan pers secara struktural, sebelum melanjutkan pada penggambaran situasi faktual di lapangan seperti yang diungkapkan dalam laporan tahunan yang sudah di rancang oleh AJI Indonesia.
Sementara itu, laporan dari AJI Indonesia 2023 menunjukkan adanya lonjakan signifikan dalam jumlah kekerasan yang dialami jurnalis, dengan kasus yang meningkat dari 41 pada 2021 menjadi 61 pada 2022, dan meroket menjadi 89 kasus pada 2023. Isu-isu yang paling berisiko menimbulkan kekerasan meliputi korupsi dan pertanggungjawaban (33 kasus), isu sosial dan tindak kriminal (25 kasus), masalah pertanahan (14 kasus), serta isu politik dan pemilihan umum (5 kasus).
Negara menjadi pelaku terbanyak (36 kasus), diikuti oleh pelaku dari pihak non-negara (29 kasus) dan pelaku yang tidak dikenal (24 kasus). Fenomena penyensoran dari dalam diri jurnalis juga semakin meningkat, dengan 56% dari mereka mengaku melakukan hal ini karena takut terhadap situasi politik yang semakin menekan. Kondisi kerja yang tidak menguntungkan semakin memperburuk situasi, di mana 81% jurnalis menerima bayaran berdasarkan jumlah berita yang ditulis, bukan lama waktu kerja yang dihabiskan, dan sebagian besar mendapatkan upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Model bisnis media yang mengedepankan clickbait serta kepemilikan media oleh kalangan elit politik berperan dalam penurunan kualitas jurnalisme. Dari total 89 kasus kekerasan yang terjadi, hanya tujuh kasus yang menunjukkan kemajuan di ranah hukum. Bahkan, kasus teror yang menimpa jurnalis Victor Mambor sempat dihentikan penyelidikannya. Meskipun 81% perusahaan media menyatakan menawarkan bantuan hukum, hanya 38% jurnalis yang benar-benar bisa memanfaatkan layanan tersebut.
LBH Pers dalam laporan kritisnya pada tahun 2021 mencatat bahwa insiden kekerasan terhadap wartawan masih cukup tinggi, dengan total 55 kejadian, meskipun jumlah ini menurun dari 117 kasus pada tahun 2020. Akan tetapi, penurunan ini tidak selalu mencerminkan adanya perbaikan dalam situasi. Tindakan kekerasan yang dilaporkan meliputi pelarangan peliputan, intimidasi, serangan siber, dan upaya kriminalisasi, di mana pihak pemerintah masih menjadi aktor utama. Daerah-daerah seperti Papua, Yogyakarta, Lampung, dan Ambon terlihat rentan akibat keterbatasan akses terhadap perlindungan hukum yang memadai.
Selain itu, LBH Pers juga mencatat 85 laporan pelanggaran hak kerja, seperti pemecatan sepihak, pembayaran gaji yang tidak diterima, dan ketidakadilan dalam kontrak kerja. Menurut survei AJI, seharusnya upah yang layak bagi jurnalis berada di angka Rp8,36 juta, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan UMP DKI Jakarta saat itu yang hanya Rp4,45 juta. Penggunaan Undang-Undang ITE juga terbukti menjadi sarana efektif untuk meredam kritik, termasuk melalui pembentukan polisi siber, pemblokiran akses internet, hingga penandaan berita sebagai hoaks.
Survei PR2Media menunjukkan bahwa 85,7% jurnalis perempuan pernah menghadapi kekerasan seksual. Sayangnya, banyak media masih mengabaikan perspektif korban dan bahkan cenderung menyalahkan mereka. Dewan Pers juga kesulitan dalam menjangkau media alternatif dan press mahasiswa, yang sering kali menjadi target represi karena mereka tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas.
Menyadari pentingnya kerjasama ini, berbagai inisiatif muncul di sejumlah lokasi sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam meningkatkan keselamatan dan keterampilan jurnalis. Di DI Yogyakarta, sekelompok mahasiswa membentuk komunitas “Jurnalisme Aman” yang menyediakan pelatihan mengenai keamanan digital dan fisik bagi jurnalis yang baru memulai. Inisiatif ini merupakan langkah nyata untuk menghadapi masalah seputar keamanan kerja dan kebebasan berkreasi dalam dunia jurnalistik.
Di sisi lain, di Jayapura, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengadakan pelatihan Jurnalis Masyarakat Adat pada 12 hingga 14 Juni 2024 di Obhe Kampung Yokiwa, Distrik Sentani Timur. Acara ini dihadiri oleh 20 pemuda dari berbagai komunitas adat di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Keerom, dan Sarmi. Materi pelatihan meliputi teori dasar jurnalistik, teknik menulis, serta cara menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan isu-isu masyarakat adat, dengan tujuan memperkuat peran jurnalis warga dalam memperjuangkan hak-hak komunitas lokal.
Di lokasi lain, seperti Lampung, pemerintah setempat bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) untuk menyelenggarakan pelatihan jurnalistik pada 20 November 2024 di Hotel Marcopolo, Bandar Lampung. Pelatihan ini diikuti oleh 70 peserta dan fokus pada kemampuan menulis berita dengan baik dan adil, serta cara menghadapi disinformasi di zaman digital ini.
Sejalan dengan itu, di Ambon, Pengurus Wilayah AMAN Maluku berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon untuk mengadakan pelatihan Jurnalis Masyarakat Adat pada 8 hingga 10 Januari 2024. Pelatihan ini ditujukan kepada masyarakat adat di Maluku dan mencakup materi seperti dasar jurnalistik, teknik wawancara, penulisan berita, serta pemanfaatan media sosial untuk mengangkat isu-isu lokal. Program ini diharapkan dapat mendorong peserta untuk menyampaikan permasalahan komunitas mereka melalui media alternatif yang lebih inklusif dan representatif.
Inisiatif pelatihan yang dilaksanakan di Lampung dan Maluku adalah langkah pertama yang strategis untuk diperluas dan diperkuat di tingkat nasional, walaupun program pelatihan ini telah memberikan dampak positif dalam meningkatkan kemampuan jurnalis untuk menghadapi tantangan di era digital, usaha ini masih berlangsung secara tidak teratur, tidak berkelanjutan, dan belum terintegrasi dalam kebijakan nasional yang komprehensif.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih sistematis, serta dukungan politik yang kuat untuk menangani akar masalah yang terus ada terkait dengan kebebasan dan keselamatan jurnalis di Indonesia. Keadaan ini menjadi semakin mendesak karena kebebasan media di Indonesia, meskipun sudah dijamin oleh undang-undang, masih menghadapi berbagai tantangan serius di lapangan. Jurnalis sering kali mengalami tekanan dalam bentuk kekerasan fisik, serangan siber, kriminalisasi, serta intervensi baik langsung maupun tidak langsung dari pemerintah.
Laporan Indeks Keamanan Jurnalis (IKJ) 2024 dan laporan tahunan dari AJI Indonesia serta LBH Pers menunjukkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis masih jauh dari memadai. Meskipun jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis tercatat menurun secara kuantitatif, kompleksitas dan tingkat bahayanya justru semakin meningkat, terutama bagi jurnalis perempuan yang menghadapi risiko ganda.
Berbagai faktor struktural juga memperburuk keadaan, seperti lemahnya sistem perlindungan hukum, dominasi pelaku kekerasan dari kalangan aparat negara, serta model bisnis media yang bersifat eksploitatif. Ini berdampak langsung pada tinggi rendahnya tingkat sensor diri di kalangan jurnalis dan akses yang minim terhadap bantuan hukum saat ancaman muncul. Lingkungan kerja yang tidak aman dan penuh tekanan menunjukkan bahwa kondisi kerja pers masih sangat jauh dari yang diharapkan, apalagi dalam mendukung kebebasan berekspresi secara utuh.
Di tengah -tengah tantangan ini, inisiatif lokal menunjukkan pelatihan jurnalis asli di Papua, LAMP dan Ambon dan komunitas "Jurnalisme Aman" di Yogyakarta bagaimana masyarakat sipil akan secara aktif berpartisipasi dalam memperkuat kompetensi dan keamanan jurnalis.
Namun, untuk mencapai berbagai dampak berkelanjutan, pemerintah, lembaga media, dan dewan pers perlu merevisi peraturan dalam bentuk penguatan hukum, membatasi kebebasan pers, meningkatkan literasi digital dan pelatihan keamanan untuk jurnalis. Kebebasan media bukan hanya hak bagi jurnalis, tetapi juga pilar penting dari demokrasi yang sehat dan transparan. Jaminan keamanan dan kebebasan bagi wartawan adalah tanggung jawab bersama yang tidak dapat ditangguhkan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] “89 Kasus Serangan terhadap Pers Indonesia pada 2023, Tertinggi Dalam Satu Dekade | AJI - Aliansi Jurnalis Independen,” aji.or.id. https://aji.or.id/informasi/89-kasus-serangan-terhadap-pers-indonesia-pada-2023-tertinggi-dalam-satu-dekade
[2] I. E. Piri and M. Ismail, “Kebebasan Pers di Indonesia Mencemaskan,” Tempo, May 03, 2023. https://www.tempo.co/politik/kebebasan-pers-di-indonesia-mencemaskan-825180 (accessed May 20, 2025).
[3] “Jurnalisme Aman - Ekosistem Aman untuk Jurnalis,” Jurnalismeaman.com, 2024. https://jurnalismeaman.com/ (accessed May 20, 2025).
[4] Putu Indah Savitri, “Dewan Pers gandeng SAFEnet-APIK-AJI pertajam Kode Etik Jurnalistik,” Antara News, Aug. 03, 2021. https://www.antaranews.com/berita/2304946/dewan-pers-gandeng-safenet-apik-aji-pertajam-kode-etik-jurnalistik (accessed May 20, 2025).
[5] L. Situasi, K. Pers, and A. Jurnalis, “Krisis Kebebasan Pers di Tengah Darurat Iklim dan Erosi Demokrasi,” 2023. Available: https://aji.or.id/system/files/2024-07/draft-final20laporan20situasi20kebebasan20pers202832920layout20a5_2.pdf
[6]https://lbhpers.org/wp-content/uploads/2022/01/Annual-Report-LBH-Pers-2021-1.pdf

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kebebasan Pers di Indonesia: antara Ancaman, Perjuangan, dan Harapan
Rabu, 21 Mei 2025 08:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler