saya seorang tenaga pengajar di SMP Negeri 22 Bandar Lampung. saat ini menjadi Ketua MGMP PAI Kota Bandar Lampung, Pengurus APKS PGRI Propinsi Lampung. Pengurus Forum Guru Motivator Perduli Literasi (FGMP;) Lampung. \xd\xd Guru Penggerak angkatan 7 dan Pengajar Praktik angkatan 11 kota bandar Lampung. \xd\xd Fasilitator Pembelajaran mendalam. \xd\xd \xd\xd saya aktif menulis di berbagai media elektronik daerah/nasional

Dilema Kehadira AI: Mencerdaskan atau Menculaskan Paradigma Berfikir?

Kamis, 12 Juni 2025 11:18 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Artificial Intelligence Illustration
Iklan

AI harusnya menjadi mitra dalam membangun peradaban yang adil, terbuka, dan manusiawi. Ia bukan alat untuk menyiasati sistem,.

Oleh: Herimirhan 

Kehadiran Artificial Intelligence (AI) dalam kehidupan manusia dewasa ini bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, AI membawa revolusi luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan dari pendidikan, kesehatan, industri, hingga hiburan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sisi lain, teknologi AI juga membuka ruang bagi munculnya perilaku tidak etis, manipulatif, dan bahkan memperkuat sisi culas manusia.

Jika ditilik dari sisi positif, AI jelas telah membuat manusia lebih “cerdas”. Teknologi ini membantu manusia memproses data dalam jumlah besar, membuat keputusan lebih cepat, dan menciptakan solusi atas berbagai persoalan kompleks. Guru dibantu dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa, dokter terbantu dalam mendiagnosis penyakit dengan akurat, hingga petani bisa memprediksi cuaca dan hasil panen dengan presisi tinggi. Semua itu adalah pencapaian luar biasa hasil kolaborasi manusia dan mesin pintar.

Namun, pertanyaannya: apakah kecerdasan yang dibentuk oleh AI adalah kecerdasan sejati yang memanusiakan manusia? Atau justru mendorong manusia menjadi makhluk yang pragmatis, manipulatif, dan semakin culas.

Realitasnya, AI juga membuka celah besar bagi eksploitasi dan ketidakjujuran. Deepfake, misalnya, dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks dan merusak reputasi seseorang. Chatbot digunakan untuk membuat konten plagiat atau menyebarkan spam. Bahkan dalam dunia kerja, AI kadang digunakan untuk menyingkirkan peran manusia, tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan etika. 

Dalam banyak kasus, manusia justru memanfaatkan kecanggihan AI bukan untuk mencerahkan, melainkan untuk menutupi niat buruk yang manipulatif dan merugikan baik secara moral dan material.

Fenomena ini menyingkap ironi semakin pintar teknologi, justru bisa semakin licik manusianya. AI menjadi alat yang netral ia tidak salah. Yang patut ditilik adalah siapa di balik penggunaannya. Seperti pisau bermata dua, AI bisa menjadi alat bantu yang mencerahkan atau senjata tajam yang memanipulasi.

Pada titik ini, muncul urgensi untuk memperkuat etika dan moralitas digital. Kecerdasan yang dibentuk oleh AI harus seiring sejalan dengan kecerdasan emosional dan spiritual manusia. Pendidikan etika digital harus menjadi bagian penting dalam kurikulum, bukan sekadar mengajarkan cara memakai teknologi, tetapi juga bagaimana bertanggung jawab terhadap dampaknya.

AI harusnya menjadi mitra dalam membangun peradaban yang adil, terbuka, dan manusiawi. Ia bukan alat untuk menyiasati sistem, melainkan jembatan untuk memperkuat integritas. Karena pada akhirnya, kecerdasan sejati bukan diukur dari seberapa cepat seseorang memecahkan masalah, tetapi dari bagaimana ia menyelesaikannya dengan cara yang etis dan beradab.

Jadi, apakah AI membuat manusia semakin cerdas atau culas? Jawabannya bergantung pada siapa yang memegang kendali: nurani atau ambisi.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler