Mahasiswi Program Studi Sarjana Akuntansi Universitas Pamulang
Bukan Hanya Pencari Nafkah, Ayah adalah Pendidik Karakter Anak
Kamis, 29 Mei 2025 08:04 WIB
Meski sering terpinggirkan dalam narasi pengasuhan, peran ayah sangat krusial bagi pembentukan karakter dan kesehatan mental anak
***
Di tengah hiruk-pikuk kampanye parenting dan pengasuhan anak, satu sosok yang kerap luput dari perhatian adalah ayah. Narasi tentang pengasuhan selama ini lebih banyak menyoroti peran ibu baik dalam diskusi publik, seminar parenting, maupun tayangan media massa. Peran ayah, sebaliknya, sering kali direduksi menjadi sebatas penyedia kebutuhan materi, bukan sebagai pendidik karakter atau pendamping emosional. Padahal, di tengah kompleksitas era digital dan tantangan moral yang kian pelik, kehadiran dan peran ayah justru sangat krusial.
Minimnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan bukan hanya berdampak pada aspek psikologis anak, tetapi juga memengaruhi pembentukan karakter dan identitas diri mereka. Anak laki-laki kehilangan sosok yang dapat mengajarkan kontrol diri, tanggung jawab, dan kepemimpinan. Sementara itu, anak perempuan kehilangan figur laki-laki yang dapat menjadi tolok ukur dalam membentuk relasi yang sehat dan penuh hormat dengan lawan jenis.
Menurut data UNICEF tahun 2021, sekitar 20,9 persen anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Data Susenas tahun yang sama mencatat bahwa dari 30,83 juta anak usia dini, sekitar 2.999.577 anak tidak tinggal bersama ayahnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah fatherless, yakni kondisi ketika seorang anak tidak merasakan kehadiran atau keterlibatan emosional dari sosok ayah dalam kehidupannya sehari-hari.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dari orang tua terutama ayah lebih rentan mengalami gangguan mental, krisis percaya diri, kesulitan dalam membangun relasi sosial, hingga gangguan perilaku. Mereka juga berisiko lebih tinggi mengalami depresi, stres, serta gangguan kecemasan.
Padahal, berbagai studi psikologi telah menegaskan bahwa kehadiran dan keterlibatan ayah memiliki dampak signifikan dalam pembentukan moral, stabilitas emosional, serta kepercayaan diri anak. Studi dari American Psychological Association menyatakan bahwa anak yang tumbuh dengan ayah yang aktif dan suportif cenderung memiliki pencapaian akademis lebih baik, pengendalian diri yang kuat, dan ketahanan menghadapi tekanan sosial.
Ayah yang hadir secara emosional bukan sekadar fisik memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Ketika seorang ayah ikut membaca buku bersama anak, mengantar ke sekolah, berdiskusi, mendengarkan keluh kesah, atau sekadar hadir saat anak butuh teman bicara, ia sedang menanamkan nilai kehidupan yang tak bisa digantikan oleh materi.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari dalam diri ayah sendiri. Banyak ayah yang “kalah” oleh gawai mereka, lebih terhubung dengan layar ketimbang dengan anak-anak mereka. Padahal, anak-anak zaman sekarang tumbuh dalam ekosistem digital yang dipenuhi peluang sekaligus jebakan. Tanpa pendampingan yang hangat dan aktif dari orang tua terutama ayah anak bisa kehilangan arah, jatuh dalam krisis nilai, atau tumbuh tanpa pondasi karakter yang kuat.
Kehadiran ayah tidak semata-mata melalui instruksi atau larangan, melainkan melalui komunikasi yang terbuka, sikap empatik, serta keteladanan dalam menghadapi masalah hidup. Ayah yang berani meminta maaf, mau mendengar tanpa menghakimi, dan konsisten hadir dalam dinamika kehidupan anak, sesungguhnya sedang membangun fondasi karakter anak yang tangguh.
Sudah saatnya kita berhenti menganggap bahwa pengasuhan anak adalah urusan eksklusif ibu. Pembentukan karakter adalah tanggung jawab bersama. Ayah memiliki peran yang unik, tak tergantikan, dan sangat menentukan dalam membentuk manusia Indonesia yang sehat secara mental, kuat secara moral, dan siap menghadapi dunia.
Sekolah, komunitas, dan lembaga sosial harus mulai membuka ruang partisipasi ayah dalam program pengasuhan. Pemerintah serta dunia usaha juga perlu mendorong lahirnya kebijakan yang memudahkan ayah terlibat dalam keluarga seperti cuti ayah, jam kerja fleksibel, dan pelatihan parenting yang berperspektif setara.
Namun, inisiatif paling penting tetap harus datang dari sang ayah sendiri. Bukan dengan dalih “saya tidak tahu caranya,” melainkan dengan keberanian untuk mulai. Mulai dari hal-hal kecil: mendengar, menyentuh, memeluk, dan berbicara dari hati ke hati. Hadir sepenuhnya, bukan hanya jasadnya, tetapi juga jiwanya.
Mari kita tantang paradigma lama bahwa ayah hanya penyokong ekonomi. Mari kita bangun masa depan yang lebih sehat, lebih hangat, dan lebih kuat—dimulai dari rumah, dimulai dari kehadiran ayah.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Bukan Hanya Pencari Nafkah, Ayah adalah Pendidik Karakter Anak
Kamis, 29 Mei 2025 08:04 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler