Staf Publikasi dan Jurnal Ilmiah \xd Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd
Hidup Tanpa Filter: Saat Media Sosial Menyusup ke Pikiran
Jumat, 20 Juni 2025 08:40 WIB
Media sosial kerap menggaganggu kesehatan mental generasi Z. Tapi selalu ada cara mengatasinya/
Di tengah derasnya arus digital, media sosial telah menjelma menjadi panggung global di mana setiap individu bisa tampil sebagai versi terbaik dari dirinya. Instagram, TikTok, dan platform sejenis menghadirkan tempat yang tampaknya ideal untuk saling terhubung, berbagi inspirasi, dan mendekatkan yang jauh. Namun, tanpa disadari, layar ponsel kita perlahan menjadi cermin retak—memantulkan citra yang bukan sekadar tidak utuh, melainkan menyesatkan.
Generasi Z—mereka yang lahir dan tumbuh bersama internet—adalah generasi pertama yang kehidupannya dibentuk oleh algoritma. Mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga peserta dalam permainan sosial yang tak kasat mata: siapa yang paling bahagia, paling produktif, paling sempurna. Fenomena ini erat kaitannya dengan konsep Social Comparison Theory yang dikemukakan oleh Leon Festinger, di mana manusia secara alami terdorong membandingkan dirinya dengan orang lain. Di media sosial, ini menjadi lebih destruktif karena yang dibandingkan bukanlah kenyataan, melainkan versi terkurasi, diedit, dan dikemas secara estetis dari kehidupan seseorang.
Muncullah standar tidak realistis: tubuh yang selalu ideal, wajah yang selalu flawless, prestasi yang tiada henti, dan hubungan yang selalu terlihat harmonis. Padahal, di balik unggahan penuh senyum itu, siapa yang tahu jika seseorang baru saja bertengkar hebat dengan pasangannya, menangis semalaman, atau bergumul dengan rasa cemas yang tak kunjung reda?
Faktor pemicu dari ilusi ini beragam. Selain karena dorongan mendapatkan validasi dalam bentuk likes dan komentar positif, ada pula tekanan sosial untuk selalu tampak bahagia dan sukses. Kerap kali, kita lupa bahwa media sosial bukan jendela ke dalam kehidupan nyata seseorang, melainkan etalase—tempat orang memajang hanya hal-hal yang ingin dilihat orang lain.
Dampaknya? Sangat nyata. Studi demi studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang intens dapat meningkatkan risiko gangguan kecemasan, depresi, hingga perasaan tidak berharga. Ketika setiap hari dimulai dengan membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih “sempurna”, maka tidak heran jika banyak remaja merasa hidupnya kurang berarti. Mereka tenggelam dalam krisis identitas, tidak tahu siapa dirinya di luar apa yang dilihat orang lain secara daring.
Namun, harapan belum padam. Edukasi literasi digital emosional menjadi langkah awal untuk membekali generasi ini dengan ketahanan psikologis. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa tidak ada yang salah dengan hidup yang biasa-biasa saja, dengan hari-hari yang berat, dengan wajah yang tidak selalu siap kamera. Kita juga perlu memperkuat ruang-ruang komunikasi yang otentik—baik di ranah daring maupun luring—yang membolehkan ketidaksempurnaan hadir apa adanya.
Solusinya bukanlah meninggalkan media sosial sepenuhnya, melainkan menggunakan media itu dengan kesadaran penuh. Mengikuti akun yang mempromosikan kejujuran, membatasi waktu layar, hingga mengambil jeda digital (digital detox) adalah beberapa cara sederhana tapi berarti. Yang terpenting, membangun rasa harga diri dari dalam, bukan dari validasi eksternal.
Mari akhiri obsesi terhadap kesempurnaan yang semu. Sebab pada akhirnya, menjadi manusia bukan soal tampak tanpa cela, melainkan berani menjalani kehidupan apa adanya—tanpa perlu filter, tanpa perlu pengakuan, cukup dengan keberanian untuk jujur dan merasa cukup.
Selain itu, kita juga perlu menumbuhkan budaya saling mendukung alih-alih saling menghakimi di ruang digital. Ketika seseorang membagikan momen jujur atau cerita tentang perjuangan pribadinya, respon yang penuh empati bisa menjadi penyeimbang dari atmosfer toksik yang selama ini mendominasi. Media sosial bisa menjadi sarana healing, bukan hanya pencitraan—asal kita sepakat untuk lebih manusiawi satu sama lain, dan tidak menjadikan “kesempurnaan” sebagai mata uang utama dalam berinteraksi.
Lebih jauh lagi, perlu keterlibatan aktif dari institusi pendidikan, keluarga, dan bahkan pembuat kebijakan dalam mengarusutamakan kesehatan mental digital. Kurikulum sekolah yang mengajarkan literasi digital kritis, kampanye publik yang mengangkat isu realitas versus ilusi, hingga fitur-fitur aplikasi yang lebih transparan dan etis—semua ini bisa menjadi langkah nyata menciptakan ekosistem online yang lebih sehat. Jika generasi Z disiapkan dengan kesadaran dan keterampilan untuk memilah realitas, mereka bukan hanya akan bertahan, tapi juga akan merebut kembali kendali atas narasi hidup mereka di dunia digital.*

Penulis Indonesiana
5 Pengikut

Psikologi Cinta Tanah Air dalam Kebyar-Kebyar
Minggu, 17 Agustus 2025 16:15 WIB
Tabola Bale: Cinta yang Membebaskan, Indonesia yang Memikat
Senin, 18 Agustus 2025 08:36 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler