Saya adalah Mahasiswi Universitas Pamulang Fakultas Ilmu Komunikasi yang tertarik pada isu komunikasi digital, etika media, dan budaya populer.

Ramai di Grup WA, Tapi Nggak Sopan Saat Ketemu Langsung

Senin, 30 Juni 2025 12:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
grup wa
Iklan

Aktif di grup WhatsApp tapi canggung saat tatap muka? Saatnya refleksi: etika sosial nggak berhenti di layar ponsel saja.

Etika Sosial di Era Digital: Ramai di Grup WA, Tapi Nggak Sopan Saat Ketemu Langsung

by: Septi Fauziah

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui fenomena ini: seseorang sangat aktif di grup WhatsApp, cerewet soal aturan dan pendapat, bahkan terlihat peduli dengan sesama. Namun saat bertemu langsung di kantor, kampus, atau lingkungan tempat tinggal, justru tidak menyapa, enggan menatap, atau bersikap dingin. Di sinilah letak masalah etika sosial yang mulai tergerus oleh kenyamanan komunikasi digital.

Fenomena ini makin terlihat nyata di tengah gaya hidup yang serba daring. Kita membangun keakraban lewat emoji, tapi canggung saat berbicara langsung. Dunia maya menumbuhkan banyak “keberanian virtual”, tapi melemahkan kemampuan interaksi langsung yang hangat dan bermakna.


Antara Persona Digital dan Etika Sosial

Berkomunikasi lewat gawai memang membuat kita mudah membentuk persona. Lewat tulisan, kita bisa terdengar pintar, santun, dan penuh empati. Tapi saat hadir secara fisik, tak semua orang mampu menerjemahkan persona digital itu ke dalam etika nyata.

Apakah ini kepalsuan? Tidak selalu. Banyak yang memang merasa lebih nyaman menulis daripada berbicara langsung. Namun saat keaktifan digital tidak disertai sikap sosial yang baik, maka relasi yang dibangun menjadi rapuh. Di sinilah pentingnya etika dalam kehidupan sosial modern.


Etika Sehari-hari yang Sering Diabaikan

Tak perlu teori berat untuk memahami etika dasar: menyapa, tersenyum, atau menatap mata saat bicara. Tapi hal-hal sederhana ini justru sering dilupakan. Kita sibuk memperbaiki citra di media sosial, tapi abai pada nilai-nilai sopan santun yang sebenarnya membentuk komunikasi interpersonal.

Contoh nyatanya bisa dilihat dari istilah “karyawan hantu” aktif di grup kerja, responsif lewat chat, tapi tak pernah menyapa di pantry. Atau “tetangga digital” yang ramah di grup komplek, tapi tak mengenali wajah tetangga saat bertemu.


Mengapa Etika Sosial Menurun?

Ada beberapa alasan mengapa banyak orang terlihat sopan di ruang digital, namun kaku di dunia nyata:

  1. Kenyamanan digital: Membuat kita jarang berlatih komunikasi langsung.

  2. Kecanggungan sosial: Minimnya pengalaman bertemu langsung memunculkan rasa canggung.

  3. Kehidupan serba cepat: Membuat kita merasa tidak perlu lagi “basa-basi” atau menjalin relasi secara perlahan.

Padahal, interaksi langsung yang sehat jauh lebih tahan lama dibanding kedekatan instan di media sosial.


Refleksi: Jangan Sampai Etika Kita Hanya Ada di Grup Chat

Kita tidak sedang menghakimi keaktifan digital. Tapi penting diingat bahwa etika sosial bukan hanya tentang kata-kata manis di WhatsApp. Ia tercermin dalam tindakan nyata dalam menyapa, mendengar, membantu, dan menghormati orang lain.

Ukuran keramahan bukan seberapa sering kita membubuhkan emoji, tapi seberapa hadir kita saat orang di sekitar butuh kehadiran nyata.


Penutup: Yuk, Seimbangkan Dunia Digital dan Nyata

Cobalah tanyakan ke diri sendiri: apakah kita sama sopannya di dunia nyata seperti saat berbicara di grup WA? Apakah kita ramah di ruang obrolan, tapi dingin saat bertemu?

Etika dalam kehidupan sehari-hari tidak berhenti di layar. Mari mulai lagi dari hal sederhana menyapa, mendengarkan, dan menghargai. Karena pada akhirnya, yang akan dikenang orang bukan seberapa aktif kita di grup, tapi seberapa tulus kita saat bersikap langsung.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Septi Fauziah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler